20. Memberitahu keluarga Gadis

Mulai dari awal
                                    

"Lo aja yang telepon Mas Banyu."

"Lha 'kan lo yang kenal."

"Takut gue."

Gavriel memutar kedua bola matanya dan akhirnya ia anggukkan kepalanya. Ia segera memasukkan nomer telepon Banyu ke dalam kontak handphonenya. Begitu ia sudah selesai memasukkan nomer Banyu, Gavriel segera menghubungi kakak Gadis tersebut. Beberapa saat menunggu hingga akhirnya terdengar suara di ujung telepon.

"Hallo?"

Gavriel berdeham sebelum menjawab Banyu. "Hallo, selamat siang. Benar ini dengan Banyu?"

"Iya saya sendiri. Ini siapa?"

"Saya Gavriel, temannya Gadis."

Banyu mulai memikirkan siapakah teman Gadis yang bernama Gavriel hingga akhirnya ia ingat bahwa adiknya itu pernah bersitegang dengan laki-laki sebelum acara ijab qobulnya. Sayup-sayup ia mendengar Gadis menyebut nama Gavriel dalam pertengkaran itu.

"Oh, iya-iya yang datang waktu Gadis nikahan dulu itu, ya?"

"Iya."

"Ada apa telepon saya?"

Gavriel berdoa didalam hatinya, semoga apa yang akan ia sampaikan ini tidak membuat Banyu naik pitam kepada Pradipta. Jangan sampai ada pertumpahan darah diantara kedua laki-laki ini. Karena seburuk apapun laki-laki, ia tidak akan tinggal diam jika saudara perempuannya dianiaya oleh suaminya apalagi sampai harus menginal di rumah sakit seperti ini.

"Saya bermaksud menyampaikan kabar jika Gadis saat ini sedang dirawat di rumah sakit."

Beberapa saat hening hingga akhirnya suara nyaris berteriak terdengar dari ujung telepon.

"Rumah sakit?"

"Iya. Saya dan Alena menemukan Gadis sudah tidak sadarkan diri di lantai rumahnya sore hari ini."

"Tunggu... tunggu, maksud kamu rumah itu rumah siapa? Gadis sedang di Jogja sekarang."

"Gadis terbang ke Bontang hari ini. Dan saat ini dia ada di rumah sakit yang ada di Bontang."

Kini Gavriel harus menjauhkan handphone dari telinganya kala ia mendengar Banyu sudah mengeluarkan sumpah serapahnya untuk sang adik ipar. Kini ia paham bagaimana seorang Gadis bisa mengumpat dengan fasih setiap kali mereka bertengkar, ternyata sang kakak pun tidak jauh berbeda dengannya.

"Okay, okay, thanks infromasinya. Tolong kamu rahasiakan masalah ini dulu dari keluarga saya terutama Mama karena Mama hari ini sedang tidak sehat. Saya akan mencari penerbangan ke Bontang secepatnya."

"Okay, saya akan kirimkan alamat rumah sakitnya melalui whatsapp."

Setelah mengatakan itu, Gavriel memilih untuk menutup sambungan teleponnya dengan Banyu. Saat ia menoleh, ternyata Alena sudah meninggalkan dirinya di tempat ini seorang diri. Ia segera mencari temannya itu namun tak menemukan batang hidungnya. Mau tidak aku Gavriel menelepon Alena.

"Lo di mana sih ngilang tanpa pamit?"

"Baru aja sampai di kamarnya Gadis. Lo ke sini aja deh. Dia sudah sadar."

Mendengar infromasi ini dari Alena, Gavriel segera menutup sambungan teleponnya. Meskipun ada rasa lega karena Gadis sudah sadar tapi ia tidak bisa langsung menemui Gadis karena takut jika kehadirannya hanya akan membuat Gadis emosi dan hilang kesabaran.

Di waktu yang sama di dalam ruang perawatan Gadis, Alena memilih duduk di samping ranjang tempat tidur Gadis. Ia memilih memperhatikan temannya itu yang sejak tadi lebih banyak diam. Meskipun banyak hal yang ingin ia tanyakan tentang sebab kenapa Gadis sampai terkapar di dalam rumah seorang diri namun Alena mengurungkan niatnya. Ia tahu jika saat ini Gadis masih lemah dan mungkin dalam keadaan shock.

"Len?" Panggil Gadis dengan suara lemah setelah sejak tadi ia memilih untuk diam.

"Ya?"

"Kok lo bisa ada di sini?"

Mampus....
Alena belum membuat alasan yang sangat logis kali ini. Otaknya harus cepat-cepat memilih alasan yang logis daripada ia harus menjelaskan hal yang dirinya belum yakin akan kebenarannya, apalagi jika bukan tentang perasaan Gavriel kepada Gadis yang sudah disanggah mati-matian oleh Gavriel sendiri.

"Hari ini gue sama Gavriel ada acara di Bontang. Karena udah selesai mikirnya gue mau ajakin dia mampir ke rumah lo. Buat pembuktian gitu lho Dis kalo lo tetap hidup layak meskipun lo sudah enggak kerja kantoran lagi."

Gadis tersenyum kecil. Ia tahu bahwa Alena sedang menutupi sesuatu dari dirinya.

"Apapun alasan lo, gue tetap berterimakasih ke lo karena lo sudah menyelamatkan nyawa gue hari ini. Tanpa bantuan lo, mungkin gue sudah viral masuk sosmed dengan kasus sebagai korban pembunuhan yang dilakukan suami."

Alena menelan salivanya. Ternyata prediksinya tidak meleset sama sekali. Dengan kesabarannya yang setipis debu ini, ia sudah mengeluarkan sumpah serapah yang sejak tadi sudah ia tahan. Gadis yang mendengar ini semua hanya bisa diam dan menunggu Alena selesai dengan makiannya untuk Pradipta.

Mencoba mengabaikan suara Alena, Gadis mulai memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk membalas apa yang Pradipta lakukan kepadanya. tentu saja bukan dengan berselingkuh. Ia akan membuat semuanya lebih indah dan elegan hingga Pradipta tak bisa menyalahkannya.

Sebuah ide tiba-tiba muncul di dalam kepalanya yang membuat Gadis tersenyum. Alena yang melihat Gadis tersenyum seperti itu justru langsung diam seketika.

"Dis, lo baik-baik aja?"

"Iya. Meksipun gue masih di atas ranjang rumah sakit, tapi gue akan membuat Pradipta membayar semua ini dengan mahal."

"What?" Pekik Alena yang membuat Gadis menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan.

"Lo harus bantu gue, Len."

Mendengar perkataan Gadis, bulu kuduk Alena langsung meremang. Entah kenapa ia memiliki firasat tidak baik dengan permintaan Gadis kepadanya ini. Demi apapun jika Gadis memintanya untuk bertemu dngan Pradipta, ia akan menolaknya dengan tegas karena ia tidak akan bisa menahan dirinya untuk tidak melemparkan sepatu yang ia pakai ke wajahnya Pradipta.

***

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang