GEBETANKU BANCI ✔

By DaddyRayyan

898K 88.7K 30.5K

Berani sumpah aku straight! Namun, lelaki ini membelokkan kepalaku. Sungguh. Awalnya aku cuma ingin bertanya:... More

Pendahuluan
1. Perempuan Jagung Rebus
2. Chatting Pertama
3. R A i s y o
4. Foto Syur
5. Siap Tembak Siaga 2
6. Siap Tembak Siaga 1
7. Hati Potek Karo Banci
8. Gebetanku Bapak Dosen-TIDAK!
9. Terangkanlah...
10. Terangkanlah... (2)
11. Tercyduk
12. Mencyduk
13. Cyduk-Cydukan (part 1)
14. Cyduk-Cydukan (part 2)
15. Magamon
16. Kesempatan dalam Kesempitan
17. Pengabdi Sasetan
18. Para Pengabdi Micin
19. Dari Matamu, Pak
Visualisasi Tokoh (+Rekaman Suara Raisyo/Pak Rayyan & Shouki)
20. Bayi Gula?
21. Aw aw aw
22. Jaran Goyang
23. Hati ke Hati (1)
24. Hati ke Hati (2)
25. Buka-Bukaan
26. Becekin Adek Bang
27. Basah Basah Basah
28. Gebetanku Banci Lainnya ...
29. Banci in Denial
30. Banci Fight
31. Apartemen Ra
32. Just Ra
33. Just Ra (2)
34. Memahat Hati
Pengumuman 3/3/2018
35. Arian
36. Main Api Babak Satu
37. Main Api Babak Dua
39. Main Api Menuju Ambyar
Road to Anniversary
40. Gosong, Ambyar
41. Janji
42. Aisha
Pengumuman+Giveaway Ulang Tahun Shouki
43. Ra
44. Shoulan (Shouki Al Dilan) Part 1
45. Shoulan (Shouki Al Dilan) Part 2
46. Goyang Gitar 🤘
47. Everyday with Rayyan (part 1)
48. Everyday with Rayyan (part 2)
49. Night with Rayyan
50. ....
51. Bunga untuk Daddy
52. Bunga dari Daddy
53. Moving On
Bonus Part: Post-Ending Story #1
Bonus Part: Post-Ending Story #2
Open PO Novel Sekuel GEBETANKU BANCI
PO ditutup malam ini! (Plus teaser Sekuel GB)
PDF Sekuel GEBETANKU BANCI di KaryaKarsa

38. Main Api Babak Dua Separuh

7.8K 1.2K 550
By DaddyRayyan

Baru sekitar tiga menit kemudian, Shouki Al Zaidan menyadari kursi Ra yang kosong.

Hal pertama yang ia rasakan adalah rasa dingin menjalar di leher belakang. Shou melirik Arian di sampingnya, dan sahabatnya malah membalas dengan senyum paling tengil.

"Arian, Arian! Pak Rayyan pergi ke mana?!"

"Udaaah, Bang. Santai aja."

"Santai pale lo? Lo yakin ini mau diteruskan—"

"Tenang, Bang. Rencana kece disimpan terakhir."

"Lo jangan aneh-aneh ya."

"Tenang, Bang. Dijamin puas!"

Shou menoleh ke kanan ke kiri, mencari. Pak Rayyan tidak meninggalkan tas, ponsel, atau kunci mobil di atas meja. Hanya sebuah kantong misteri berisi kotak persegi bersampul kertas kado. Shou mengambil kantong itu, lalu celingukan panik.

"Arian, Pak Rayyan betulan hilang!"

"Sssh, jangan kelihatan heboh dong, Bang. Cool aja. Cool. Gue yakin dia merhatiin kita dari suatu tempat. Kita mesti cool Bang."

Shou duduk kembali dan melanjutkan mengerjakan tugas, tetapi isi kepalanya sudah berkitar ke seluruh Starbucks. Goresan pensilnya sudah melancong ke mana-mana. Ia sudah tidak bisa fokus. Terlebih lagi, kedua mahasiswa sok sibuk nugas ini duduk di Starbucks tanpa memesan minum atau makan. Mungkin beberapa saat lagi mereka akan diusir—

Ketika Shou berpikir bahwa petugas Starbucks ingin menciduk mereka, sebuah baki diletakkan pada meja.

Shou mendongak terkesiap.

Pak Rayyan datang meletakkan secangkir frappuccino, secangkir green tea latte dingin, dan muffin.

"Buat kamu, Baby," kata Ra, tersenyum lembut menyodorkan latte dan muffin.

"Eh? Ini buat saya?"

"Biar semangat negerjain tugasnya." Ra meletakkan telapak tangannya di ubun kepala Shou, dan mengelusnya dengan cepat. Terlalu cepat untuk diketahui oleh mata pengunjung lain, terkecuali Arian.

Shou mengulum bibir, mengucap terima kasih. Ya Allah, ternyata Ra cuma pergi sebentar membelikan minum! Shou langsung menyeruput green tea latte dengan luar biasa lega.

Arian memangku dagu dan hanya tersenyum. "Lah, kok cuma Bang Sho yang dikasih." Arian berbicara dengan pipi menggembung penuh. "Diskriminasi nih, Pak."

"Oh, saya belikan Arian juga kok." Ra menyerahkan sehelai tisu kepada Arian.

Shou dan Arian terdiam.

Ra menyodorkan satu buah muffin lagi kepada Arian. "Itu tisu untuk makan kue."

"Enggak usah, Pak, makasih." Arian balik mendorong tisu dan muffin.

"Jangan nolak, Arian. Nih, makan muffin. Biar lo semangat." Shou memindahkan muffin dari piring dan menjejalkannya ke mulut Arian.

Ra santai saja menanggapi kemesraan itu, kembali duduk ke kursinya. "Maaf, Arian, saya enggak tahu kamu senangnya minum apa. Jadi, saya belikan muffin aja."

"Maksud saya Bapak enggak perlu repot. Saya bisa minta ke Bang Shouki kok." Arian menyambar Green Tea Latte Shou dan menyesap minuman itu dari sedotan yang sama.

Ra meneguk kopinya sendiri, sembari menatap Arian mengulum bibir dengan sengaja pada pucuk sedotan itu.

"Enak banget. Terima kasih, Pak!" Arian meletakkan minuman itu di tengah meja.

Baik Ra maupun Arian berwajah sangat kalem, tetapi ada sesuatu yang menegangkan. Seperti ada udara berat melingkupi baik tubuh Shou maupun dua orang lainnya di meja itu. Shou menahan napas.

Shou hanya luput melihat: baru saja Pak Rayyan mencabut sedotan Green Tea Latte bekas isapan Arian itu dan menggantinya dengan sedotan yang baru. Pak Rayyan kemudian mendorong cangkir Latte tersebut ke arah Shou, tanpa kata.

Arian berpura-pura mengecek jam tangannya. "Yah, sudah sore nih, Bang. Gue harus balik duluan ya."

Ra menyeruput kopinya tanpa sedotan, dan berkata, "Hati-hati di jalan, Arian. Tugasnya sudah selesai?"

"Belum sih, Pak, tapi harus banget nih pulang. Kucing saya jadwalnya melahirkan," kemudian di telinga Shou, Arian berbisik, "Psst, Bang, ingat jangan macam-macam ya. Lo mendingan langsung balik aja! Pokoknya jangan berduaan lama-lama sama daddy serigala ini!"

"Err, yeah."

Babak kali ini, meski minim pertukaran kata yang nyelekit, tetap saja membuat dada Shou sesak seperti menjelang kumat asma. Sejujurnya ia tidak tega harus mengucap berpisah kepada Ra selepas Arian pulang. Ia masih ingin berada di sini, bersama Ra, sampai pada penghujung malam.

Sembari mengantar Arian berjalan ke lobi mal, Ra gantian berbisik di telinga Shou, "Baby, setelah ini kita jalan berdua ya."

Shou melirik kepada Arian, dan melihat sahabatnya mendelik dan bergeleng.

Yah, harus bertahan sampai babak ini selesai.

"Ojek gue udah nunggu di depan," kata Arian.

"Yeah, sampai besok ya, Arian."

Arian baru saja hendak bergerak meliuk di antara mobil-mobil depan lobi, kemudian tiba-tiba ia berhenti. Ia menoleh kepada Shou, dan berlari kembali ke arah mereka.

Arian menarik lengan Shou dan mendaratkan ciuman di pipinya.

Chuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.

....

Shou membeku di tempat.

Ra menatap.

"Oke, balik duluan ya, Bang." Arian menyeringai tengil. "Thanks juga, Pak Rayyan, untuk traktiran tisu dan muffin-nya."

Setelah Arian pergi berlalu di antara mobil-mobil, Shou merasakan sentakan kuat dari samping. Tubuh bekunya langsung mencair.

Tiba-tiba Ra refleks menarik bahu Shou sampai tubuhnya berputar menghadap pria itu. Satu tangan Ra terangkat bersama tisu, mengusap pipi Shou, bekas tempat yang dicium Arian.

Shou menahan napas.

Ra menatap dekat. Sekilas pandang, tampak kalem-kalem saja wajahnya, tetapi kernyit di antara kedua alis Ra itu tidak bisa berbohong—Shou merasakan ada perasaan yang getir tersakiti. Ia membalas tatap, sesaat tak bisa berkata-kata.

Usapan tisu Starbucks agak kasar menggores pipinya. Shou mengernyit dan berucap spontan, "Duh, sakit, Pak", dan barulah Ra berhenti menggosok.

Pria itu menurunkan tisunya dan berdesah, "Maaf, ada bekas Green Tea Latte. Saya bersihkan."

Bohong. Masa bekas minum Latte bisa melenceng jatuh sampai ke tengah pipi. Shou mendengus, "Masih ada bekasnya?"

"Sudah hilang," jawab Ra. "Sahabatan antarlelaki zaman now itu pakai cium-cium pipi ya?"

"Enggak tahu, Pak, baru kali ini saya dicium begitu. Menurut Bapak?" Shou membenarkan tali ranselnya yang sudah merosot sebelah. "Oke, Pak. Kalau begitu saya pulang juga ya. Terima kasih sudah ditraktir, dan diajarin nugas."

Ra menangkap pergelangan tangan Shou. "Dan kamu biarkan pipimu dicium?"

Shou mengernyit, menjawab, "Ya—karena dia sahabat saya, kan?"

"Apa saya harus jadi sahabatmu juga, untuk bisa cium kamu?"

Shou tergelak. "Bapak kan sudah pernah cium saya."

Ra melanjutkan, "Dan apa saya harus jadi sahabatmu juga, untuk bisa duduk berdua kamu di tempat tadi? Ini malam minggu, dan kamu sudah minta pulang cepat-cepat."

"Ah. Memangnya bapak mau ngapain lagi?"

Adu mata intens terjalin di antara mereka.

Ponsel Shou berbunyi tepat waktu, membuat Pak Rayyan melepaskan cengkeraman tangannya. Shou mengeluarkan ponsel dan membaca pesan WhatsApp dari Arian.

Pulang, Bang! Jgn biarkan dirimu kena bujuk rayu

Msh ada babak 3. Bersiaplah!

"Apa cuma saya yang enggak kepingin hari ini berakhir?" kata Ra, mengalihkan perhatian Shou dari ponselnya. "Saya cuma mau habiskan waktu sama kamu."

Konsentrasi Shou terpecah antara ingin membalas pesan Arian, atau membalas perkataan Ra. "Umm."

"Seminggu terakhir ini kamu jarang balas pesan saya, dan juga sulit ditemui di kampus."

"Hmm."

Selagi Ra terus bicara, pesan masuk dari Arian juga tak mau kalah bergetar-getar di telapak tangan maupun dalam kepalanya. Shou menatap layar ponsel, kemudian menatap Ra, secara bergantian.

"Pak. Maaf saya benar-benar harus ...."

"Kamu masih baby saya, kan?" tanya Ra. "Atau ternyata selama ini saya cuma sepihak? Menganggap kita punya hubungan?"

Mata Shou menyipit. "Sepihak dari sisi saya maksud Bapak?"

"Maksud kamu?" Mata Pak Rayyan ikut menyipit sebentuk celah gelap. "Baby, jawab, apa kamu sudah enggak mau berhubungan dengan saya lagi? Melihat caramu yang malas membalas pesan, ingin cepat pulang padahal kita belum berkencan ... saya tangkap demikian."

Shou tidak tahu harus menjawab apa.

"Saya butuh kejelasan sekarang. Kamu sepertinya lebih memilih bersama Arian. Kalau memang kamu lebih bahagia bersama dia, saya tidak akan maksa kamu jalan sama saya. Jadi, jawab sekarang."

Persis seperti kata Arian Hendrajaya, kan?

Detik-detik ketika seseorang tidak bertanggung jawab ingin memutuskan hubungan dengan kamu, mereka mungkin akan playing victim dengan berkata, "Demi kebaikan kamu, sebaiknya kita putus saja, saya tidak akan memaksa. Cinta tidak perlu memiliki." Bullshits sekali.

