"Enggak ada hubungannya sama kerjaan, jadi enggak gue pakai. Lagian rumah gue cuma bisa buat satu mobil aja garasinya."

"Sabar, Gav... Siapa tahu nanti lo bisa beli di daerah Menteng, Pondok Indah atau PIK," Ucap Ragil sambil mengelus lengan Gavriel dari samping.

Entah kenapa Alena dan Gavriel bisa tertawa hanya karena ucapan Ragil ini. Toh mau kerja sampai terkena tipes kalo hanya mengandalkan gaji mereka saat ini, mana mungkin bisa membeli rumah di daerah PIK.

Mobil Gavriel terus melaju membelah kemacetan kota jakarta hingga akhirnya mereka sampai di salah satu restoran nasi padang. Dalam hati Alena sedikit menggerutu karena untuk makan siang saja kenapa harus sejauh ini? Padahal disekitar kantor mereka cukup banyak resto, cafe hingga food court.

"Mau makan aja jauh bener lo, Gav."

"Udah, Len kagak udah berisik. Kita ini cuma ditraktir, " Ucap Ragil sambil menggeret tangan Alena untuk mengikuti Gavriel yang sudah berjalan untuk masuk lebih dulu ke dalam restoran.

Begitu masuk restoran, Alena cukup terkejut karena tempat ini sangat ramai. Baru sekali ini dirinya masuk ke rumah makan ini.

"Ramai bener. Udah kaya pasar."

"Tempat bersih, rasa enak, harga murah meriah. Tiga hal ini yang membuat ramai," Jawab Gavriel sambil mengambil piring.

Alena memperhatikan Gavriel kembali. Ternyata laki-laki ini tidak terlalu banyak mengambil nasi bahkan lauk seperti Ragil yang sudah seperti orang kelaparan tiga hari tiga malam. Selesai mengambil makanan, mereka memilih untuk segera mencari meja yang kosong lalu duduk. Kali ini Alena memilih untuk duduk di hadapan Gavriel dan Ragil.

"Lo kaya baru pertama kali makan di tempat ini," Kata Gavriel aambil mulai menyendok nasi yang ada di piringnya.

"Iya, biasanya makan di Sederhana sama Gadis."

Mendengar nama perempuan yang beberapa waktu belakangan ini sering mengisi pikirannya, entah kenapa ada rasa kepo di diri Gavriel tentang kondisi musuh bebuyutannya itu.

"Gimana kabarnya si Gadis?"

Alena menghentikan aktivitas makannya dan ia taruh sendok serta garpu di atas piring. Kini ia tatap Gavriel yang ternyata sudah menatapnya terlebih dahulu. Ada pergolakan batin di dalam diri Alena. Apakah ia harus bercerita kepada Gavriel atau tidak? Toh, Gavriel adalah laki-laki yang menemani selingkuhan Pradipta untuk hadir di pernikahan Gadis dulu.

"Ya kaya gitu."

"Maksudnya?" kini Gavriel sudah mulai menaruh sendok dan garpu di atas piring lalu melipat kedua tangannya di atas meja. Ia memperhatikan Alena lekat-lekat. Yang diperhatikan bukannya menjelaskan justru menggelengkan kepalanya.

"Coba tanya sama gandengan lo yang dulu lo ajak ke pernikahan Gadis. Gue yakin dia lebih tahu banyak daripada gue."

Tidak perlu menjadi cenayang untuk tahu yang dimaksud Alena adalah Rachel.

"Dipta masih berhubungan sama Rachel?" Tanya Gavriel langsung yang membuat Alena cukup terkejut karena teman kantornya ini sepertinya lebih banyak tahu daripada dirinya.

"Ya kemungkinan besar sih begitu. Gue juga baru tahu waktu kemarin kita liburan ke Malang. Sekarang apes nasibnya si Gadis. Dia jadi tahanan rumah orangtuanya. Enggak boleh pulang ke Bontang apalagi Surabaya."

"Siapa suruh jadi perempuan begonya enggak ketulungan. Harusnya bego itu dibagi-bagi, bukan dimakan sendiri," Ucap Gavriel karena ia gemas dengan apa yang terjadi pada diri Gadis. Ia tak menyangka jika wanita independen dan cukup berotak seperti Gadis bisa ada dalam situasi seperti ini.

"Ngomong itu gampang, tapi coba deh lo jadi dia. Emangnya lo bisa apa?"

"Kabur. Gue selesaikan masalah gue sebelum jadi bom waktu."

Alena kembali memperhatikan Gavriel dengan penuh pertimbangan.

"Caranya?"

"Cara klasik aja kaya jaman kita masih bocil. Pamit sekolah tapi enggak sampai sekolah."

Aha....
Alena menjentikkan jarinya di depan wajah Gavriel yang membuat Gavriel langsung mengernyitkan keningnya. 

"Good ide lo. Thank you, Gav," Kata Alena sambil mulai membuka handphone miliknya lagi.

Kini ia mencari kontak Gadis dan segera saja Alena memberikan kabar baik itu kepada sahabatnya.

Alena : Gue sudah dapat ide buat lo.

Setelah mengetikkan pesan itu, Alena segera menyenggol tombol send. Tidak lama setelahnya pesan itu berubah menjadi centang dua.

"Kenyang, nih. Pulang, yuk?" Kata Ragil sambil menaruh gelas yang sudah tandas isinya.

Alena langsung menoleh ke arah Ragil, kedua bibirnya langsung melongo kala melihat makanan milik Ragil yang tadi setinggi gunung Rinjani kini telah lenyap tak bersisa.

"Gila, cepat banget lo makan?"

"Namanya juga didikan militer. Buruan lo habisin, keburu jam istirahat kita habis."

Alena menganggukkan kepalanya dan kini ia mulai fokus pada makanannya kembali. Tidak ada obrolan lagi diantara dirinya dengan Gavriel apalagi Ragil. Hingga saat mereka keluar dari restoran, Alena memilih sibuk dengan handphone miliknya karena Gadis sudah tidak sabar untuk mengetahui rencananya.

Pukul 12.55 WIB, Alena sudah sampai kenbali di gedung kantornya. Sebelum berpisah dengan kedua rekan kerjanya di basement, Alena mengucapkan terimakasih kepada Gavriel karena sudah mentraktirnya siang ini dan memberikan saran yang cukup cemerlang untuknya. Gavriel hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya karena meskipun ia penasaran dengan apa yang akan dilakukan Alena, ia tidak bisa bertanya lebih jauh lagi. Ian sadar diri dan sadar posisi jika dirinya hanya seorang penonton.

***

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now