32. Aku tak mau diganggu

4K 324 3
                                    

Gadis membanting handphonenya ke arah ranjang tempat tidur dengan kasar karena keluarga Pradipta semakin gencar membombardir handphone miliknya melalui telepon dan pesan-pesan di semua aplikasi sejak kemarin. Tidak peduli itu kakak ipar apalagi mertuanya, semua sama saja. Sampai saat ini ia belum berniat berkomunikasi sama sekali. Ia yakin jika Pradipta juga belum memberitahu tentang masalah rumahtangga mereka karena dari pesan-pesan yang ia baca di handphone miliknya, Papa mertuanya sudah menanyakan kapan ia akan pulang ke Surabaya. Bahkan setiap hari tidak berhenti bertanya kepadanya mengenai kabarnya. Sayangnya daripada berbohong dan berpura-pura bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja, Gadis memilih tidak membalasnya sama sekali. Ia membutuhkan waktu untuk berdamai dengan kenyataan yang ada. Rasanya ia tidak ikhlas jika dirinya harus kembali menekuni pekerjaan sebagai perawat lansia gratisan lagi. Sudah cukup dua tahunan lebih ia melakukan semua ini atas dasar cinta kepada suami dan pengabdiannya kepada keluarga suami.

Aryanti yang melihat kelakuan anak perempuannya ini hanya bisa melipat kedua tangannya di depan dada. Ia sudah tahu semuanya dari suaminya. Dan sudah menjadi keputusan mereka bersama untuk tidak mengijinkan Gadis berkomunikasi apalagi bertemu keluarga Pradipta.

"Rugi kalo hanya kamu banting di tempat tidur. Lebih baik kamu banting di lantai. Setelah itu beli baru dengan uang penjualan saham."

Gadis langsung menoleh ke arah pintu. Ia cukup terkejut melihat sang Mama ada di sana. Ia memang sudah menceritakan kepada keluarganya tentang langkah yang ia ambil untuk menjual tabungan saham yang selama ini ia koleksi bersama Pradipta. Saat uang itu sudah masuk ke rekening RDN-nya, Gadis segera menarik ke rekeningnya yang biasa dan memesan tiket keliling eropa hingga afrika. Tentu saja ia memesan paket yang paling mahal dari semua pamer yang ada. Pokoknya uang itu harus habis ia pergunakan sebelum Pradipta menggugat cerai dirinya. Jangan sampai semua ini jadi harta gono gini.

"Males gonta-ganti handphone, Ma."

"Iya, Mama tahu kamu gimana, tapi uang itu masih sisa 'kan? Lebih baik kamu pakai saja."

Gadis memilih berjalan mendekati sang Mama. Sejujurnya ia cukup bosan berada di rumah terlebih sejak Banyu kembali ke Singapura kemarin. Papanya bahkan memintanya untuk mempelajari apa saja yang akan ia kerjakan di perusahaan milik keluarganya.

"Andai kantor pusat bisnis kita di Jakarta, Ma. Aku pasti enggak bosen begini. Soalnya ada Alena yang bisa diajakin ke mana aja dan kapan aja."

"Kami punya alasan kuat kenapa tidak menaruh kantor pusat di Jakarta."

"Pasti karena UMR di sana lebih tinggi daripada di Solo. Benar 'kan, Ma?"

"Itu hanya salah satunya, Dis. Selain itu Mama dan Papa berharap para karyawan kita tidak harus jauh dari keluarga hanya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Jakarta sudah terlalu padat, sering banjir, macet lagi. Usia Papa sudah sepuh, kalo setiap hari untuk berangkat kerja saja haeus berjibaku dengan kemacetan, itu sangat tidak efisien."

Ya, ya, ya... Gadis lupa jika Mamanya sebenernya tetaplah seorang pebisnis sama seperti Papanya meskipun lebih sering berada di rumah sejak beberapa tahun belakangan ini.

"Kalo kamu mau tinggal sementara di Jakarta enggak masalah. Yang penting nanti kalo sudah mau mulai masuk kerja, kamu balik ke sini."

Seketika senyum  merekah di bibir Gadis. Siapa sangka jika Mamanya akan memberikan ijin kepadanya semudah ini. Gadis peluk Mamanya sambil terus mengucapkan terimakasih.

***

Sore ini Gadis sudah berada di lobby bekas kantornya. Sengaja ia langsung menuju ke tempat ini sesuai permintaan kakaknya. Entah apa yang Banyu titipkan di dalam kotak ini untuk Gavriel dan Alena. Rasanya ingin Gadis membukanya lebih dahulu namun ia tahu jika sampai ia melakukan itu, sama saja ia menjadi orang yang tidak bisa dipercaya.

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now