19. Penemuan mengejutkan

Start from the beginning
                                    

"Lho, enggak dikunci ternyata, Gav," Ucap Alena sambil masih berusaha menghubungi Gadis.

"Kita masuk aja, gimana?"

Alena menganggukkan kepalanya dan kini ia segera berdiri untuk mendekati Gavriel. Mereka masuk ke rumah bersama.

"Sepi banget rumahnya," Bisik Alena pelan di dekat telinga Gavriel.

"Memang si Gadis enggak punya asisten rumah tangga?" Tanya Gavriel balik dengan tidak kalah berbisik.

"Enggak, katanya sih si Dipta enggak mau ada orang lain selain keluarganya di rumah," Jawab Alena pelan yang membuat Gavriel menggelengkan kepalanya.

"Bilang aja pelit."

"Nah, gue juga mikirnya begitu."

Langkah Alena dan Gavriel terhenti kala mereka memasuki ruang keluarga. Mereka bisa melihat Gadis yang sudah tergeletak di lantai dan tak sadarkan diri. Seketika Alena langsung berteriak menyebut nama temannya itu. Ia berlari mendekati Gadis namun saat akan menyentuh Gadis, Gavriel segera menahannya.

"Jangan disentuh, Len!"

"What?"

"Kita bukan orang yang paham tentang prosedur medis. Salah penanganan bahaya. Lebih baik hubungi ambulance rumah sakit," Kata Gavriel dengan susah payah.

Meskipun ia ingin menolong Gadis secara langsung seperti Alena, namun kewarasannya masih bisa ia gunakan. Ia masih ingat kejadian om-nya (adik Mamanya) yang meninggal karena kecelakaan bukan karena kecelakaan itu fatal tetapi karena beberapa orang langsung mengangkatnya ke pinggir jalan tanpa mengetahui bagian mana yang cidera. Andai saja saat itu mereka menunggu ambulance datang dan membiarkan para tenaga medis yang menolongnya, kemungkinan besar nyawanya masih bisa selamat.

Setelah berhasil menenangkan Alena, Gavriel segera menghubungi rumah sakit terdekat yang nomer teleponnya bisa ia dapatkan di internet. Selesai menghubungi rumah sakit, Gavriel meminta Alena membantunya untuk membawa barang-barang Gadis yang kemungkinan besar belum dibongkar karena tengah hari, Gadis baru sampai di Bintang.

"Kenapa lo malah nyuruh-nyuruh gue sih?"

"Terus mau nyuruh siapa? Lagipula ke rumah sakit juga kita butuh data diri si Gadis."

Menyadari jika apa yang dikatakan Gavriel ada benarnya juga, Alena menghela napas panjang. Ia segera berjalan menuju ke pintu yang tidak jauh dari ruang keluarga. Saat sampai di sana, ia segera membuka pintu itu dan ternyata yang ia masuki adalah sebuah ruang kerja. Baru saja ia akan menutup pintu itu, namun dirinya justru menemukan ransel Fjallraven Kanken milik Gadis. Ia segera mengecek isinya dan menemukan barang-barang Gadis masih komplit di sana. Ia ambil barang-barang itu dan membawanya keluar.

Ketika Alena keluar dari ruang kerja ini, ia menemukan Gavriel sedang duduk bersila di samping Gadis yang masih tidak sadarkan diri. Alena memilih berhenti berjalan dan memperhatikan tubuh Gavroel yang terlihat menunduk untuk menatap temannya itu.

"Kenapa lo sampai kaya gini sih, Dis? Jangan jadi bodoh cuma karena cinta. Miris gue lihat lo kaya gini."

Alena yang mendengar itu hanya bisa diam. Tidak ia sangka jika Gavriel bisa juga berbicara normal layaknya laki-laki kepada perempuan saat bersama Gadis. Andai Gadis dalam keadaan sadar, pasti ia akan mengeluarkan sumpah serapah karena dianggap bodoh oleh rivalnya di kantor.

"Len, kenapa lo berdiri di situ?"

Pertanyaan Gavriel membuat Alena tersenyum dan kini ia harus berpura-pura tidak mendengar perkataan Gavriel tadi.

"Enggak pa-pa, Gav. Ambulance-nya sudah belum datang?"

"Kayanya belum. Coba gue tunggu di luar. Lo tungguin Gadis di sini. Jangan lo pegang apalagi rubah posisinya."

"Iya-iya."

Setelah Alena mengerti dengan apa yang ia katakan ini, Gavriel memilih berdiri dan segera berjalan ke depan. Saat ia sampai di depan pintu, ambulance datang dan segera ia mempersilahkan petugas medis itu untuk masuk.

Gavriel dan Alena ssgera menyingkir untuk memberi tempat bagi para petugas itu untuk menolong Gadis.

"Kalo boleh tahu kenapa bisa begini, Pak?"

"Maaf, Pak. Saat kami berdua sampai di sini, kondisi Gadis sudah seperti itu. Kami tidak berani menolongnya takut salah prosedur."

Setelah petugas itu berhasil menaikkan Gadis di tandu dan membawanya keluar rumah, Alena dan Gavriel segera mengikutinya. Mereka berdua masuk di dalam ambulance. Tidak ada diantara mereka berdua yang berbicara hingga Gadis dibawa ke UGD dan mereka diminta untuk mengurus administrasi oleh petugas.

Melihat Alena yang sudah larut dalam kekhawatirannya pada kondisi Gadis saat ini, Gavriel memilih untuk segera menjadikan dirinya 'wali' Gadis. Selesai mengurus administrasi, Gavriel memilih berjalan mendekati Alena yang sedang duduk di kursi tunggu.

"Gav?" Panggil Alena pelan.

"Ya?"

"Gue enggak bisa balik ke Jakarta hari ini. Kemungkinan juga besok gue enggak bisa ngantor. Terserah lo mau kasih alasan apa? Alasan sakit juga enggak pa-pa."

"Apa lo kira gue bisa balik kalo kondisinya Gadis seperti ini?"

Alena langsung menoleh. Ia menatap temannya ini dengan penuh ketidakpercayaan. Bagaimana bisa Gavriel berbicara seperti ini setelah hari ini ia hanya mengikuti meeting kurang dari dua jam lamanya. Dengan apa yang ia lakukan ini, tentu saja Gavriel sudah membuat nilai minus di dalam penilaian kinerjanya.

"Lo sekarang bukan karyawan biasa kaya gue. Tanggungjawab lo besar, Gav. Mending lo balik deh ke Jakarta. Biar gue yang tungguin Gadis di sini."

"Gue enggak akan pergi dari sini sebelum semua ini jelas."

Setelah mengatakan itu, Gavriel memilih segera berdiri dan meninggalkan Alena sendiri. Ada sebuah panggilan yang masuk ke handphone miliknya yang ternyata berasal dari Aditya. Segera saja Gavriel mengangkatnya.

"Hallo, Dit?"

"Hallo, Gav? Lo belum balik ke tempat tadi?"

"Belum, Dit. Si Gadis malah di rumah sakit sekarang."

"Kok bisa?"

"Gue belum tahu sebabnya, tapi gue yakin ada hubungannya sama Dipta. Cuma gue masih bingung banget sekarang."

"Kenapa lagi lo bingung?"

"Gue ingin Gadis divisum. Tapi untuk melakukan itu semua, gue harus laporan ke pihak yang berwajib dulu."

Aditya paham dengan apa yang Gavriel maksud ini. Tentu saja Gadis tidak akan bisa divisum tanpa adanya surat permintaan penyidikan. Sebagai teman mungkin ia harus mengingatkan Gavriel tentang batasannya lagi.

"Kalo gue boleh kasih saran, lebih baik lo jangan gegabah. Masalah melaporkan ke pihak yang berwajib itu hak Gadis dan keluarganya. Sebagai orang luar, lo enggak bisa ikut campur masalah ini. Apa yang lo lakukan sekarang untuk Gadis, itu sudah lebih dari cukup."

Gavriel menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Aditya kepadanya ini memang benar. Kini apapun tindakan yang akan ia lakukan ke depan untuk membantu Gadis, mau tidak mau ia harus mendapatkan persetujuan dari Gadis terlebih dahulu. Menyadari hal ini, ia memilih segera mengakhiri sambungan teleponnya dengan Aditya. Tidak lupa ia juga mengucapkan terimakasih kepada temannya ini yang sudah mau membantunya.

***

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now