Heal Me [ C O M P L E T E ]

By helloitsadel

44.5K 5K 399

Rayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba... More

:: Prolog ::
:: Bab I ::
:: Bab II ::
:: Bab III ::
:: Bab IV ::
:: Bab V ::
:: Bab VI ::
:: Bab VII ::
:: Bab VIII ::
:: Bab IX ::
:: Bab X ::
:: Bab XI ::
:: Bab XII ::
:: Bab XIII ::
:: Bab XIV ::
:: Bab XV ::
:: Bab XVI ::
:: Bab XVII ::
:: Bab XVIII ::
:: Bab XX ::
:: Bab XXI ::
:: Bab XXII ::
:: Karakter ::
:: Bab XXIV ::
:: Bab XXIII ::
:: Bab XXV ::
:: Bab XXVI ::
:: Bab XXVII ::
:: Bab XXVIII ::
:: Bab XXIX ::
:: Bab XXX ::
:: Bab XXXI ::
:: Bab XXXII ::
:: Bab XXXIII ::
:: Bab XXXIV ::
:: Bab XXXV ::
:: Bab XXXVI ::
:: Bab XXXVII ::
:: Bab XXXVIII ::
:: Bab XXXIX ::
:: Bab XL ::
:: Bab XLI ::
:: Bab XLII ::
:: Bab XLIII ::
:: Bab XLIV ::
:: Bab XLV ::
:: Bab XLVI ::
:: Bab XLVII ::
:: Bab XLVIII ::
:: Bab XLIX ::
:: Bab L ::
:: Bab LI ::
:: Bab LII ::
:: Bab LIII ::
:: Bab LIV ::
:: Bab LV ::
:: Bab LVI ::
:: Bab LVII ::
:: Bab LVIII ::
:: Bab LIX ::
:: Bab LX ::
:: Bab LXI ::
:: Bab LXII ::
:: Bab LXIII ::
:: Bab LXIV ::
:: Bab LXV ::
:: Bab LXVI ::
:: Bab LXVII ::
:: Bab LXVIII ::
:: Bab LXIX ::
:: Bab LXX ::
:: Bab LXXI ::
:: Bab LXXII ::
:: Bab - Extra [Epilog] ::
:: Bab - Behind The Scene ::
:: Announcement - 4th STORY ::
:: Announcement - 5th STORY ::
:: Announcement - 6th STORY ::

:: Bab XIX ::

497 62 3
By helloitsadel

Gwen tidak bisa melepas pandangan dari telapak tangan Devon yang besar, yang kini menggandeng telapak tangannya. Entah kemana pria itu hendak membawanya, namun yang jelas, kehangatan genggaman pria itu  menjalar ke tubuhnya.

Sebuah pintu dibuka oleh Devon sesaat setelah mereka sampai di belakang panggung. Bersama dengan Edo yang sejak tadi tidak bisa mengendurkan wajah tegangnya, mereka memasuki ruang wardrobe.

Devon berhenti. Sehingga dengan terpaksa Gwen juga harus berhenti.

Gwen menatap Devon seraya menelan liur walau kesusahan. Ia gugup, dan benar-benar takut dengan apa yang akan pria itu lakukan selanjutnya. Kekacauan fans Rayn di studio bahkan belum bisa ditangani. Dan Gwen tidak mau sampai Devon melakukan sesuatu yang hanya akan memperburuk keadaan.

"Kamu pikir ini lagi musim panas?" Devon terheran-heran.

"Eh?" Dan Gwen lebih terheran-heran lagi.

"Ini udah malam, Gwen. Apalagi di luar hujan."

"I...ya saya tahu. Tapi—"

"Aku-kamu, Gwen." Melalui tatapannya, Devon seakan sedang memperingatkan Gwen untuk tidak lupa menggunakan sebutan tersebut lain kali.

"Y-ya, aku tahu. Tapi—"

"Berbahaya tahu, gak?"

"A-apanya yang berbahaya?"

Tiba-tiba saja, Devon melepaskan denim jacket yang ia kenakan. Cukup membuat Gwen dan Edo yang melihatnya jadi waspada.

Satu kaki Gwen sudah terangkat, berniat mengambil langkah mundur. Namun, dengan Devon yang tanpa meminta izin mengikat kedua lengan denim jacket itu di pinggang Gwen —sehingga Gwen terpaksa mendekat pada Devon—, gadis gempal itu jadi tidak bisa berkutik.

"Kamu pakai celana sependek ini, malam-malam, pas hujan begini. Gak cuma bahaya buat kesehatan kamu, tapi juga keselamatan kamu. Ngerti?" Devon merekatkan ikatan lengan jaketnya di depan perut Gwen, sampai tidak sengaja menarik gadis tersebut dan membuat jarak di antara mereka terkikis.

Gwen mengerjap cepat. Degup jantungnya yang terlalu cepat membuatnya sesak. Apalagi dengan jarak di antara ia dan Devon yang kelewat dekat. Pun dengan iris coklat terang yang membalas tatapan gugupnya itu. Dan Gwen sangat sebal dengan respon tubuhnya saat ini.

Gelagapan, Gwen buru-buru menjauh dari Devon. Ia pun mengalihkan pandangan pada denim jacket Devon yang sangat berguna untuk menutupi pahanya. Atau mengalihkannya kemanapun asal jangan pada Devon, yang hingga detik ini masih setia memperhatikannya.

Pria itu menghela napas, "Kamu kenapa ke sini?"

Berbeda jauh dengan seorang Rayn yang akan terus berbicara ketus padanya, Devon bertutur dengan sangat lembut dan hati-hati. Terlepas dari sikap tengilnya yang menyebalkan, dada Gwen justru semakin berdebar melihat bagaimana Devon bisa berbicara selembut itu. Ia yang tadinya belum mau menatap Devon untuk beberapa saat ke depan, akhirnya tidak bisa mempertahankan benteng keengganannya tersebut.

"Tadi, aku lihat acaranya di rumah. Terus pas aku tahu kamu yang muncul, aku langsung ke sini."

"Emangnya kenapa kalau aku yang muncul?" tanya Devon, sembari menjejalkan tangan ke dalam saku celana.

Tatapan Devon benar-benar meresahkan. Gwen sampai gelagapan sendiri untuk menjawab pertanyaan yang pria itu utarakan. "I-itu... habisnya... kenapa, sih, kamu harus jawab pertanyaan host-nya kayak gitu?"

Devon terlihat memikirkan sesuatu, "Oh, maksud kamu tentang artikel itu?"

Gwen mengangguk cepat. "Iya. Masalah itu, kan, udah beres ditanganin agensinya Mas Rayn, Devon. Kamu mau bikin masalah lagi emangnya?"

"Aku gak lagi bikin masalah. Kan, itu kenyataannya."

"Tapi, aku bukan cewek kamu, ya. Aku itu dokter yang punya tugas untuk ngerawat Mas Rayn. Dan pertemuan kita waktu di restoran itu, kan, gak sengaja. Bukan karena kita mau kencan."

"Ngerawat Rayn sekaligus ngilangin aku, kan?" Tebakan Devon setelahnya membuat Gwen tertegun. Kini, sorot mata Devon menjadi berbeda. Gwen yang biasanya berani pun seketika menciut dibuatnya.

Devon terdiam lumayan lama. Sepersekian detik kemudian barulah ia kembali bersuara walau diawali hempasan napasnya yang kasar. "Apapun itu, aku udah nyatain perasaan aku kemarin. Dan itu berarti, kita udah resmi pacaran."

"A-apa?" Gwen tersentak, "Gimana bisa pacaran?! Emangnya aku bilang kalau 'aku juga suka sama kamu'?"

"Nah, itu barusan bilang. Berarti kita udah resmi pacaran."

