13. Kabur

4K 281 9
                                    

Gadis menatap tas ransel Fjallraven Kanken yang dulu sering ia pakai untuk kuliah. Berbeda dengan dulu ketika tas ini berisi laptop, alat tulis dan berbagai macam tugas kuliahnya, kini tas ini berisi baju dan perlengkapan pribadinya. Kali ini misinya harus berhasil meskipun ia harus sedikit berbohong pada kedua orangtuanya.

Tok...

Tok...

Tok....

"Masuk," Ucap Gadis sambil segera menutup resleting tas berwarna merah marron itu.

Gadis tersenyum kala melihat Banyu berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Mas, masuk. Jangan disitu aja."

Mendengar perkataan Gadis, Banyu segera melangkahkan kakinya untuk mendekati adik semata wayangnya ini. Baru saat sampai di dekat Gadis, Banyu memilih untuk duduk di pinggiran ranjang berukuran king. Ia tatap adiknya yang tampak bahagia. Berbeda dengan dua hari yang lalu kala mereka berdebat hebat, hari ini seakan Gadis sudah melupakan semua kejadian itu.

"Kamu serius mau ke Jogja sendiri?"

"Iya, Mas."

"Biar Mas antar aja atau pak Manto. Lebih enak naik mobil daripada kereta."

"Aku sengaja naik kereta, Mas soalnya aku belum pernah naik KRL yang Jogja-Solo."

Banyu tersenyum mendengar perkataan Gadis. Sejak dulu memang adik perempuannya ini termasuk perempuan yang mandiri dan tidak suka merepotkan orang lain. Mungkin ini juga yang membuat Dipta memilih menikahi Gadis karena Gadis terlalu mandiri hingga jarang merepotkan orang-orang disekitarnya. Terbukti juga ia tidak banyak mengeluh ketika setelah menikah, Dipta tidak memberinya asisten rumah tangga. Semua Gadis kerjakan sendiri dari membersihkan rumah hingga memasak. Untuk ukuran seorang perempuan yang sejak lahir sudah hidup berkecukupan, Gadis termasuk yang patut diapresiasi menurut Banyu.

"Memangnya kamu di Jakarta enggak naik KRL kalo kerja?"

"Enggak, Mas. Aku naik mobil soalnya Mama sama Papa enggak ijinin aku naik kendaraan umum. Maunya dulu credit rumah aja, tapi Mama sama Papa justru bilang untuk ambil apartemen. Keamanan dan kenyamanannya lebih baik buat single kaya aku."

Seketika Banyu ingat jika apartemen Gadis dibeli secara kredit. Apakah sudah lunas atau justru sudah tinggal kenangan karena Gadis sudah tidak bekerja yang membuatnya kesulitan untuk membayar angsurannya?

"By the way apartemen kamu sekarang gimana kabarnya?"

"Disewa sama ekspatriat asal Inggris."

"Enggak ada tunggakan cicilan 'kan, Dis?"

Gadis tertawa mendengar perkataan Banyu. Memang ia sempat bingung harus bagaimana membayar cicilan diawal ia resign dari kantor. Karena tidak mungkin ia meminta uang pada suaminya. Gadis tidak mau apartemennya dianggap gono gini karena Dipta ikut membayar cicilannya meskipun ia beli sebelum menikah.

"Enggak, Mas. Tenang aja, aku jual saham buat cicilan bulanannya dulu sebelum laku disewa. Kalo sekarang sih sudah jelas uang sewa buat bayar cicilan."

"Alhamdulillah kalo begitu. Nanti kalo kamu ke Jogja, jangan lupa tengok kost-kostan aku yang baru aja selesai di bangun."

"Memang berapa pintu sih sampai harus ditengok?"

"32 pintu, Dis."

Satu detik...

Dua detik....

Tiga detik....

Gadis cukup terkejut dengan informasi dari Banyu ini. Siapa sangka di usia 35 tahun kakaknya sudah bisa menginvestasikan uangnya dengan membangun kost-kostan di Jogja.

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang