31. Jujur kepada Papa

Beginne am Anfang
                                    

"Karena ada hal penting yang ingin aku beritahukan ke Papa."

"Tentang masalah apa?"

Mendengar pertanyaan ini, Gadis mencoba menatap Banyu yang kini menatapnya balik. Satu anggukan kepala dari kakaknya ini membuat Gadis akhirnya bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Pa, aku mau minta maaf."

Sudibyo mengernyitkan keningnya mendengar permintaan maaf dari anak bungsunya. Namun ia memilih diam dan menunggu penjelasan Gadis.

"Sebenarnya selama hampir seminggu ini, aku bukan ada di Jogja tapi di Bontang."

Gadis berusaha sekuat tenaga untuk menahan tanggul air matanya agar tidak jebol. Jangan sampai ia menangis di hadapan sang Papa. Ia harus kuat agar Papanya tahu bahwa ia bukan perempuan lemah yang bisa diinjak-injak oleh suaminya.

"Aku pulang ke Bontang karena ingin bertemu Mas Dipta. Sayangnya saat aku sampai di rumah, ada sosok wanita lain di sana. Dari situ akhirnya aku dan Mas Dipta bertengkar hebat hingga Mas Dipta melakukan kekerasan fisik ke aku, Pa."

Kedua tangan Sudibyo mengepal kuat-kuat. Amarahnya langsung mendidih ketika mendengar semua ini. Berani-beraninya Pradipta melakukan semua itu kepada Gadis setelah apa yang ia berikan kepadanya.

Gadis yang melihat ekspresi marah sang Papa memilih menundukkan pandangannya. Ia tidak kuat melihat semua ini. Bibirnya bahkan terasa kelu dan tidak bisa berbicara labih banyak lagi.

"Teruskan Gadis cerita kamu," Ucap Sudibyo meksipun sebenarnya ia merasa tidak kuat lagi mendengar semua kenyataan ini.

Dengan bibir yang sedikit bergetar, Gadis mencoba untuk meneruskan cerita tentang apa yang dirinya alami. Sejujurnya sejak kejadian Pradipta yang mencekiknya, ia bahkan tidak bisa memakai baju yang berkerah rapat atau begitu rapat di daerah leher. Ia selalu terasa tercekik.

"Aku pingsan setelahnya, Pa. Saat aku sadar, ternyata aku sudah ada di rumah sakit."

"Bajingan. Bisa-bisanya dia melakukan kekerasan ke kamu lalu dia membawa kamu ke rumah sakit."

Gadis mencoba mengangkat pandangannya. Ia gelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Bukan Mas Dipta yang membawa aku ke rumah sakit, Pa tapi Alena dan Gavriel."

Alena. Ya, Sudibyo tahu tentang teman kantor anaknya itu ketika bekerja di Jakarta, namun siapa Gavriel? Ia baru mendengar nama ini sekarang. Apakah teman dekat Alena?

"Apa Alena pindah tugas ke Bontang sekarang?"

"Enggak, Pa. Dia masih di Jakarta."

"Lalu Gavriel siapa?"

Gadis menghela napas panjang. Kenapa juga Papanya justru menanyakan siapa Gavriel saat ini kepadanya.

"Teman kantor aku dulu waktu di Jakarta. Kebetulan mereka berdua sedang ada urusan di Bontang. Karena itu mereka berniat mampir ke rumah, tapi saat mereka memasuki rumah, ternyata yang mereka temukan adalah aku yang sudah terkapar di ruang keluarga."

"Pradipta ke mana, Dis?"

"Dia pergi bersama perempuan itu, Pa. Perempuan itu namanya Rachel. Dia mantan pacar Mas Dipta sebelum menikah dengan aku."

"Apa? Perempuan itu mantan pacarnya suamimu?"

Gadis menganggukkan kepalanya. Sudah kepalang tanggung kalo ia harus mundur saat ini. Lebih baik ia menceritakan semuanya agar tidak ada pertanyaan lagi dari Papanya di kemudian hari.

"Mereka berdua memiliki hubungan yang cukup lama. Sayangnya mereka tidak bisa menikah karena terhalang restu keluarga. Perbedaan keyakinan menjadi alasan keluarga Mas Dipta menentang hubungan itu."

Kepala Sudibyo terasa pening. Sepertinya kenyataan bahwa putrinya hanya dijadikan istri diatas kertas telah membuat tensinya naik. Kini ia pegang keningnya dengan tangan kanan.

Seburuk inikah kehidupan anak perempuannya setelah menikah? Menikah dengan laki-laki dari keluarga biasa yang dilandasi cinta tapi ternyata cinta itu tidak pernah ada. Yang ada hanyalah Gadis dijadikan boneka dan istri diatas kertas oleh Pradipta. Kenyataan bahwa selama ini ia membantu keuangan menantunya tanpa sepengetahuan anaknya membuat Sudibyo semakin merasa kecewa dan marah kepada Pradipta.

"Dengan semua yang terjadi ini, apakah kamu masih mau mempertahankan rumah tangga kamu dengan Dipta?"

Gadis tersenyum mendengar pertanyaan sang Papa. Pertanyaan inilah yang ia tunggu-tunggu sejak tadi..

"Tidak, Pa. Aku ingin bercerai dari Mas Dipta. Sayangnya berkas-berkas untuk pengurusan cerai itu saat ini ada di tangan Mas Dipta."

Sudibyo menghela napas panjang. Tentu saja Gadis harus membawa kartu keluarga dan buku nikah suami istri yang asli jika ingin menggugat cerai Pradipta di pengadilan agama. Tanpa semua data itu, proses itu tidak bisa dilakukan.

"Papa tenang saja. Aku sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Dia mau menggugat aku duluan juga silahkan. Mas Dipta saja bisa memperlakukan aku seperti ini, aku juga akan memperlakukan dia dengan cara yang sama. Aku akan memperlakukan dia seperti sampah."

"Kamu yakin akan tega melakukan semua itu kepada orang yang kamu cintai?"

"Aku sudah memutuskan untuk berhenti mencintainya, Pa. Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah memutuskan menikah dengan dia dan meninggalkan pekerjaan yang begitu aku cintai. Jika Papa mengijinkan, aku ingin terjun ke bisnis keluarga kita secepatnya. Rasanya aku harus memiliki kegiatan yang bermanfaat."

Sudibyo cukup terkejut dengan keputusan Gadis. Entah apapun alasan yang melatarbelakangi anak perempuannya ini mengambil keputusan ini, tapi ia sangat bahagia. Setelah Banyu memilih bekerja pada perusahaan asing di Singapura, harapannya hanya ada pada Gadis. Sayangnya, setelah menikah anak perempuannya ini justru memilih mengabdi pada suaminya yang ternyata kelakuannya seperti setan.

"Meskipun Papa prihatin dengan masalah rumahtangga kamu saat ini, tapi tidak bisa Papa pungkiri kalo Papa merasa bahagia dengan keputusan kamu untuk terjun ke bisnis keluarga kita. Papa akan bantu kamu semaksimal yang Papa bisa."

Mendengar perkataan sang Papa, Gadis merasa batu besar yang menindih paru-parunya terangkat. Rasanya lega dan ia tahu bahwa Tuhan begitu baik di hidupnya. Meskipun nasib malang menimpa rumahtangganya dengan Pradipta, namun ia masih memiliki keluarga yang selalu ada untuk dirinya dalam segala keadaan. Keluarga yang bisa menjadi tempatnya untuk pulang.

***

From Bully to Love MeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt