29. Melupakan Dirinya Untuk Sejenak

4K 335 2
                                    

Dengan kaos oblong yang sudah memiliki banyak ventilasi kecil dan celana rumahan selutut, malam ini Gavriel sampai di kamar jenazah salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Saat sampai di sana tampak Wilson dan Aditya yang sedang menemani Elang duduk. Wajah Elang yang biasanya tampak ceria dan paling bersemangat diantara mereka semua, kini tampak sebaliknya. Tatapan matanya terlihat kosong dan seakan ia tidak memiliki semangat hidup lagi. Saat Gavriel sudah berada dekat dengan teman-temannya, hanya Wilson yang menyapanya. Kini ia memilih duduk di samping Aditya. Tak ada satu pertanyaan pun yang keluar dari bibir Gavriel.

Saat polisi mencoba memanggil Elang untuk dimintai keterangan, Wilson memilih menemani temannya itu. Kini tinggal dirinya dan Aditya yang menunggu di depan kamar jenazah rumah sakit ini. Dulu Gavriel kira ruang jenazah akan sepi saat malam hari tiba, ternyata tidak juga apalagi jika ada kasus menghebohkan seperti ini.

"Sorry, gue baru tahu waktu Wilson telepon gue tadi."

"Enggak pa-pa. Kita tahu kalo lo baru balik dari Bontang. By the way, gimana keadaan Gadis?"

Gavriel tersenyum kecil saat mendengar pertanyaan dari temannya ini. Diantara ketiga temannya, Aditya yang paling tidak setuju dirinya menyimpan rasa untuk Gadis karena Gadis adalah istri orang. Menurut Aditya pilihannya untuk mencintai Gadis dalam diam itu adalah hal terkonyol karena sangat tidak efisiensi waktu. Lebih baik mencoba mengenal orang baru yamg jelas bisa dimiliki. Andai saja Gavriel mau memperdebatkan pendapat Aditya, rasanya ia ingin memberi hadiah cermin untuk temannya itu. Jelas-jelas temannya itu juga masih menunggu cinta pertamanya untuk muncul ke permukaan setelah keberadaannya hilang ditelan bumi.

"Alhamdulillah, karena bantuan dari lo, gue rasa saat ini dia baik-baik saja. Thanks, Dit. Kalo bukan karena bantuan dari lo, gue masih pusing cari tempat yang aman buat Gadis di Bontang."

Aditya tersenyum kecil. "Udahlah, Gav. Kaya sama siapa aja."

Pembicaraan mereka terhenti kala mendengar suara anak kecil berusia kurang lebih tiga tahunan. Aditya dan Gavriel segera menoleh. Kini yang bisa ia lihat adalah Wilson yang menggendong seorang anak laki-laki Swdang berjalan ke arah mereka. Seketika Aditya dan Gavriel langsung berdiri.

"Anak siapa ini?" Tanya Gavriel tanpa banyak basa-basi.

"Dia satu-satunya yang selamat saat tragedi itu terjadi. Sekarang dia lagi nyari Elang. Elang di mana, ya?"

"Tadi dia pergi sama lo. Kok malah lo nyari ke sini?"

"Soalnya Elang minta gue ke kamar perawatan ponakannya ini. Dia ikut sama polisi. Gue kita dia sudah balik ke sini."

Karena diantara mereka semua, hanya dirinya yang memiliki lebih banyak pengalaman bergaul dengan balita, akhirnya Gavriel memilih mengangkat bocah itu dari gendongan Wilson. Ia mengajak anak itu menjauhi kamar jenazah. Ia mencoba mempraktekkan cara kakaknya (Ella) saat menenangkan Moanna ketika menangis. Satu hal yang Gavriel sadari, anak itu tidak boleh melihat kondisi keluarganya yang ada di dalam ruang jenazah. Jangan sampai ia trauma hingga besar.

Hampir setengah jam Gavriel menenangkan anak itu namun tak kunjung berhasil hingga Elang datang dan anak itu langsung berteriak memanggil Papa. Meskipun heran, namun Gavriel memilih diam. Apalagi Elang yang tadi terlihat tak memiliki semangat hidup kini langsung ceria kembali. Seakan benar dirinya ini adalah orang yang dimaksud oleh keponakannya, Elang segera menyambut uluran tangan anak ini.

"Iya, Sayang. Papa di sini."

Gavriel memilih diam dan ketika anak itu sudah berpindah ke dalam gendongan Elang, Gavriel memilih untuk berjalan mengikuti temannya itu menuju ke arah lift.

"Gimana keadaan Gadis?"

Gavriel cukup terkejut karena Elang masih sempat menanyakan keadaan Gadis di saat dirinya sendiri sedang dirundung duka seperti ini.

"Alhamdulillah, Gadis sudah jauh lebih baik. Lo sendiri gimana?"

Elang tersenyum tipis namun tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya sama sekali. Gavriel tahu pertanyaan yang ia keluarkan ini bodoh tapi entah kenapa ia ingin mendengar curahan hati temannya ini yang tidak dekat dengan keluarga dari Mamanya namun kini tiba-tiba langsung menjadi dekat hingga memiliki anak secara mendadak.

***

Sejak pagi hingga siang ini, Gavriel sibuk dengan pekerjaannya hingga membuatnya tidak sempat memikirkan hal lain selain semua pekerjaan ini harus selesai pukul lima sore. Atas desakan teman-temannya, ia akhirnya memilih berangkat ke kantor hari ini, sedangkan Wilson dan Aditya menemani Elang di rumah sakit.

Saat jam makan siang bahkan dirinya tetap duduk di kursi singgasananya dan fokus menatap laptop. Kelakuan Gavriel ini cukup membuat Alena terheran-heran. Apalagi saat ia bertanya kepada Gadis apakah Gavriel mengabarinya saat sudah sampai di Jakarta, tapi ternyata tidak juga. Kelakuan Gavriel ini membuat Alena semakin bingung dengan laki-laki berdarah campuran itu.

Tanpa banyak berpikir lagi, Alena segera mengirimkan kabar kepada Gadis atas kelakuan absurd Gavriel di kantor hari ini.

Alena : si Gavriel semedi di ruangannya sejak pagi. Dia sama sekali enggak keluar dari sana. Jam istirahat juga enggak keluar dari ruangannya.

Gadis yang membaca pesan dari Alena ini hanya bisa menghela napas panjang. Setelah perdebatannya dengan kakaknya, ia juga berpikir bahwa mungkin Gavriel memang menyimpan perasaan untuknya, maka dari itu, ia mengira bahwa Gavriel mungkin akan menyerbu handphonenya dengan serangan pesan yang tiada henti dimulai dari sebuah kabar informasi receh sampai menanyakan keadaannya. Ternyata ia salah besar. Memang paling benar tidak berharap pada laki-laki dan harus bisa mandiri pikir Gadis saat ini. Percuma berharap mereka akan bisa membaca isi hati terdalam wanita jika wanita itu tidak mengungkapkan isi hatinya terlebih dahulu.

Gadis : Kenapa lo sampai laporan ke gue tentang hal enggak penting begini?

Alena : Ye... Sok enggak butuh gitu lo jadi perempuan. Tanpa Gavriel mungkin sekarang lo tinggal nama aja.

Gadis : jari lo kurang didoain.

Setelah mengetikkan pesan balasan untuk Alena, Gadis segera berjalan menuju ke kamar mandi. Ia harus segera mandi dan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin karena ia akan menuju ke rumah sakit untuk melakukan visum.

***

Gadis menggeram ketika mengetahui jika hasil visum tidak bisa ia terima hari itu juga. Dengan rasa jengkel yang ia rasakan, Gadis berjalan menuju ke arah lobby rumah sakit bersama Banyu. Sambil menunggu taxi online yang mereka pesan datang, Banyu mencoba bertanya kepada Gadis.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

"Meminta kejujuran Papa."

Banyu menoleh setelah mendengar perkataan Gadis.

"Maksud kamu apa, Dis?" Tanya Banyu dengan suara pelan yang membuat Gadis ikut menoleh ke arah kakaknya itu. Saat mendapati Banyu sudah lebih dulu menatapnya dengan tatapan penuh keheranan, akhirnya Gadis tersenyum. Ternyata oh ternyata, kakaknya ini juga belum tahu tentang kepemilikan saham Papanya di perusahaan tempat Pradipta bekerja.

"Oh, ternyata Mas Banyu juga enggak tahu, ya? Kalo Papa kita punya kepemilikan saham di perusahaan tempat Dipta bekerja."

Ucapan Gadis ini sontak membuat Banyu mengedipkan matanya beberapa kali. Papanya memiliki saham di perusahaan tempat Pradipta bekerja? Sejak kapan Papanya memilikinya? Kenapa ia sampai tidak tahu? Tumben sekali Papanya tidak bercerita kepadanya tentang langkah bisnis yang ia ambil. Ini benar-benar di luar kebiasaan sang Papa selama ini.

"Ka... Kamu serius, Dis?"

Gadis menganggukkan kepalanya namun ia tidak menjelaskan lebih lanjut kepada Banyu karena taxi online yang mereka pesan sudah datang dan ia juga belum memastikan tentang berapa banyak saham yang Papanya miliki di perusahaan itu.

***

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang