58. Kemarahan Gavriel

4.8K 426 13
                                    

"Cukup atlet anggar sama reporter aja yang enggak bisa bersatu, lo sama Gavriel harus bersatu." Komentar Alena saat Gadis selesai menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan Gavriel.

"Ck... Lo tahu 'kan, Len kalo status gue masih abu-abu saat ini."

Alena memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia lalu mengulurkan handphone miliknya. Ia biarkan Gadis melihat hasil rekaman video yang ia ambil. Gadis hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka.

"Lo lihat sendiri 'kan kalo laki lo aja bisa begini. Ngapain lo harus tolak-tolak Gavriel sedemikian kuat? Asal lo tahu aja ya, Dis banyak lho cewek-cewek di kantor yang masih single itu berharap Gavriel ngelirik mereka. Tapi buat karyawan lama kaya gue ini pasti tahu, bahwa satu-satunya perempuan yang sering dia goda dan buat dia ceria kalo di kantor cuma lo doang."

"Memangnya dia selalu murung di kantor?"

"Bukan murung, lebih tapatnya serius. Yakin gue kalo lo mau sama boss gue itu, hidup lo bakal aman dan nyaman. Lo tahu sendiri dia perhatiannya kaya apa ke lo. Gue aja iri. Kok bisa ya lo punya secret admirer modelan Gavriel gitu? Padahal lo dulu itu di kantor B aja. Yang lebih cantik dan muda daripada lo juga banyak."

"Tapi enggak ada yang seambisius gue dalam mengejar karier dulu."

"Mungkin itu kali ya yang buat Gavriel tertarik sama lo. Jiwa bersaing dia juga enggak main-main kalo sama lo."

"Ah, udahlah enggak usah dibahas, Len. Pokoknya lo harus siap kapanpun gue kasih tahu jadwal sidang gue."

"Yang penting akomodasi lo kasih semua."

"Gampang itu. Nanti lo gue kasih free tiket masuk ke Solo Safari."

"For what?"

"Biar lo bisa meet up sama saudara jauh lo."

Reflek, Alena mengambil sebuah bantal yang ada dipangkuannya dan ia layangkan ke arah tubuh Gadis. Ia memukuli Gadis dengan bantal itu yang membuat Gadis harus meminta maaf berkali-kali agar Alena berhenti memukulinya.

***

Siang hari ini ini Gadis telah sampai kembali di Solo. Ia tatap pintu utama rumah kedua orangtuanya yang terbuat dari jati tua ini. Tak ingin membuat orangtuanya merasa sedih atas apa yang terjadi di hidupnya, Gadis mencoba tersenyum. Begitu ia yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja dan mampu menghadapi semuanya, Gadis melangkahkan kakinya.

Begitu ia memencet bel, tidak lama kemudian asisten rumah tangga membukakan pintunya.

"Mbak Gadis? Mau pulang kok enggak ngabarin dulu?"

"Enggak usah, takut ngerepotin orang rumah. Hmm... Mama sama Papa di mana, Mbak?"

"Dibelakang, Mbak. Habis video call sama Mas Banyu tadi."

"Oh, okay. Thanks."

Gadis segera menuju ke halaman belakang rumah yang menjadi tempat favorit bagi kedua orangtuanya. Ia segera menyapa dan memberi salam. Baru setelah dirinya duduk di kursi yang ada di dekat sang Papa, Mamanya mulai memberikan informasi.

"Dis?"

"Ya, Ma?"

"Kemarin ada orang dari pengadilan agama ke sini."

"Ngapain, Ma?"

"Antar surat pemberitahuan rencana sidang pertama kamu sama Dipta. Tapi karena surat itu yang menerima harus kamu sendiri dan tidak boleh diwakilkan, jadi ya dia bawa lagi itu suratnya."

"Biarin aja, Ma. Lagian aku enggak mau datang di sidang pertama. Buang-buang waktu aja. Soalnya kata bu Angela sidang pertama itu mediasi."

"Logis juga pikiran kamu, Dis," Komentar Sudibyo yang mulai ikut ke dalam pembicaraan ini.

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang