44. Pengakuan Gila

Mulai dari awal
                                    

"Mama masuk RS, Dis. Papa sudah coba hubungi kamu tapi tidak kamu respon sama sekali."

"So?"

"Terlepas hubungan kita yang tidak bisa diperbaiki lagi, tolong kamu tetap peduli pada mereka. Mereka enggak berhak menerima kemarahan kamu karena mereka sayang sama kamu itu tulus."

Gadis tersenyum sinis mendengar perkataan Pradipta. Dari sini saja ia tahu bahwa Pradipta masih menutupi kondisi rumah tangganya dari keluarga. Memang laknat suaminya ini, pikir Gadis. Masih ingin terlihat baik di depan orang lain meskipun kelakuannya di depan istrinya sendiri lebih bisa membuat setan insecure.

"Mas, coba deh telepon Rachel. Ini momment yang pas buat dia masuk ke keluarga kamu. Jangan kamu ganggu aku lagi. Aku sudah bertekad untuk menggugat cerai kamu secepatnya."

Setelah mengatakan semua itu, Gadis segera menutup sambungan teleponnya dengan Pradipta. Lemas, itulah yang Gadis rasakan kali ini. Itu semua bukan karena ia lelah menjalani hari ini tetapi karena informasi dari Pradipta mengenai mama mertuanya.

Gavriel yang baru saja keluar dari kamar mandi dan tidak sengaja mendengar hal itu hanya bisa diam. Ia membayangkan bagaimana dilemanya Gadis saat ini. Di satu sisi Gadis ingin lepas dari suami dajjal-nya namun di sisi lain ada hubungan keluarga yang sulit terputus begitu saja.

Suara isakan tangis yang diam-dian terdengar membuat Gavriel menghela napas panjang. Kini ia memilih pergi ke dapur dan mengambilkan air putih untuk Gadis. Saat ia sampai di depan sofa televisi, Gavriel menaruh minuman itu di atas meja dan memilih untuk duduk di samping Gadis. Yang bisa ia lakukan adalah menunggu hingga Gadis selesai menumpahkan semua rasa kecewa, sedih dan marahnya dalam tangisannya. Hampir setengah jam Gavriel menunggu hingga akhirnya Gadis menoleh untuk menatapnya.

"Kenapa kamu malah di sini, Gav?"

Andai bisa menjawab jujur, tentu saja Gavriel akan mengatakan jika ia akan menemani Gadis melalui masa-masa sulit dan berat ini. Sayangnya ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberikan semua jawaban itu. Jawaban teraman adalah mengatakan bahwa ia duduk di sini karena malam ini sofa panjang ini adalah tempat tidurnya.

Menyadari jika apa yang dikatakan Gavriel ada benarnya, Gadis memilih langsung berdiri. Baru juga Gadis akan melangkahkan kakinya menuju ke ranjang, Gavriel sudah mencekal pergelangan tangan kanannya.

"Ada apalagi, Gav?" Tanya Gadis sambil menoleh ke samping untuk melihat Gavriel yang ternyata sudah menatapnya lebih dulu.

"Kamu minum dulu airnya."

Bukannya langsung melakukan apa yang Gavriel minta, Gadis justru menatap Gavriel lekat-lekat. Ia amati wajah laki-laki ini dengan seksama hingga tanpa Gadis sadari air matanya kembali menetes.

"Kamu kenapa nangis lagi, Dis?"

Susah payah Gadis menahannya namun yang ada ia sudah tidak tahan lagi mendapatkan perlakukan seperti ini dari Gavriel.

"Why are you so sweet to me?" Tanya Gadis pelan dengan linangan air mata.

Mendengar pertanyaan Gadis ini, Gavriel memilih berdiri. Saat Gavriel berdiri di hadapannya, Gadis bisa merasakan embusan napas Gavriel yang beraroma mint segar.

Baru sekali ini Gadis merasa terintimidasi tanpa alasan yang jelas kala berdiri di hadapan Gavriel. Mungkin karena tinggi Gavriel yang menjulang untuk laki-laki yang biasa ia temui sehari-hari. Gadis yakin tingginya sekitar 185 centimeter karena ia yang tingginya 165 centimeter saja terlihat pendek di dekat lelaki itu.

Gavriel menundukkan kepalanya untuk melihat perempuan yang sudah menghiasi kepala serta hatinya selama lebih dari sewindu ini. Tidak ada pilihan lain kali ini selain jujur kepada Gadis. Lagipula ia sudah lelah menutupi semua ini. Terserah Gadis akan seperti apa nantinya yang penting sudah tidak ada lagi hal yang ia tutupi.

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang