GEBETANKU BANCI ✔

By DaddyRayyan

898K 88.7K 30.5K

Berani sumpah aku straight! Namun, lelaki ini membelokkan kepalaku. Sungguh. Awalnya aku cuma ingin bertanya:... More

Pendahuluan
1. Perempuan Jagung Rebus
2. Chatting Pertama
3. R A i s y o
4. Foto Syur
5. Siap Tembak Siaga 2
6. Siap Tembak Siaga 1
7. Hati Potek Karo Banci
8. Gebetanku Bapak Dosen-TIDAK!
9. Terangkanlah...
10. Terangkanlah... (2)
11. Tercyduk
12. Mencyduk
13. Cyduk-Cydukan (part 1)
14. Cyduk-Cydukan (part 2)
15. Magamon
16. Kesempatan dalam Kesempitan
17. Pengabdi Sasetan
18. Para Pengabdi Micin
19. Dari Matamu, Pak
Visualisasi Tokoh (+Rekaman Suara Raisyo/Pak Rayyan & Shouki)
20. Bayi Gula?
21. Aw aw aw
22. Jaran Goyang
23. Hati ke Hati (1)
24. Hati ke Hati (2)
25. Buka-Bukaan
26. Becekin Adek Bang
27. Basah Basah Basah
28. Gebetanku Banci Lainnya ...
29. Banci in Denial
30. Banci Fight
31. Apartemen Ra
32. Just Ra
33. Just Ra (2)
34. Memahat Hati
Pengumuman 3/3/2018
35. Arian
36. Main Api Babak Satu
37. Main Api Babak Dua
38. Main Api Babak Dua Separuh
39. Main Api Menuju Ambyar
Road to Anniversary
40. Gosong, Ambyar
41. Janji
42. Aisha
Pengumuman+Giveaway Ulang Tahun Shouki
43. Ra
44. Shoulan (Shouki Al Dilan) Part 1
45. Shoulan (Shouki Al Dilan) Part 2
46. Goyang Gitar 🤘
47. Everyday with Rayyan (part 1)
49. Night with Rayyan
50. ....
51. Bunga untuk Daddy
52. Bunga dari Daddy
53. Moving On
Bonus Part: Post-Ending Story #1
Bonus Part: Post-Ending Story #2
Open PO Novel Sekuel GEBETANKU BANCI
PO ditutup malam ini! (Plus teaser Sekuel GB)
PDF Sekuel GEBETANKU BANCI di KaryaKarsa

48. Everyday with Rayyan (part 2)

8.7K 1K 355
By DaddyRayyan



Part ini panjang ya. >4000 kata lebih. Selamat menikmati!


Studio musik ini diberi nama Kukuruyuk. Entah apa alasan si pemilik menamai studionya dengan bahasa ayam atau burung. Namun, Shouki Al Zaidan dan sahabat betah menghabiskan waktu latihan nge-band di tempat ini. Bukan karena terpanggil oleh bahasa burungnya, tetapi karena alasan ekonomi. Lokasinya di ruko kecil sebelah warung satai goyang lidah. Hanya ada tiga ruang studio yang dapat disewa per jam dengan tarif supermurah. Nisutakumi (nama band Shou, Aky, dan Tora—apabila kau lupa) langganan mengambil ruang terpojok.

Alasannya supaya privasi mereka terjaga. Lagi pula, tak semua orang percaya diri memainkan lagu jejepangan. Oleh anak-anak gaul kekinian, pasti diteriaki wibu.

Sejak jam sepuluh pagi, ruangan itu sudah diisi oleh Tora, Aky, dan satu teman tambahan yang bersedia membantu memelintir kabel: Arian. Shou belum datang. Mereka menunggu sembari berbincang.

Sambil tuning gitar, Tora bercelatuk, "Genks, menurut lo, kenapa bisa ya Pak Rayyan itu banyak yang suka."

"Auuk ah terang, padahal dia cuma main-main doang." Arian nyinyir.

"Ya karena tebal-lah," jawab Aky.

"Apa yang tebal, Ky?"

"Kantongnya. Mau samping, mau depan. Semua kantong deh."

"Aky memang paling cerdas ya. Betul itu," Arian menimpali. "Kucing gue juga gitu. Yang namanya Sheila on Simson Abubatulipsing. Pas lagi tebel-tebelnya, langsung deh doi buntingin kucing tetangga. Enggak ada yang bisa nolak dia tuh."

"Yaoloh, beda, Arian. Terus itu kenapa nama kucing lo enggak ada yang waras. Kasihan. Nanggung nama itu berat lho. Kayak nama gue dipaksain ada nama OTP-nya Nyokap. Gue jadi dihantui rasa geli gimana gitu pas nama gue dipanggil guru zaman SMA dulu." Tora ngucap sambil elus dada.

"Halah, memangnya apa arti sebuah nama? Kalau enggak bisa menghasilkan duit ya percuma," kata Aky. "Jadi, kesimpulannya Pak Rayyan banyak yang suka karena tajir, enggak tahu dari mana kekayaannya."

"Sasuga si Pak Rayyan, Ky, tapi kalau cuma tajir doang yang lain juga bisa tajir. Cuman Pak Rayyan ini bikin si Shou yang alim sejak orok jadi belok—" Tora diam sebentar. "Eh, Arian, lo udah tahu kan perihal ini? Jangan bilang gue keceplosan ngomong."

Arian menyengir lebar. "Santai aja, Bro. Gue selalu tahu banyak hal dan gue santai. Shou sudah pernah cerita sendiri kok."

"Syukur deh. Kalau menurut lo, kenapa Pak Rayyan bisa banyak yang naksir, sampai Shou juga ikutan naksir?" Tora bertanya kepada Arian.

Arian angkat bahu. "Enggak ngerti gue. Mungkin Pak Rayyan pake susuk, Bro."

"Zaman gini masih ada yang namanya susuk?!"

"Memangnya Pak Rayyan pasang susuk di sebelah mana coba—"

"Di tetek palsunya yang kayak balon silikon diisi air. Gue enggak bisa lupain malam pertama kita nonton Pak Rayyan nyanyi jagung rebus. Bukan cuma Shou aja yang enggak bisa lupa. Gue juga. Berarti di situ letak susuknya!"

"Lah, kan tetek palsunya dilepas pas di kampus. Bego lo, Tora."

"Ya, kalau lagi dilepas, berarti dipindahin ke bawah kali ya, Bro," sahut Arian.

"Iya, bener tuh. Ke bawah mana ya by the way?"

"Ke jempol kaki. Menurut nganaaa—"

"Assalamualaikum," Shou menyapa di ambang pintu studio. Ia membungkuk untuk melepas sepatu.

Tora membunyikan jari. "Eeh, datang juga elo, Shou! Kita-kita lagi ngomongin Pak Rayyan nih. Jadi, dia itu—"

"Ada apa dengan saya?" Ra mengintip dengan wajah separuh dari balik dinding pintu kedap suara.

Segala suara menggantung di udara.

Sembari Tora terlihat seperti ingin mengompol di tempat, Rayyan Nareswara gagah memasuki ruang studio. Hari ini ia mengenakan setelan pakaian santai, kaus model compression, dan celana denim Levi's butek. Cool, ia duduk di kursi sebelah pintu.

"Enggak apa, santai aja. Saya duduk di pojok sini, cuma mau nemenin pacar saya. Enggak apa, kan?"

"Ooh, enggak apa-apa banget, Pak. Santai aja," jawab Aky, sambil menepuk stik drum ke paha.

Meskipun Aky dan Tora cukup terbiasa dengan Pak Rayyan, tidak bagi Arian. Shou tergugu cukup lama memandang Arian yang duduk dalam lingkaran sahabatnya. Sulit untuk menepis rasa canggung, bahkan meski Arian terbiasa bercanda.

Sebenarnya, Shou tidak pernah tahu Arian akan bergabung bersama mereka hari ini. Jika tahu, mungkin Shou akan berpikir ulang untuk mengajak Pak Rayyan.

Tora melirik Pak Rayyan, Arian, kemudian Shou, lalu berkata, "Ky, lo bawa majalah kemarin? Gue butuh belajar tab gitarnya lagu yang nganu ini—"

"Oh, bawa kok." Aky santai merogoh ranselnya yang bertengger tak jauh dari kursi Pak Rayyan.

Arian menangkap semua sinyal itu. Ia berdiri, menyandang ranselnya sendiri. "Braders, gue mau cabut dulu ya, balik ke kandang. Kucing gue si Lentera Amitabaccan mau melahirkan. Sudah jamnya nih. Gue harus setia di sisinyalah."

"Oh, okelah kalau begitu, Arian. See you." Tora dan Aky melambai.

"Pamit ya, Bang dan Pakdos," kata Arian, hanya dengan lirikan mata dan anggukan seperempat hati.

Saat Arian tiba-tiba berjalan ngegas dengan kecepatan tinggi, Shou tak bisa menahan diri berteriak. "Arian! Tunggu."

Arian menoleh.

"Sori, Arian," kata Shou canggung. "Gue enggak maksud. Gue enggak tahu lo mau datang."

"Maaf kenapa sih, Bang? Kucing gue beneran butuh dibidani, lho. Ciao, bang."

Saat mengedipkan mata, Arian sudah menghilang di balik spanduk sobek Kukuruyuk Music Studio.

*

Shou tiba-tiba merasa perutnya membuncit. Jika menunduk, ia jadi tidak bisa melihat ujung jari kakinya sendiri. Semuanya sedikit buram karena gugup.

Semenjak mengajak Ra ke studio ini—yang ia sebut berkencan bersama para sahabat—Shou sudah mengukuhkan hati. Namun, ternyata degup kencang di dadanya ini lumayan juga. Di sisi lain, Ra masih duduk di pojokan sejak tadi, berakting menjadi abang ganteng pemegang kabel.

Melihat Shou sedikit tegang, Ra mengusap punggung tangannya dari samping. "Baby, enggak usah dipaksain kalau kamu enggak siap."

Shou bergeleng. "Tora dan Aky sahabat saya, Pak. Mereka harus tahu."

"Yaoloh, tolong, Shou. Jangan bikin tegang. Ada apaan sih? Lo hamil?" Tora telan ludah. "Yok, yok ayok aja."

"Ehem, iya Bro, gue mau bicara," Shou memulai. "Kalian semua memang sudah tahu sejak lama, tapi izinkan gue kenalin lagi ya. Ehem. Ini Pak—ehem, ini Rayyan. P-Pacar gue."

Tak tahu apakah ini termasuk coming out. Shou hanya ingin mengumumkannya secara resmi saja. Tidak sekadar curhat atau berkeluh kesah di balik layar. Shou ingin Ra mendengarnya secara langsung di depan para sahabat. Dalam kurung, sebenarnya Shou ingin Ra bisa masuk ke dalam lingkaran pertemanannya.

Tora dan Aky saling lirik, mereka berusaha meniru sikap cool Pak Rayyan. "Iya, kan memang kita udah tahu."

"Ya, tapi gue pingin kalian mengenal Ra sekali lagi sebagai pacar gue. Bukan orang lain." Shou menggenggam tangan Ra.

"Iya, santai aja, Bro," kata Aky. "Lagian kami juga sudah tahu kalian ehem-ehem. Salam kenal juga, Pak."

"I-Iya, santai aja. Meski gue masih rada canggung sih," ucap Tora.

"Kalian enggak risi saya bakal sering ikut nimbrung kalau Shou pergi sama kalian?" Ra bertanya tanpa basa-basi.

"Enggak sih, Pak," kata Tora. "Cuma deg-degan aja. Rasanya kayak lagi UAS, diawasin dosen. Ngapus kertas salah. Coret kertas salah. Ngelirik juga takut, padahal kepo."

"Halah, elo masih mental SMA, Tora." Aky tekekeh. "Kalau mau gaul, harus gaul sama orang yang dewasa kayak Daddy Rayyan. Kalau saya sih santai aja, Pak."

"Aky, kamu bisa enggak ajarin Shou supaya dia mau manggil saya 'Daddy'?" pinta Ra.

Shou mendelik. "Ra—"

"Beres, Pak. Harus di-training dulu Shou-nya," kata Aky.

Selanjutnya, mereka berlatih lagu "Drink it down" dari band L'Arc~en~Ciel. Ini lagu Jepang kesukaan Shou dan sangat berkelas. Tolong jangan dihina wibu atau disepelekan, ya. Ini cuma masalah selera. Ia hanya mengagumi lagu-lagu band bervokalis om-om cantik yang keren itu. Shou bukanlah seseorang yang fanatik Jepang, melainkan cinta indonesia. Shou cinta Pak Rayyan. Ehem.

Tora mengaku sedikit kagok diperhatikan oleh Ra saat bermain gitar. Namun, kecanggungan segera mencair tanpa makan waktu lama. Ra tidak lagi berakting seperti abang kabel ganteng, tetapi ia juga membaur. Sesekali Ra membantu mengajari gitar untuk Shou atau Tora ketika mereka kesulitan mencobai bagian lead. Tora tidak pernah ingin melewatkan pelajaran gitar gratis. Aky juga mampu menjadi pengiring beat yang tepat.

Shou pikir ini kesempatan baik untuk mengenalkan Ra kepada dua sahabatnya.

"Saya mau tanya boleh, Pak?"

"Ya?"

"Bapak jago banget main gitarnya. Apa Bapak punya band?"

"Masa saya belum pernah cerita?"

Shou bergeleng. Tora dan Aky ikut bergeleng.

Ra terkekeh, lalu sorot matanya menerawang agak jauh sembari ia mengingat. "Ya, pernah waktu zaman sekolahan dulu .... "

Rayyan bercerita bahwa ia tak pernah menduga akan meniti karier sebagai seorang dosen atau seniman. Hobinya sejak masa sekolah adalah bermusik. Saking cintanya, Rayyan menghabiskan waktu lebih dari sepuluh jam dalam sehari hanya untuk berlatih fingering. Wow!

"Waduh, beruntung banget lo punya daddy yang jarinya sudah lihai, Shou," Aky tak tahan menimpali.

"Heh!"

"Cita-cita saya dulu kepingin bisa sekeren Jimmy Hendrix."

Pergi ke sekolah, Ra selalu menenteng gitar (beberapa kali malah lupa membawa buku pelajaran). Ia juga sering bolos sekolah demi bermain musik—Ra berpesan agar hal ini jangan ditiru. Pada awal masa SMP, internet masih belum terlalu marak. Jadi, Rayyan sering menongkrongi konter handphone demi mengunduh lagu bajakan atau membeli CD bajakan lagu-lagu band luar favoritnya, dari Atreyu, Queen, hingga Metallica. Ra juga sempat menyisihkan uang tabungan untuk kursus di salah satu sekolah musik yang terkenal pada masa itu.

Tentu saja Ra punya band. Lulus SMP, Ra bergabung sebagai anggota dari beberapa band beraliran alternative rock, metal, screamo yang jerit-jerit kasar itu. Sering kali ia mengisi acara di luar sekolah atau untuk pentas seni, hal biasa yang Shou, Tora, dan Aky juga pernah lakukan semasa SMA (bedanya mereka manggung di acara-acara bunkasai). Ra berdiri di panggung yang berbeda. Penontonnya pasti sangar-sangar.

Posisi Ra tidak selalu lead guitarist. Sesekali ia juga tertarik menjadi keyboardist dan bassist. Meskipun begitu, di bayangan Shou, jemari lentik Rayyan Narewara lebih cocok bergerak "menggelitik" di atas fret gitar ketimbang memilin tuts.

Pikiran Shou ikut mengawang. Bagaimana kira-kira wujud Ra dalam balutan seragam SMA? Apa rambutnya dahulu dipangkas pendek, tetapi masih sedikit mengacak berantakan? Apakah dahulu ia siswa populer? Pasti ia menawan, tipikal bad boy yang disukai anak-anak cewek. Bayangkan, andaikan Shou dan Ra seumuran atau satu sekolahan, apakah mereka bisa saling menyukai seperti sekarang? Menurut Shou, dirinya semasa SMA adalah siswa yang biasa-biasa saja. Tidak pernah menonjol, terkecuali saat Shou mengharumkan nama sekolah sebagai kapten tim basket atau menjadi ketua ekskul. Shou tak yakin ia dapat bergaul dengan orang-orang yang sangat menonjol seperti Ra.

Ternyata Ra dan anggota band-nya cukup dikenal. Dari kotak pesan di Friendster sampai Facebook, mereka sering mendapat tawaran manggung. Cobaan? Tentu ada. Ra juga pernah merasa sakit saat ia kalah dalam kompetisi band—konon karena dicurangi. Pada minggu yang sama, anggota satu band-nya mengalami kecelakaan mobil dan tewas. Gitar elektrik kesayangan Ra ada di jok belakang mobil tersebut, hancur bersama pengemudinya. Ra tidak ingin membeli gitar baru dan berhenti bermusik untuk beberapa waktu, berkabung.

Studio hening sejenak.

"Ya, begitulah, lalu saya harus berhenti bermusik karena sibuk kuliah. Ucapkan selamat tinggal pada hobi dan cita-cita yang semu. Saya move on, akhirnya menemukan jalan hidup sebagai seniman, bukan pemusik."

"Tapi, Pak. Bapak keren banget, sumpah. Kenapa enggak merangkap jadi gitaris solo aja, nge-vlog di Youtube gitu, Pak. Pasti banyak subscriber deh. Kenapa Bapak malah milih jadi banci? Jatuh banget, Pak," kata Tora jujur.

Rayyan tergelak. "Enggak tahu, saya sudah kehilangan feels. Sebenarnya saya enggak terlalu percaya diri bisa main dengan bagus di fesbud kemarin."

"Enggak percaya diri aja hasilnya begitu!"

"Ra, masih ingat lagu terakhir yang kamu mainkan zaman SMA dulu?" tanya Shou.

"Dari Avenged Sevenfold yang judulnya 'Bat Country'," kata Ra. "Itu lagu yang paling saya suka dan lagu terakhir nge-band dulu sebelum teman kecelakaan."

"Kamu enggak mau coba main lagi sekarang, Ra?" Shou menantang dengan mata berkilat. "Yuk, kita main bareng di sini."

"Shou, gimana lagunya? Gue enggak tahu!" Tora protes.

"Aduh, Tora, buka Youtube, cari di Google," kata Aky. "Biar lo naik level dikit, Tora. Masa tahunya lagu Naruto melulu."

"Emang lo tahu lagunya, Ky?"

"Enggak sih, tapi gue mau belajar."

Ra tertawa, bergeleng. "Enggak usah dipaksain, lagunya agak susah memang."

Shou tersenyum. "Enggak apa, Ra. Kita main ya. Aku kepingin kamu bisa enjoy di studio musik lagi. Buat hiburan aja."

Senyum dan anggukan dari Rayyan Nareswara sudah cukup untuk melengkapi hari Shou.

Meski lagunya memang susah untuk dimainkan, tetapi Shou, Aky, dan Tora tak menolak untuk keluar dari zona nyaman. Apalagi ketika Pak Rayyan secara sukarela mengajari teknik gitar. Hhh. Ini hari terindah untuk Shou!

Keluar dari Kukuruyuk Studio, Ra mengajak Shou dan kedua sahabatnya ke salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Mereka ditraktir makan di restoran Jepang yang menu Sushi-nya disajikan dengan tangga kayu. Meski Shou kurang setuju karena restorannya lumayan mahal—dan mengapa Ra selalu gatal ingin membayar bill sendirian? Shou senang karena Tora dan Aky sudah terbuka, bercerita panjang lebar tanpa canggung. Mereka menganggap Ra sebagai teman baru yang menyenangkan.

*


Hari-hari penuh kasih bersama Rayyan Nareswara berlanjut.

Hingga malam tiba.

Pukul delapan malam, mereka berpisah dengan Tora dan Aky yang memilih pulang naik Godjek. Ra meminta agar Shou naik mobilnya, yang disanggupi dengan senang hati.

Harapan Shou sih ingin diculik.

Akan tetapi, mobil Ra bergerak bukan ke apartemen, melainkan ke arah kosan. Shou tak bisa menyembunyikan rasa kecewa. Ra ingin Shou beristirahat lebih cepat. Shou sendiri tak sadar, suhu tubuhnya naik lagi.

Mereka tiba sekitar pukul setengah sepuluh. Ra mengantarkan Shou melewati gang senggol yang dipenuhi wangi makanan dari warteg kecil yang menjual nasi ayam mentega.

"Ra, ini kan malam minggu," kata Shou serak.

"Iya. Tadi kita kelamaan main di studio. Sekarang sudah hampir jam sepuluh."

"Ra, kamu senang enggak hari ini? Maaf kalau kamu ngerasa aneh karena ketemu teman-temanku."

Ra tersenyum. Di bawah tiang listrik gelap yang bohlamnya mati, ia mengacak-acak sayang rambut Shou. "Saya senang bisa membaur sama teman-teman kamu. Apa mereka enggak ngerasa canggung sama saya?"

"Biarin aja." Shou menyeringai. "Aku kan cuma mau ngenalin pacar."

Sunyi, petak mungil rumah kosan Shou lebih gelap dari yang biasanya. Shou membuka pintu perlahan, lalu menyalakan lampu ruang tengah.

"Kosan kamu kosong?" Ra berbisik agar tak ada yang bisa mendengar suaranya.

Shou menoleh kepada Ra yang mematung di depan pintu, diam sebentar.

Tiba-tiba, Shou memberanikan diri untuk menarik tangan Ra. Kekasih prianya terkesiap pelan, menghambur masuk ke dalam.

Shou segera menutup pintu dan menjawab, "Weekend semuanya pulang. Jadi, sekarang sepi."

Ra melangkah pelan ke ruang tengah, menatap sekeliling, memastikan tak ada siapa pun. "Oke, kamu enggak takut sendirian, kan? Malam ini kamu harus cepat tidur dan istirahat ya. Saya pulang dulu—"

Shou membuka kunci kamarnya dengan cukup keras. "Masuk dulu, Ra," pintanya. "Please."

Awalnya Ra ingin menolak, tetapi wajah memelas Shou yang sakit dan tak dibuat-buat itu membuatnya luluh juga. "Oke," kata Ra, melewati pintu kayu yang di belakangnya ditempeli poster penyanyi favorit Shou. "Kimi mana?"

"Jalan-jalan di luar. Biasanya sudah tidur di dapur."

Sementara Ra duduk di kursi meja belajar, Shou menyalakan kipas angin, membuka jaket, dan menggantungnya di belakang pintu. Ia cuci tangan, kemudian menyiapkan dua gelas untuk susu cokelat—sudah naik level dari yang sebelumnya hanya bisa menyiapkan Jasjus.

"Enggak usah repot, Baby. Ini sudah malam, saya bentar lagi balik, ya?"

"Kok cepat-cepat balik?" Shou mengantar susu cokelat dengan wajah memelas.

"Ya ... sudah malam, kan? Kamu lagi enggak enak badan."

"Kamu takut gelap? Saya nyalain semua lampu di luar."

"Bukan." Ra terkekeh, mengambil gelas dari tangan Shou. "Saya enggak mau ganggu istirahatmu."

Shou duduk di tepi ranjang, meneguk susu cokelat. "Apa kamu takut ketularan aku? Aku sudah sembuh kok."

"Masa? Demamnya juga baru kemarin." Ra berpindah duduk ke ranjang, mengacak sayang rambut Shou lagi.

Shou meneguk susu kuat-kuat, senam jakun sedikit. Selalu gugup saat Ra menyentuhnya penuh sayang begini.

"Saya malah mau ketularan," kata Ra. "Supaya sakitmu pindah ke saya. Saya mau kamu sehat." Kemudian, ia menyesap pelan susu cokelat panasnya.

Shou meletakkan gelas cokelatnya di atas meja. "Beneran mau ketularan?"

Shou mendekatkan tubuhnya perlahan. Ra tampak berjengit terkejut, antara merasakan panas susu cokelat di lidahnya atau karena Shou mendekat.

"Pelan-pelan minumnya, tunggu sampai hangat dulu," kata Shou, mengambil gelas itu dari tangan Ra dan meletakkannya di meja. Setelahnya, Shou menumpukan lutut ke ranjang. Ia separuh merangkak ke arah Ra.

Sebelum napas Shou menyentuh leher Ra, tiba-tiba Ra berkata: "Shou, mungkin selama beberapa bulan ke depan saya bakal sibuk banget."

Mengerjap, Shou menegakkan punggungnya di ranjang, berhadapan dengan Ra. "Kenapa?"

"Salah satu karya lukis saya terpilih untuk dipamerkan di San Fransisco," ujar Ra. "Ini mewakili kampus juga karena status saya mahasiswa S3 di kampus ini. Maaf saya baru bilang ke kamu malam ini. Jadi, saya bakal nyiapin beberapa karya saya untuk diterbangkan ke sana." Menoleh, Ra sedikit menggeser tubuhnya perlahan dari Shou, tetapi tidak kentara. "Apa kamu mau support saya?"

"Ah? Woah hebat!" Shou mengangguk kuat-kuat. "Aku pasti dukung kamu, Ra! Kalau ada yang bisa kubantu, bilang aja."

Ra tersenyum tipis. "Beneran, Baby?"

"Meski aku enggak bisa apa-apa sih. He he." Menatap Ra tersenyum membuat Shou berdebar. "Aku akan selalu ada buat dukung kamu."

Selanjutnya, Shou menahan napas.

Rayyan Nareswara tersenyum.

Senyum paling ceria yang pernah Shou lihat hadir di wajah menawan itu. Kali pertama Shou melihatnya seperti ini. Jantung Shou berdetak dua kali lebih cepat karenanya.

"Saya udah nungguin pameran ini lama banget," kata Ra. "Saya beruntung bisa kepilih."

Shou menyentuh punggung tangan Ra. "Pasti kudukung, Ra. Alhamdulillah. Aku ikut senang banget!"

Sentuhan lembut Shou pada punggung tangannya membuat Ra sedikit mengernyit.

Shou kecewa melihat senyum bahagia Ra memudar. Mengapa Ra mengernyit seperti itu?

Namun, Ra kembali menyunggingkan senyum tipisnya. "Makasih, Baby." Diusapnya lembut ubun kepala Shou, sebelum ia mengecup kening Shou.

Hangatnya.

Shou berpejam nikmat.

Kecupan Ra berhenti saat kedua tangannya menangkup sisi kening Shou. "Kamu panas."

"Hm? Masa?" Shou menyentuh keningnya sendiri. Ya, memang panas.

Ra menghela napas, bersiap-siap untuk beranjak dari ranjang. "Istirahat ya? Besok hari Minggu, bobo aja seharian di kosan."

"Ugh. Jangan pulang dulu, Ra."

"Kamu harus istirahat." Ra berdiri, meraih jaketnya di atas kursi meja belajar.

Shou menatap nanar.

Rasanya panas, letih, lemah. Jauh dalam lubuknya, Shou ingin menyarankan Ra agar pergi segera, tak mau menularkan sakit.

Namun.

Ia tak mau Ra pergi. Rasanya ingin menggulung diri dengan kedua tangan Ra merengkuhnya hangat dari samping. Ia tak mau ditinggal sendiri.

Efek demam tinggi menjadikan Shouki Al zaidan manja.

Sekalinya jatuh sakit, ia bisa jadi seperti ini.

"Ra, temani aku ...," pinta Shou lirih.

Menoleh, Ra menarik napas lembut, lalu mengangguk. "Ya sudah, saya temani sebentar."

"Duduk sini Ra," pinta Shou, nyengir lebar, ingin Ra mendekat. Ingin dapat berbagi sedikit hangat.

Setelah Ra duduk di sisinya, Shou langsung menyandarkan tubuh. Pucuk hidungnya mengusap lembut bahu Ra, mengendus pelan di sana.

"Kamu wangi, Ra."

Dari sudut matanya, Shou melihat Ra menyipit pelan. Kekasihnya bertanya, "Obatmu di mana, Shou?"

"Di .... Di mana ya?" Shou masih sibuk menciumi leher Ra, malas berpikir. "Laci? Aku ambil dulu."

Shou menjulurkan tangannya ke arah laci samping tempat tidur. Ia membusungkan tubuh sehingga dadanya bertumpu di atas paha Ra dengan sengaja. Shou berlama-lama merogoh laci dengan posisi seperti itu.

Ra tidak banyak bereaksi. Hanya mengernyit lagi. "Shou? Ketemu?"

"Bentar, lagi nyari."

"Saya bantu," kata Ra, bergeser agak menjauh. Shou jadi kehilangan hangat dan wangi tubuhnya. Bersama-sama mereka mengobok laci dan menemukan obat flu di bawah tumpukan dokumen kampus.

"Ketemu."

Shou dan Ra menarik obat itu bersama-sama.

Dalam jarak dekat, mereka saling melirik.

Shou menatap nanar, lemah, demam, tanpa pertahanan.

Ra menahan napas, dan menahan sesuatu yang tak Shou pahami saat itu.

Shou bergumam, "Tapi obatnya udah enggak perlu diminum sih. Aku sudah enggak flu lagi. Panasnya bentar lagi turun."

"Kamu demam tinggi, Shou. Ada termometer?

"Enggak punya."

Ra berdesah berat, mencabut ponsel dari saku celana. "Saya minta ojek online belikan termometer sama obat demam di apotek."

Shou terkekeh berat. "Kamu khawatir? Enggak perlu, Ra. Demam begini udah biasa. Kalo sakit enggak pernah ukur suhu pakai termometer kok."

"Sudah saya pesan." Ra mengetuk layar ponselnya. "Tunggu sampai datang, sebentar lagi. Sudah saya bayar."

"Kamu boros."

"Enggak ada yang boros demi kesehatanmu."

"Iya iya." Shou menggesekkan pipinya ke paha Ra. Tangannya menggapai pergelangan tangan Ra, meminta agar sang kekasih meletakkan ponsel.

Menunggu abang ojek online datang, Ra membiarkan Shou merebahkan kepala di pahanya. Ra mengajaknya berbincang tentang hal-hal yang menyenangkan. Seputar film, musik, tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi saat kencan pekan depan. Ra sangat antusias setiap kali Shou bertanya tentang pameran mendatangnya di San Fransisco.

Melihat polesan senyum bahagia di wajah Ra seperti ini sudah cukup menyembuhkan Shou. Tak perlu obat lagi.

Akan tetapi, Shou mungkin sedikit tak sadar bahwa Ra terus mengajaknya berbicara untuk mengalihkan perhatian.

Sejak tadi, Shou ingin menyentuhkan kulit hangatnya pada Ra, memeluk, menciumnya. Lagi-lagi, Shou melihat Ra sedikit mengernyit setiap kali kulit mereka bersentuhan. Tubuhnya pun digeser agak menjauh.

Mungkin cuma perasaan Shou saja.

Semenjak mereka berpacaran kembali selama dua bulan lebih, sikap Ra sedikit berbeda.

Ra tidak lagi senang menggoda secara nakal, bermain berahi, dan menyentuh Shou lagi secara berani. Apakah ini cara Ra berpacaran? Jika ya, agaknya Ra salah paham dengan keinginan Shou.

Shou duduk perlahan, menatap intens kekasihnya. "Ra ...?" Jemarinya menggapai, menyentuh kulit halus di balik tengkuk Ra, menyentuh halus di sana—

Ra tiba-tiba berdiri. "Ojek online-nya sudah datang. Saya ambil ke depan dulu. Tunggu di sini, Baby."

Jemari Shou membeku di udara.

Ra sudah keluar kamar sebelum ia mendengar jawaban "Ya" lemah dari Shou. Menghela napas, Shou rebah, menatap langit-langit kamarnya yang suram, melamun.

Apa Ra marah?

....

Shou meraih guling di sampingnya dan membenamkan wajah yang kemerahan ke sana.

Malam ini, ia ingin memberanikan diri untuk mencoba sesuatu.

Sudah lama Shou menahan diri.

Semoga malam ini bisa menjadi momen yang tepat.

Ra kembali ke kamar sekitar lima menit kemudian, berkata, "Saya ketemu ibu kos-mu di depan pagar."

Tersentak, Shou bangun. "Ah? Terus?"

"Katanya kamu belum bayar uang sewa. Telat seminggu?"

Astaghfirullah. Iya, Shou lupa. Saking banyaknya kebutuhan kuliah dan pengeluarannya selama dua minggu terakhir. "Aku lupa ambil uang, besok kubayar deh."

"Barusan sudah saya lunasin," kata Ra.

"EH?" Shou bangun, mendelik. "Jangan, Ra! Besok aku ganti ya. Maaf."

"Saya bilang ke ibu kos-mu kalau saya ada utang sama kamu. Jadi, sekalian saya aja yang bayarin ke ibu kos."

"Ra ... jangan begini. Besok kuganti ya. Maaf banget kamu jadi repot."

"Udah beres. Enggak perlu."

Shou bergeleng kukuh. "Besok kubayar. Uangnya kan dari ayahku. Kalau enggak dipake, nanti Ayah malah curiga."

"Sssh, enggak apa. Kuliah di fakultas seni rupa ini banyak pengeluaran. Saya paham. Pakai uang dari ayahmu buat kuliah aja," ucap Ra, menepuk pelan ubun Shou.

Shou menangkap pergelangan tangan Ra di udara, menariknya pelan. Ia kecup punggung tangan Ra.

Ra terkejut sedikit.

Shou tersenyum kecil dan mendongak. Kedua matanya mengunci wajah Ra. "Makasih, Ra."

Ra mengangguk, dengan lembut menarik tangannya lagi. "Saya ukur suhumu pakai termometer."

"Iya .... " Shou membuka bajunya perlahan. Kulit telanjangnya langsung meremang saat dibelai udara kipas angin.

Ra sepertinya sengaja memalingkan mata dari tubuh atas Shou yang telanjang. Hmm. Shou mendongak, duduk di tepi ranjang, mengangkat ketiaknya. Mata Ra hanya fokus kepada termometer di tangannya, yang ia selipkan secara berhati-hati di kepitan ketiak Shou.

"Ibu kosmu enggak curiga saya di sini?" tanya Ra sembari menunggu termometer digital berbunyi.

"Ibu kosan enggak tahu kamu dosen. Pas kamu ke sini beberapa minggu lalu, kamu dikira abang aku."

"Gitu? Saya tadi bilang ngakunya guru les kamu. Saya anggap kamu sebagai adik angkat," Ra memutar mata ke sekitar ruangan, ke mana pun selain memandangi tubuh atas Shou yang polosan, "tapi kenapa saya dilihatin enggak kedip tadi sama Beliau?"

"Kamu menawan sih." Shou menyeringai. "Bikin deg-degan dan buat aku—"

Termometer berbunyi. Kata-kata Shou berhenti.

Ra mencabut termometer dari ketiak Shou, menatap suhu. "37,8 derajat, Baby."

"Enggak demam, kan?"

"Ini termasuk demam kalau sudah di atas 37,5 derajat," kata Ra. "Saya tadi belikan obat demam sekalian. Kamu makan dulu sedikit. Tadi take away makanan dari restoran, kan? Minum obat demam ya. Saya ambilkan."

"Ra, enggak usah, nanti aku aja yang minum sendiri."

Ra sibuk merogoh plastik obat di atas meja, lalu membuka bungkusan sushi yang dibawa pulang.

Shou tak tahan lagi.

Ditariknya tangan Ra. Ia buat perhatian kekasihnya jatuh secara penuh hanya kepadanya.

Ra sedikit oleng, hampir terjatuh berdebum ke ranjang. Ia bertahan dengan menumpukan tangannya sebelum menimpa Shou secara penuh. Per ranjang berderit. Mereka berpandangan lekat. Ra menjatuhkan termometer ke atas ranjang.

Shou terus menatap bola mata Ra yang hangat. Bibirnya membisikkan sesuatu yang lembut. Lemah, tetapi tanpa ragu. "Udah. Sini aja ... Da ... D-Daddy."

Ra terdiam.

Senyap sebentar.

"Kamu ...," Ra berdesah tanpa napas, kelihatan syok dengan tampannya, "kamu manggil saya apa?"

"Daddy," kata Shou, lebih berani.

Ra terdiam lagi.

Namun, ternyata Shou tak bisa terlalu lama mengucap kata "Daddy" sembari menatap mata Ra. "Errr, t-termometernya jatuh ke mana tadi?" Shou menepis kecanggungan itu dengan membuang mukanya yang panas, yang langsung ia benamkan ke guling.

Malu.

Panas.

Shou terkesiap tajam.

Bibir Ra menekan lehernya yang telanjang. Tubuh Ra di atasnya. Shou tak pasti apa yang terjadi, tak sempat melirik. Hanya merasakan sentuhan Ra yang datang bertubi secara tiba-tiba. Napasnya tercekat saat Ra menciumi lehernya dengan gemas.

Ra meninggalkan tanda di bagian bahu dan leher Shou. Kecupan dan gigitan lembut, tetapi membuat Shou berdesah keras. Shou menggigil bukan karena demam, tetapi haus. Sentuhan Ra membuatnya terbang. Ra mengecup bukan hanya leher, tetapi tulang selangka, rahang, dagu, pipi, kelopak mata. Shou mendidih.

Lalu, Ra membubuhkan sebuah kecupan lembut di kening, sebelum beranjak dari ranjang. Kedua bahu Shou ditekan agar rebah dengan benar di ranjang, tidak bisa terbang melambung.

Shou tersengal.

Shou bingung.

Ra turun dari ranjang, membenarkan jaketnya. Punggungnya sedikit memburam di bawah lampu yang temaram.

"Tidur, Baby," gumamnya pelan. "Saya pulang ya?"

....

"Nanti malam saya telepon kalau kamu masih bangun. Obatnya diminum ya? Nanti saya cek. Sejam lagi kamu ukur suhu lagi." Ra mengelus pelan kening dan pipi Shou, menatap lembut penuh sayang. Kening Shou ia kecup sekali lagi. "Tidur ya? Tolong, saya mau kamu istirahat."

Rebah lemah dan panas, Shou cuma bisa mengangguk.

"Pakai bajumu. Pakai selimut kalau dingin."

Suara Ra agak mengecil, mungkin karena Shou sudah terlalu panas dan letih. Shou ingin memanggil lagi. "Daddy" atau "Jangan pergi". Suaranya tak keluar.

....

Shou hanya bisa bengong saat Ra mengucap salam di depan pintu, lalu melihat pintu itu tertutup.


Instagram: @ ra_shou (IG khusus pembaca Rashoura, DM dulu agar di-confirm, ya)

Yang part 49 ini R18+ ya, tapi karena Wattpad udah ngelarang bikin cerita private jadi aku buat part ini tidak terlalu vulgar/eksplisit, but tetap seksi. Menurutku cerita R18+ yang implisit itu jauh lebih seksi daripada yang eksplisit. Film erotis >>> video porno ecek-ecek.  He he. See you soon! GB tamat bentar lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

15.7K 2.3K 200
Seorang anak laki-laki miskin dan biasa dari desa bergabung dengan sekte kecil di Jiang Hu dan menjadi Murid Tidak Resmi secara kebetulan. Bagaimana...
162K 12.9K 25
Bipolar disorder sebenarnya sudah dikenal dan diperhatikan oleh banyak negara maju di dunia. Tiga sampai Lima orang dari setiap seratus orang dewasa...
15.7K 2.4K 18
Aku gelandangan sejati, bertemu dengan pemuda brengsek di jejeran bak sampah sebuah rumah makan cepat saji, dan diberi makan olehnya. Tidak lebih, ti...
31.6K 2.5K 12
Kita sadar kita hidup dalam lingkaran bernama kenyataan. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ 𝐁𝐞𝐟𝐨𝐫𝐞 𝐀𝐧𝐲𝐨𝐧𝐞 𝐄𝐥𝐬𝐞 𝐒𝐩𝐢𝐧 𝐎𝐟𝐟 ab...