"H-hah?! Kapan?!"

"Tadi. Baru aja. Masa kamu gak ingat?"

Gwen kebingungan. Ia mengingat kembali apa yang baru saja ia katakan, hingga akhirnya ia bisa memahami yang Devon maksud, "Devon, itu, kan 'kalau'! Bukan beneran aku juga suka sama kamu!"

"Kamu udah balas perasaan aku 2 kali."

"H-hah?! Devon!"

"Kamu kalau gak teriak-teriak sama aku, tuh, gak bisa, ya?" Anak kecil pun pasti tahu kalau Devon sedang menyindir kebiasaan bar-bar Gwen yang satu itu.

"Devon! Aku di sini bukan karena aku mau balas perasaan kamu, atau apapun itu. Aku di sini mau peringatin kamu untuk berhenti bikin ulah. Jawaban kamu tadi pasti bakal jadi perbincangan banyak orang di luar sana. Dan yang kena imbasnya pasti Mas Rayn. Kasihan dia, Devon."

"Kok, bisa, ya ada cewek yang ngasihanin cowok lain di depan pacarnya sendiri?"

"Devon, stop bahas itu! Aku mau kamu dengerin kata-kata aku, oke?"

"Dari tadi aku dengerin."

"Tapi, kamu gak pernah bisa ngertiin maksudnya dengan baik!"

"Maksud kamu aku bego?"

"Ih! Devon!" Gwen jadi geram sendiri di saat Devon dengan santainya tertawa lalu mencubit kedua pipinya yang chubby, "Kamu kalau lagi marah jauh lebih gemesin, ya."

Gwen sudah habis kesabaran. Napasnya yang terengah-engah menandakan ia tidak lagi bisa mengkompromi sikap Devon kali ini.

"Devon."

"Hm?"

"Maaf."

"Kenapa tiba-tiba minta maaf? Kamu ngerasa bersalah karena udah marah-marah terus sama aku?"

Menyelipkan kedua tangan di leher Devon, Gwen pun mendekatkan wajahnya pada wajah pria itu. Pemandangan tersebut sontak mendapat pekikan dari Edo.

"Dokter Gwen mau ngapain?!"

"Wah. Kayaknya aku bakal suka, deh, sama permintaan maaf kamu yang kayak gini."

Wajah mereka semakin dekat. Hembusan napas Devon bahkan bisa menerpa pori-pori wajah Gwen. Gadis gempal itu lantas mengangkat kedua sudut bibirnya. "Hm, kamu pasti bakal suka banget sampai gak akan bisa kamu lupain seumur hidup kamu."

Devon pun ikut mengembangkan senyum. Tangannya sudah bertahta di kedua sisi pinggang Gwen. Matanya terpejam, seakan sudah paham dengan apa yang hendak Gwen lakukan.

Dan...

Dug!

Gwen terpejam menahan sakit pada keningnya. Kendati demikian, sepertinya itu lebih baik ketimbang membiarkan Devon terus nyerocos dan membuatnya hilang kesabaran. 

Sementara Devon langsung hilang kesadaran, dan jatuh di dalam dekapan Gwen.

Lagi.

...

Di bawah lampu jalanan yang temaram, pria itu bersimpuh lemah. Jalanan yang benar-benar sepi dan daerah yang seakan-akan seperti kota mati, tidak memungkinkannya untuk meminta pertolongan. Bahkan, untuk meminta preman-preman di hadapannya berhenti pun, ia sudah tidak sanggup.

"Pokoknya, kalau sampai minggu depan lu gak bayar hutang-hutang orang tua lu, habis lu sama kita!"

Lantas, preman-preman tersebut melenggang pergi tanpa ada niat membantu si pria yang napasnya terengah-engah. Meninggalkan orang itu bersama darah yang menyembur keluar dari mulutnya.

Bersandar dengan lemas, pria itu berusaha mengumpulkan segenap kekuatannya yang tersisa. Kekuatan terkecil di dalam hatinya, yang akan selalu menemani dan membantunya apapun yang terjadi.

Dia pun memaksakan kakinya —yang tidak sengaja tersandung saat melarikan diri dan diperparah oleh preman-preman tadi yang menginjak kakinya— untuk berdiri. Sebab, mau bertahan di sana sampai pagi pun sepertinya percuma.

Kendati dia tidak bisa merasakan perih dari luka bekas keroyokan di tubuhnya, dia masih tahu bahwa darah yang mengalir dari mulutnya menandakan bahwa kondisinya cukup parah. Maka dari itu, dia memutuskan untuk bergerak pulang meski tertatih-tatih.

...

"Ini dia! Ini dia biang masalahnya!"

"A-ayah, tunggu—"

Bug!

Seakan bogem mentah dari preman-preman tadi tidak cukup untuk menghabiskan tenaganya, satu lagi pukulan dilayangkan oleh pria yang dipanggilnya 'Ayah'. Sementara seorang wanita yang duduk santai sambil memakan kacang dan meminum anggur merah di dalam rumah, hanya memperhatikan tanpa mau melerai.

"Apa?! Lu enak-enaknya buang-buang duit buat ke rumah sakit padahal lu gak kenapa-kenapa! Sedangkan gue sama Ibu lu terus diteror sama preman-preman sialan itu!" seru pria setengah baya tersebut lalu menoyor kepala sang putra.

"Mana bukti bakti lu, Sa?! Lu bilang lu mau bantu gue sama Ibu lu bayar hutang! Tapi, lu malah pakai duitnya buat hal gak jelas!"

"Jangan kasih ampun, Bang! Anak kayak gitu, mah, gak bisa dibiarin! Di depan kita sok-sok-an baik. Dari belakang dia ngumpanin kita ke kandang macan." Wanita di dalam rumah memanas-manasi suasana.

"Lu punya hati gak, sih, Sa? Lu gak kasihan sama orang tua lu, hah?! Aksa, Aksa! Gak tahu diuntung lu jadi anak!"

Pria muda itu —alias Aksa—, menyeka darah yang kembali membasahi bibirnya. Meski ia tidak merasakan sakit karena lukanya, ia merasakan sakit yang jauh lebih pedih di tenggorokannya yang tercekat.

"Kalau lu sakit, lu tinggal beli obat di warung! Gak perlu ke rumah sakit segala! Kita bukan orang kaya yang setiap detik duit ngalir!" Ayah Aksa berkacak pinggang. Matanya yang merah menandakan emosinya yang tidak stabil. Belum lagi tubuhnya yang dipengaruhi alkohol. Emosinya pun semakin menjadi-jadi.

"Selama lu di rumah sakit, preman-preman itu datang dan ngebarantakin rumah ini! Mereka cari barang-barang yang bisa digadain! Kalau aja lu gak ngabisin duit itu buat enak-enakan dirawat, mereka gak bakal, tuh, ngambil motor gue!"

Aksa hanya diam dan mendengarkan. Tidak ada hal lain selain menundukkan kepala, menerima perlakuan Ayahnya yang memperlakukan ia layaknya budak yang telah melakukan kesalahan.

"Ingat, ya! Kalau bukan karena permintaan pelanggan-pelanggan itu, gak bakal gue pertahanin lu di rumah ini! Gak bakal!"

Jari telunjuk Ayah Aksa mengarah ke sebuah bangunan di depan rumah mereka. Bangunan itu adalah diskotik ecek-ecek yang menjadi sumber mata pencahariaan kedua orang tuanya.

"Sekarang, lu ke sana! Kerja! Sampai lu bikin masalah lagi, gue gak bakal segan buat ngabisin lu! Ngerti?!"

Peringatan yang sama. Dan Aksa sudah muak mendengarnya. Jadi, tanpa berpamitan, ia langsung menuju diskotik tersebut hanya agar kupingnya tidak terus-terusan tersiksa.

Begitu masuk, bau alkohol menyengat dari berbagai sisi. Ada beberapa kursi yang ditempati oleh para pelanggan. Kebanyakan dari mereka adalah supir truk yang membutuhkan hiburan dari wanita-wanita penghibur yang memang disediakan di sana.

Namun ada juga pelanggan wanita —di usia 40 tahun ke atas— yang datang ke sana dengan tujuan yang sama. Mencari hiburan.

Di sudut, ada sebuah meja panjang yang dijadikan arena judi. Ada pula meja billiard dimana pelanggan sedang bermain —sambil bergelayut manja dengan wanita yang mereka sewa—. Meski begitu, segelas atau bahkan sebotol minuman alkohol tidak pernah lepas dari tangan mereka.

Aksa segera menempati kursi di atas panggung kecil di depan sana. Ia meraih gitar yang bersandar, dan memainkannya tanpa ekspresi. Berbanding terbalik dengan para pelanggan yang langsung bersorak ramai. Terlebih para wanita yang segera maju untuk melihat penampilan Aksa lebih dekat.

"Aksa! Aksa! Aksa!"

Berbagai nominal uang dilempar ke arah Aksa. Istilahnya, wanita-wanita tersebut sedang 'menyawer' Aksa.

Dengan suara merdunya, Aksa melantunkan lagu 'Air Mata Jadi Saksi' yang zaman dulu dipopulerkan oleh Poppy Mercury. Terlepas diskotik adalah tempat yang khas dengan musik jedag-jedugnya, lagu yang Aksa nyanyikan tetap bisa dinikmati oleh para pelanggan. Termasuk para wanita-wanita —hampir setengah baya— itu yang berteriak menyerukan namanya dan tampak tergila-gila.

Sementara Aksa, tidak mampu merubah ekspresi wajahnya, kendati berlembar-lembar uang memenuhi panggung. Sorot matanya menampakkan kehampaan. Ia terbelenggu dalam keterpaksaan yang menyiksa.

Ia benci melakukan ini. Mimpinya bukanlah bernyanyi di tempat bejat seperti ini. Mimpinya bernyanyi di panggung besar dengan orang-orang yang menyukai lagu ciptaannya.

Aksa memang benci dengan kenyataan yang ada. Tapi, Aksa lebih benci lagi saat ia tidak punya pilihan lain selain tetap menerima dan melakukannya.

...

"Mas Rayn...?"

Gwen memanggil dengan ragu. Sebab, ia tidak tahu apakah orang yang sudah mendapatkan kembali kesadarannya itu adalah Rayn atau bukan.

Tapi, kalau dengan aksinya yang sengaja mengantukkan keningnya pada kening Devon tadi bisa membuat pria itu pingsan, bisa jadi Rayn memang telah kembali.

"Dokter Gwen... kok, bisa ada di sini?"

Mendengar itu, Gwen langsung mendesah lega. Hal tersebut pun diikuti oleh Edo yang segera menghampiri Rayn. "Rayn, kok, bisa si Devon tiba-tiba muncul gitu, sih?"

"Devon...? Muncul...?" Rayn bertanya bingung.

"Iya! Satu menit sebelum lu ke studio, Devon tiba-tiba aja muncul! Padahal lu gak kenapa-kenapa tadi!"

Penjelasan Edo pun membuat Rayn berhasil sadar sepenuhnya. Ia membelalak cemas pada sang manajer, "T-terus gimana, Bang? Dia bikin ulah lagi?"

"Ya..." Suara Edo terdengar gamang. Namun, karena Rayn terus mendesak, ia pun terpaksa melanjutkan, "Dia jawab kalau dia sama Dokter Gwen itu emang beneran jadian. Alhasil, fans lu ngamuk. Apalagi, pas dia ngelindungin Dokter Gwen dan ngancem semua orang supaya gak ngefoto ataupun ngevideoin Dokter Gwen. Fans lu langsung keluar dari studio dan talkshownya gak dilanjutin."

"Hah?" Rayn mengerjap. Penjelasan Edo terlalu sulit untuk dicerna. "I-ini maksudnya gimana, sih? Ngapain dia ngelindungin Dokter Gwen? Emang Dokter Gwen diapain? Terus kenapa bisa Devon bilang dia sama Dokter Gwen beneran kencan?"

Ada secuil rasa bersalah yang menyerebak di dalam hati Gwen saat melihat raut kebingungan Rayn, "Hm... Mas Rayn, mungkin saya bisa bantu jelasin?"

Rayn pun menoleh. Ia tidak menjawab, tapi dengan diamnya ia mempersilahkan Gwen menjelaskan.

"Sebenarnya tadi saya nonton acara ini di rumah. Pas saya tahu yang ada di panggung itu Devon, dan dia ngejawab pertanyaan dari host-nya secara sembarangan, saya buru-buru ke sini. Maksudnya mau nyegah Devon supaya gak bikin masalah Mas Rayn lebih parah. Tapi, kedatangan saya ternyata bikin suasana gak kondusif makannya Devon nolongin saya. Cuma... emang nolonginnya, sih, dengan ngancem fans-fans Mas Rayn terus ngaku-ngakuin saya sebagai ce—"

"Stop!"

Gwen terkesiap. Sedangkan Rayn tampak tidak bisa berkata-kata.

"M-mas Rayn jangan khawatir. Tadi, kan, Devon udah minta fansnya Mas Rayn buat gak ngerekam-rekam atau ngefoto-foto kejadian tadi. Jadi, gak bakal ada masalah, kok, nantinya." Gwen menjelaskan dengan buru-buru, berusaha menenangkan Rayn yang pastinya shock. "T-terus saya juga udah bilangin Devon buat jangan bikin masalah lagi karena itu ngerugiin Mas Rayn. T-terus—"

"STOP!"

Suara Rayn meninggi. Teriakannya menyebabkan Gwen tidak lagi berani bersuara.

"'Jangan khawatir' Dokter Gwen bilang?" Rayn tertawa sinis sesaat setelahnya. Namun, Gwen yang tidak mengerti makna tawa Rayn justru ikut-ikutan tertawa. "Iya! Besok, kalau semisalnya Devon muncul lagi, saya bakal—"

"Keluar."

"Eh?" Tiba-tiba Rayn menyela. Plus, jari telunjuk yang mengarah ke pintu keluar, menimbulkan tanda tanya di benak Gwen.

Rayn menghela napas, "Ini semua karena Dokter Gwen."

"H-hah? Karena saya?"

Rayn menatap tepat di bola mata Gwen hingga gadis gempal itu mematung tanpa sadar. "Ya. Karena Dokter Gwen."

"K-kok, karena saya? Saya, kan—"

"Kalau Dokter Gwen gak datang ke sini, masalahnya pasti gak bakal semakin kacau."

"Tapi, saya, kan mau—"

"Devon yang tiba-tiba muncul udah cukup kacau. Dan masalah itu sebenarnya masih bisa diatasin sama saya ataupun agensi saya nantinya. Tapi, Dokter Gwen malah muncul, dan mancing Devon untuk semakin berulah, tepat di depan fans-fans saya. Apa saya masih bisa untuk gak khawatir? HAH?!"

"Mas Rayn, saya justru ke sini karena saya mau bantu ngurusin—"

"Gak! Dokter Gwen gak ngebantu sama sekali! Kehadiran Dokter Gwen cuma nambah runyam masalah!"

"Mas, tapi, kan Devon udah—"

"Apa?! Udah meringatin fans-fans saya untuk gak ngerekam atau ngefotoin Dokter Gwen?! Dokter Gwen pikir bisa semudah itu ngendaliin fans-fans saya?!"

