26. Akhirnya dia setuju

4.2K 352 6
                                    

Gavriel menoleh untuk melihat jam di sudut dinding kamar perawatan Gadis. Kala melihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan Gadis juga tak kunjung menutup matanya, membuat Gavriel merasa sedikit khawatir.

"Lo kenapa enggak tidur-tidur, Dis?"

"Gue enggak bisa tidur, Gav. Setiap gue baru aja merem, selalu aja gue teringat saat-saat itu lagi."

"Lo trauma?"

"Sejujurnya gue enggak tahu, Gav. Entah kenapa gue rasanya perlu belajar ilmu bela diri mulai dari sekarang. Karena  enggak ada yang bisa melindungi diri gue, selain diri gue sendiri."

Gavriel menghela napas panjang dan kini ia mulai bangun dari ranjang tunggu pasien yang ada di kamar perawatan Gadis. Setelah ia bisa duduk di pinggiran ranjang, Gavriel menatap Gadis yang memilih menatap langit-langit kamar daripada menatapnya.

"Setiap mahluk hidup pasti punya insting untuk mempertahankan diri ketika berada di situasi yang berbahaya. Entah itu lari atau melawan. Pilihannya hanya itu. Kalo kamu merasa trauma, besok pagi gue bisa bilang ke perawat untuk dijadwalkan bertemu dengan psikolog."

"Gue rasa belum perlu, Gav. Gue harus keluar dari rumah sakit ini secepetnya dan melaporkan Pradipta ke pihak yang berwajib."

Satu detik...

Dua detik....

Tiga detik....

Gavriel cukup terkejut dengan rencana Gadis ini. Setelah sejak tadi ia mengusulkan hal ini namun ditolak mentah-mentah oleh Gadis, siapa sangka jika kini Gadis justru dengan santai mengutarakan hal ini. Kenapa tidak dari tadi saja pikirnya.

"Kalo lo mau, sebelum gue pulang, gue antar sebentar ke polsek."

Gadis menoleh dan ia melihat Gavriel yang ternyata sudah menatapnya lebih dahulu. Ia mencoba mempertimbangkan usul Gavriel ini.

"Lo balik kapan ke Jakarta?"

"Besok siang, Dis. Lo enggak usah takut sendirian. Besok kakak lo datang buat gantiin gue."

Seketika kedua mata Gadis langsung tertutup rapat. Kenapa ia bisa sebodoh ini? Kenapa ia tidak melarang Gavriel atau Alena untuk memberitahu keluarganya terutama kakaknya.

Gavriel yang melihat reaksi Gadis ini hanya bisa memberikan senyum. "Lo enggak usah takut. Gue yakin andai kata kakak lo mau meluapkan rasa kesalnya, pastinya bukan lo yang akan menerima semua itu tapi Dipta."

"Masalahnya kakak gue itu pemegang sabuk hitam karate. Gue ngeri kalo dia sampai lepas kontrol diri ke Mas Dipta."

"Kalopun itu terjadi, sebaiknya lo enggak usah ikut-ikut. Karena apa yang kakak lo lakukan itu karena dia sayang sama lo."

Setelah mengatakan itu, Gavriel memilih untuk merebahkan tubuhnya lagi dan tidur dalam posisi membelakangi Gadis. Jangan sampai ia mengurungkan niatnya untuk pulang ke Jakarta hanya karena tidak bisa meninggalkan Gadis di tempat ini seorang diri. Ia harus sadar posisi jika Gadis bukanlah wanita lajang yang bisa ia dekati terlepas bagaimanapun hubungan Gadis dengan Pradipta saat ini.

***

Matahari pagi yang masuk melalui celah-celah jendela membuat Gavriel membuka matanya. Kala ia membuka mata, ia langsung terkejut karena Gadis sudah tidak ada di atas ranjang tempat tidurnya. Tanpa menunggu nyawanya terkumpul, Gavriel segera mencari Gadis mulai dari kamar mandi yang ternyata kosong. Kini ia mulai berjalan keluar dan menanyakan ke mana Gadis kepada perawat jaga yang dijawab dengan jawaban bahwa Gadis sedang berjalan-jalan bersama teman wanitanya di taman.

Ada perasaan sedikit lega mendengar hal itu namun untuk memastikan semuanya, Gavriel memilih untuk menelepon Alena. Beberapa saat ia menunggu telepon itu diangkat hingga sebuah suara yang tidak asing baginya terdengar di ujung telepon.

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now