71. Jangan pilih kasih, Bunda

3.7K 496 10
                                    

Gavriel memperhatikan Leander yang tengah disuapi oleh Gadis. Biasanya anak itu sudah makan sendiri meskipun sedikit berantakan di kursi makannya. Entah kenapa kini bocah ini justru tiba-tiba kehilangan kemandiriannya saat bersama Gadis. Gadis yang melihat Gavriel memperhatikan Leander hanya bisa tersenyum.

"Kamu kenapa lihatin Lean begitu?"

"Aku iri sama dia."

"Why?"

"Di rumah aja dia biasa makan sendiri, ini tiba-tiba minta disuapin sekarang. Coba aku yang minta begitu, disuapinnya bukan lagi pakai sendok tapi pakai sekop."

Gadis  tertawa mendengar perkataan Gavriel. Ia tahu jika sejak tadi Gavriel mencoba menggodanya namun ia memilih menanggapinya secara positif tanpa berpikir yang tidak-tidak.

"Sudah tua, malu kalo iri sama bocah, Gav."

"Laki-laki itu sejatinya tidak pernah menjadi dewasa meskipun kelak dia sudah tua, Dis."

"Iya, aku percaya, Gav. Enggak peduli Papaku sudah lansia tapi Papa takut banget sama jarum suntik. Karena itu dia selalu berusaha buat menjalani gaya hidup sehat. Dia takut ke rumah sakit apalagi ketemu sama dokter."

"Terus gimana kalo harus cek up rutin kesehatannya?"

"Ya harus ada yang temani, Gav. Dulu aku pernah enggak sengaja lihat Papa nangis di kamar perawatan rumah sakit cuma gara-gara mau pasang selang infus. Bukannya menenangkan Papa, setelah perawatnya pergi, Papa dapat bonus omelan dari Mama karena malu."

Dari apa yang Gadis ceritakan kepadanya ini, Gavriel tahu jika Gadis dan dirinya sungguh sangat berbeda. Ia harus menjalani masa remaja hingga dewasanya tanpa dampingan kedua orangtua lengkap yang menjadikannya terlalu mandiri hingga saat ini. Semua ini terasa baik-baik saja kecuali saat bulan ramadhan dan hari raya idul fitri tiba. Saat orang-orang seperti Gadis berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga, dirinya menghabiskan momment-momment itu seorang diri. Beruntung beberapa tahun belakangan ini, ada Wilson yang menemaninya menjalani saat-saat itu. Wilson akan merayakan momment itu di rumahnya. Ketika pagi hari, mereka akan pergi ke masjid bersama, lalu pulang ke rumah untuk makan opor dan menghabiskan waktu di depan televisi sambil bermain PS. Senyesek itu hidup tanpa memiliki keluarga yang utuh. Mau berkumpul bersama tetangga pun kebanyakanan tetangganya adalah pendatang sehingga jelas pada saat-saat seperti itu hampir semuanya melakukan mudik.

"Kamu bahagia, Dis?"

Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Gavriel, Gadis tampak berpikir beberapa saat lalu ia anggukkan kepalanya. Melihat keyakinan dalam anggukan kepala Gadis, Gavriel bisa merasa tenang. Setidaknya Gadis bahagia menjalani kehidupannya. Kini Gavriel kembali menikmati makan malamnya. Selesai memanjakan cacing-cacing di dalam perut dengan asupan makanan yang banyak malam hari ini, Gavriel segera mengajak Gadis untuk pulang.

"Aku mau bayar ke kasir dulu, kamu sama Lean duluan aja ke mobil," kata Gavriel sambil mengulurkan remote kunci mobil kepada Gadis.

"Okay."

Kini setelah Gavriel pergi ke arah kasir, Gadis segera mengajak Leander untuk keluar dari restoran keluarga ini. Melihat Leander yang tampak sedikit mengantuk, Gadis mencoba menanyakannya. Jika memang Lean mengantuk, mau tidak mau ia harus duduk di kursi penumpang belakang mobil dalam perjalanan pulang kali ini.

"Lean sudah ngantuk?" Tanya Gadis sambil berlutut di hadapan Leander agar tinggi mereka sejajar.

"Iya, Bunda. Tapi nanti kalo aku tidur di mobil, Bunda jangan pergi, ya?"

Aduh gusti,
Gadis merasa hatinya receh sekali karena hanya dengan mendengar perkataan Leander saja hatinya sudah terenyuh. Ia bahkan menahan tanggul air matanya agar tidak jebol saat ini. Setakut inikah anak ini kehilangan orang terdekatnya? Andai kata pun benar tentu saja Gadis bisa memahami semua itu. Leander tidak hidup dalam rasa trauma mendalam saja itu sudah sangat baik.

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now