"Seenggaknya, mereka gak tahu kalau itu sebenarnya Devon—"

"Justru karena mereka gak tahu! Mereka bakal ngira bahwa itu benar-benar saya yang ngaku-ngakuin Dokter Gwen sebagai pacar saya! Dan saya yakin, gak mungkin mereka keluar dari studio dengan tangan kosong! Gak sampai besok pagi, foto atau video yang terjadi tadi pasti bakal kesebar dimana-mana!"

Gwen terdiam sejenak. Ia membantah kembali, tentu saja untuk membela diri, "Mas, saya juga gak tahu kalau Devon bakal senekat itu untuk bantuin saya. Niat saya ke sini buat nyegah Devon ngelakuin hal yang lebih parah lagi. Cuma itu."

"Tapi, yang terjadi apa?! Hah?! Yang beneran terjadi apa?! Gak sesuai sama niat Dokter Gwen, kan?!"

"Ya, saya tahu. Tapi, apa harus Mas Rayn marah-marah gini ke saya?! Yang bikin masalah, kan, Devon! Bukan saya!"

"Tapi, Dokter Gwen yang mancing Devon buat memperkeruh suasana! Kalau Dokter Gwen gak datang ke sini, seenggaknya fans-fans saya gak perlu lihat Dokter Gwen secara langsung dan bikin masalah semakin parah!"

Rayn berdiri dari duduknya. Ia meraih lengan Gwen dan menyeretnya keluar. Edo pun berusaha menghentikan walau usahanya justru berujung sia-sia.

"Rayn, jangan gitu, dong. Dokter Gwen, kan, cewek. Kasihan."

"Bodo amat, Bang! Dari awal, setiap ada dia, gue kena masalah terus!" Rayn menyahut, lalu mendorong Gwen keluar dari ruang wardrobe.

Sebagai salah satu korban, Gwen juga merasa tidak terima. Ini murni karena ulah Devon, bukan karenanya. Dan semestinya, Rayn tidak memperlakukannya sekasar ini.

Gwen menyentak lengannya dari genggaman Rayn. Tatapannya menghunus tajam pada pria itu. "Mas gak bisa seenaknya kayak gini, ya, sama saya! Saya juga dirugikan di sini!"

"Dirugikan apanya?! Jelas-jelas saya yang lebih rugi di sini!"

"Saya rugi karena jadi kena semprot Mas Rayn terus dicengkeweng kayak kucing kampung gini!"

"Masih untung saya gak nendang Dokter Gwen! Sekarang, lebih baik anda pulang dan jangan pernah bikin saya kena masalah lagi!"

Bum!

Gwen spontan menahan napas saat pintu dibanting tepat di depan wajahnya. Emosinya tersulut sampai ke ubun-ubun. Dan hanya mampu dilampiaskannya dengan menggedor-gedor pintu tersebut dan menendangnya sekuat tenaga. Sukses memancing perhatian orang-orang yang seketika memperhatikannya layaknya orang gila.

"YAAAAAA!"

...

Gwen bangun karena ponselnya yang tidak kunjung berhenti berbunyi. Ia mengernyit melihat jam weker di atas nakasnya yang menunjuk ke angka enam. Harusnya, setengah jam lagi ia baru bangun.

Dengan mata terpejam, Gwen meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Sebuah panggilan masuk silih berganti dari Ivy, Milo, Suster Mela, dan Profesor Adi. Dan panggilan dari Ivy adalah yang ia jawab pertana.

"Hal—"

"Dokter Gwen!"

Gwen spontan menjauhkan ponsel dari telinganya saat teriakan Gwen mengancam kesehatan telinganya. "Aduh, Vy... Ngapain, sih, teriak pagi-pagi?"

"DOKTER GWEN BENERAN PACARAN SAMA RAYN ABRIAN?!"

"Hah? Ngaco lu. Udah, ah, gue masih ngantuk—"

Tut! Tut! Tut!

Bunyi itu menginterupsi Gwen. Ada sebuah panggilan lain yang menyela perbincangannya dengan Ivy. Sehingga Gwen terpaksa mengangkatnya agar bunyi itu tidak terus mengganggu.

Penelfon kedua adalah Milo.

"Halo, Mil—"

"Dokter Gwen!"

Untuk kedua kalinya, Gwen menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia mendecak sebal sampai menendang selimutnya hingga jatuh ke lantai.

"Bisa, gak, sih pagi-pagi gak usah teriak-teriak?!"

"DOKTER GWEN BENERAN PACARAN SAMA RAYN ABRIAN?!"

Pertanyaan yang sama persis seperti yang diajukan Ivy. Alhasil, ia mengerang sebal, "Lu pada ngimpi apa, sih?! Kenapa nanyanya harus samaan—"

Tut! Tut! Tut!

Penelfon ketiga adalah Suster Mela. Dia kelihatan tidak sabar menunggu sampai Gwen menjawab panggilannya.

"Hal—"

"Dokter Gwen..."

"Suster Mela, kenapa suaranya be—"

"DOKTER GWEN BENERAN PACARAN SAMA RAYN ABRIAN?!"

Gwen mengacak-acak rambutnya. Sungguh, ia bukan bangun pagi hanya untuk mendapati orang-orang menanyakan hal tidak jelas seperti ini.

"Suster Mela lagi sekongkol sama Ivy sama Milo mau ngerjain sa—"

Tut! Tut! Tut!

Kini, nama Profesor Adi jadi orang keempat yang menelfon.

"Hal—"

"Gwen?!"

"I-iya, Prof...?"

"Kamu... beneran pacaran sama Rayn Abrian?!"

"Duh, Prof. Gak ada apa-apa, kok. Kenapa, ya—"

Bruk!

Pintu yang dibuka secara sembrono membuat Gwen beranjak dari posisi rebahannya. Ia baru akan memaki orang yang mengganggu ketenangan kamarnya, jika saja yang muncul bukanlah sang Papa berbalut celemek sambil membawa spatula.

"Pah, bisa, kan ngetuk pintu dulu?!"

"Gwen!" Papa Gwen memekik.

"Kenapa, ih?!"

"KAMU BENERAN PACARAN SAMA RAYN ABRIAN?!"

"INI ORANG PADA KENAPA, SIH?!"

"Itu! Coba lihat keluar!"

Gwen terpaksa menahan kantuknya. Ia buru-buru turun dari ranjang dengan rambut yang acak-acakan. Langkahnya terhenti di ruang tengah, dimana TV kesayangan Papanya menyala. Matanya bergegas membaca kata-kata yang ditulis di headline acara infotainment itu.

"Rayn Abrian akhirnya perkenalkan kekasih, caranya melindungi sang kekasih bikin para fans ketar-ketir!"

Kata-kata itu menempel pada sebuah video yang diputar. Video yang menampilkan dirinya —tanpa blur sama sekali, tidak seperti sebelum-sebelumnya— yang dirangkul Devon tadi malam. Bukan hal yang salah bila Gwen langsung berteriak, sekencang-kencangnya mengalahkan auman dinosaurus purbakala.

"YAAAAAA!"

to be continue

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 305K 75
⚠️ TAHAP REVISI ⚠️ 15+ [ FOLLOW SEBELUM MEMBACA. ] Buruan baca sebelum sebagian part dihapus!!! Reyhan Aditama, manusia bermuka tembok, dengan sikap...
31K 4.1K 32
[Meskipun udah selesai jangan pelit buat Vote sama komen ya :) ] ✓ Siapa sangka Dokter panutan yang selalu dipuji akan keramahannya itu, ternyata mem...
76.6K 5.9K 78
"Hai, Langit? Apa kabarmu hari ini?" Langit adalah salah satu hal favorit untuk seorang Claudia Issaura. Bagi gadis gempal itu, langit sangat menenan...
Wattpad App - Unlock exclusive features