55. Jadi saksi perceraianku, ya?

4.5K 386 8
                                    

Gadis membuka kedua matanya kala merasakan sebuah bibir yang sejak satu menitan yang lalu menempel kuat di bibirnya hingga mereka bermain lidah bersama akhirnya terlepas. Pemandangan wajah Gavriel yang berjarak kurang dari sejengkal di depannya membuat Gadis berkedip. Nyatakah ini? Ia berbagi saliva bahkan bermain lidah bersama mantan musuh bebuyutannya sendiri. Goblognya ia justru menikmati semua itu, bahkan membalas ciuman Gavriel dengan tidak kalah antusiasnya.

Bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya saat ini, Gadis memilih langsung berdiri. Bukannya bertanya tentang alasan Gavriel melakukan itu, Gadis justru langsung berjalan ke arah dapur begitu saja. Ia baru berhenti berjalan kala sudah berada di depan tempat cuci piring. Saat melihat ada beberapa piring dan gelas yang kotor, Gadis langsung mencucinya. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada ia harus menghadapi Gavriel di meja makan.

Gavriel merasa sedikit kecewa dengan sikap Gadis yang pergi begitu saja. Seharusnya Gadis mengajaknya sparing di atas ranjang karena Gavriel tahu bahwa Gadis mulai lepas kendali. Andai kata tidak melakukan itu, minimal Gadis menamparnya dan memaki dirinya. Ini yang terjadi justru di luar ekspektasinya. Kenapa Gadis pergi begitu saja ke dapur meninggalkan dirinya dengan sejuta pertanyaan di dalam kepalanya?

Rasanya kali ini Gavriel benar-benar membutuhkan penjelasan atas sikap Gadis ini. Ia memilih mengikuti Gadis ke dapur. Saat melihat Gadis justru sibuk mencuci piring, Gavriel hanya bisa menghela napas panjang.

"Enggak usah kamu cuciin. Besok pagi ada yang bakalan bersihin semuanya."

Mendengar perkataan Gavriel yang datang dari arah belakang, Gadis mencoba mengabaikannya. Bagaimana bisa Gavriel seakan melupakan hal yang baru saja terjadi diantara mereka saat di meja makan? Ya, benar sekali. Laki-laki tidak ada bedanya pikir Gadis. Apa yang mereka lakukan lebih kepada dorongan hormon, bukan perasaan cinta.

"Sudah terlanjur. Lagipula sudah hampir selesai."

"Enggak sekalian kamu mau ngepel lantai sama bersihin kamar mandi?"

Gadis mencoba menarik oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitarnya. Pelan-pelan ia embuskan perlahan. Saat ia sudah selesai mencuci poring, Gadis membalikkan tubuhnya dan sosok Gavriel yang sedang menyandarkan punggungnya di dinding dekat kulkas adalah hal yang langsung membuat Gadis memfokuskan pandangannya.

"Ini rumah siapa?"

"Rumah aku, tapi kalo kamu masih bingung mau ngapain, kerjaan itu sekarang masih tersedia."

"Harusnya kamu bilang terimakasih aku sudah mau bantuin cuci piring, bukannya tawarin kerjaan baru."

Setelah mengatakan itu, Gadis memilih berjalan menuju ke ruang makan untuk mengambil tasnya. Kala tas itu sudah di tangannya, ia langsung mengambil handphone dan mengeceknya. Ternyata ada sebuah pesan dari Alena yang masuk. Segera saja Gadis membukanya.

Alena : Dis, gue enggak bisa jemput lo. Gue mesti lembur malam ini. Nanti lo langsung ke rumah gue aja. Kuncinya ada di bawah keset.

Gavriel yang tidak sengaja mengintip pesan dari Alena lewat belakang tubuh Gadis hanya bisa tersenyum tipis. Alena benar-benar berbakat untuk menjadi pembohong. Bagaimana bisa ia berada di kantor secara mereka turun ke parkiran mobil bersama. Bahkan Gavriel sempat mengobrol santai dengan perempuan itu. Jika mengingat obrolannya dengan Alena, entah kenapa Gavriel menjadi kasihan pada Gadis yang tetap berusaha terlihat tegar seolah dirinya tidak sedang kecewa lahir batin atas sikap Pradipta.

"Kasian si Gadis."

"Harusnya lo lebih kasihan sama diri lo sendiri. Di saat Gadis bisa leha-leha, lo masih harus kerja keras bagai romusha."

"Mending kerja keras bagai romusha tapi aset gue nyata. Daripada kaya si Gadis, tabungan perhiasan dari jaman dia masih kerja tiba-tiba ludes semua di berangkas setelah digasak suaminya."

From Bully to Love Meحيث تعيش القصص. اكتشف الآن