"Maaf, Pak, saya juga butuh kejelasan," jawab Shou tenang. "Apa Bapak betulan cinta saya? Atau cuma ... mainin saya buat isi waktu luang?"

Ra tampak menarik napas dan menahannya di kerongkongan. Ia bertanya, "Apa yang kamu mau dari saya?"

"Karena bapak enggak kelihatan cinta. Bapak cool banget ... saya sering merasa ... bahwa cinta saya ke Bapak itu sepihak. Apa karena saya masih kecil?"

Selagi mereka berbicara, para pengunjung mal berjalan lalu-lalang. Semua orang bisa menguping percakapan mereka. Shou tidak mendengar langkah atau suara berisik di sekitarnya. Fokusnya hanya kepada detak jantungnya sendiri yang mengencang, dan otot rahang Ra yang mengeras.

Ra memicingkan mata, seolah-olah sedang berusaha membaca pikiran Shou. "Apa—apa kamu dengar sesuatu tentang saya di luar sana?"

Shou angkat bahu. "Ya sudah itu saja, Pak. Saya pamit, pulang dulu."

Berbalik, Shou berjalan menjauh dari Ra tanpa menoleh lagi. Sepasang kakinya menembus keramaian lobi mal dan menuruni tangga menuju pelataran parkir di lantai B1. Selagi terus melangkah, Shou menunggu—dengan penuh harap—ada sepasang langkah kaki orang yang dicintainya mengejar dari belakang.

Namun, hanya ada langkah kakinya sendiri saat ini.

Ra tidak mengejar sama sekali.

Shou menganggapnya sebagai sinyal bahwa Arian benar. Ra tidak peduli ia pergi. Mungkin sebentar lagi Ra akan mengiriminya pesan yang berbunyi semacam: "Oke, Baby, kalau memang itu keputusanmu, saya hargai permintaanmu untuk berpisah."

Sangat mudah bagi orang seperti Rayyan Nareswara, untuk berpindah dari satu hati ke hati yang lain, menyakiti semua orang. Shou membayangkan Ra berganti Baby selayaknya berganti pakaian. Sakit, membayangkan itu semua. Shou yang menembak maka dia pula yang harus mengakhiri.

Duduk di atas motor, Shou memejamkan mata. Semenit berlalu. Dua menit. Tak ada panggilan telepon atau pesan masuk dari Ra. Tak ada langkah kaki yang mengejar. Hanya ada Arian yang mengirimkan pesan-pesan motivasi.

Semangat, Bang. Tarik napas, lalu buang dari lubang knalpot motor. Move! Move!

Oke.

Shou memasang helm, menstarter motor, dan meremas setangnya dengan telapak berkeringat dingin. Udara pengap basement menyambar wajahnya yang panas, sepanas hatinya. Ia bergerak perlahan menuju keluar parkiran ....

... dan harus berhenti ketika melihat seorang pria berdiri tepat di depan landasan motornya. Shou memekik terkejut, spontan menekan kopling dan rem secara bersamaan.

Rayyan Nareswara muncul dari balik pilar persegi dan mencegat motor Shou. Gagah, pria itu berdiri di sana, tanpa ragu ditabrak.

Shou membuka kaca helm full face-nya dan menggeram, "Astaghfirullah ... bahaya, Pak! Minggir!"

"Matikan motor kamu," pinta Ra, serius, dan Shou tidak bisa melawan kata-kata maupun matanya yang menghunjam tajam. Deathglare yang membuat Shou berdebar.

Shou menepikan motorn dan mematikan mesin. Kuncinya masih terpasang, ia siap pergi kapan pun dari tempat itu.

Ra berjalan mendekat sambil berkata, "Saya di tempat lain memang kerja jadi banci, Shouki Al Zaidan, tapi identitas saya saat ini dosen. Pendidik."

Shou bersedekap dari atas motor. "Terus?"

"Jadi, tabu untuk saya narik dan gendong kamu di depan orang banyak di lobi tadi. Kalau itu mau kamu, saya terpaksa nunggu kamu turun ke tempat sepi ini."

Saling pandang secara sengit, Ra berhenti tepat di samping kiri motor Shou. Dengan satu tarikan napas, tiba-tiba Ra menyepakkan sisi kakinya untuk mengunci standar motor Shou. Motor tersebut menjadi miring ke kiri. Terkesiap, Shou jatuh tepat ke pelukan Ra.

"Artinya, cuma di tempat ini saya bisa nyulik kamu, kan," ucap Ra urgen sembari mencabut kunci motor Shou. Ia rengkuh pinggang Shou dan menggendongnya pergi.

"Ra?!" Shou mengerang kaget. "Turunkan aku."

"Nanti."

Di tengah pelataran parkir sepi, Ra menggendong Shou ke arah mobilnya yang diparkir menghadap barat. Di sana Ra menurunkan Shou, dan mendorongnya cukup kuat ke badan mobil. 

Kedua tangan Shou ditahan pada badan mobil. Pembuluh darah Shou berdesir. Yang bisa ia lakukan hanya menatap wajah Ra yang mendekat, dengan bibir yang memburu, ingin menerkamnya. Takut, Shou memejamkan mata.

Mungkin dia bakal dorong lo ke dinding terus bang bang, iyum-iyum nafsu, Bang, posesif kayak di film-film lho. TAPI jangan salah, Bang, justru yang begini juga bukan cinta namanya, itu sih malah nafsu kepingin mendominasi.

Kali ini Arian salah.

Ra tidak mencium bibir Shou secara bernafsu. Semula—mungkin—ia mendekatkan wajah seperti memang untuk mencium bibirnya, tetapi di tengah jalan pria itu menahan diri. Ra membubuhkan ciuman lembut pada kening Shou. Ciuman yang sepenuhnya sayang, sama sekali tidak bernafsu.

Shou terkejut ketika Ra melepaskannya.

"Saya pernah bilang, ini pertama kalinya saya pacaran, Shou. Kamu mengerti maksudnya? Artinya saya serius. Setidaknya saya mencoba begitu."

"Jadi?"

"Saya bilang saya serius." Ra mendelik. "Cinta itu tidak mudah diucap, Shou. Anak sekolahan, anak ingusan gampang sekali ngomong cinta, tapi apa menurutmu mereka serius?"

Shou diam.

"Jujur saja. Saya enggak tahu apa yang kamu dengar dari luar sana tentang saya, tapi saya memang belum pernah berhubungan serius sebelum ini. Saya akui. Ini pengalaman pertama untuk saya, menerima yang namanya berpacaran."

Shou mengulum bibirnya, melepaskan napasnya yang tertahan. Ditatapnya Ra dari sudut mata. "Jadi perasaan kamu sebenarnya gimana ... ?"

Ra bergeleng. "Saya enggak tahu, Shou, dan saya enggak akan semudah yang lainnya dalam bilang 'cinta'."

Shou tertunduk, mengangguk berulang. "Oke. Aku ngerti kok, Ra."

"Saya belum selesai. Dengerin saya."

Shou mendengarkan, memandang Ra tepat di matanya.

"Yang saya mau, adalah bisa lihat senyum kamu setiap hari. Saya mau ada di sisi kamu, bukan cuma saat kamu ngerjain tugas atau hadir di kelas saya. Saya mau tidur di sisi kamu, melihat wajah kamu sebelum tidur, dan sesudah bangun tidur."

Shou terus menatap.

"Saya mau kamu bahagia di sisi saya." Ra merentangkan tangannya. "Saya lakukan apa pun untuk itu, tapi kalau kamu tanya apa saya cinta atau tidak, saya enggak bisa jawab itu. At least tidak dengan kata-kata."

Rayyan Nareswara—sangat kompleks. Perkataan, perbuatannya.

Shou tidak pernah berhadapan dengan lelaki yang seperti ini sebelumnya. Memang benar, ia jelas masih terlalu dini untuk cinta-cintaan serius. Baru juga beberapa bulan yang lalu masuk kuliah tingkat pertama. Makanya, mereka bilang cinta remaja sekolahan itu cinta monyet. Terlebih lagi ini kali pertama Shou berhubungan dengan sesama yang punya belalai.

Anak TK, anak SD, SMP, SMA, playboy, playgirl, kakek, nenek, pelakor, selingkuhan kamu, siapa pun mudah bertutur "I love you" ke semua orang. Ra tidak mau sembarangan mengucapkannya.

Mendengar tak ada jawaban dari Shou, Ra berkata lagi, "Saya lihat kamu senyum dan ketawa saat bersama Arian, dan saya jadi berpikir, mungkin sebenarnya hati kamu ada buat dia. Terkadang kita duduk berdua di kantin tanpa bicara, saya pikir mungkin kamu bosan. Omongan kita kurang nyambung, atau saya yang enggak bisa keep up dengan kamu. Saya enggak pernah pelihara kucing, dan belum tahu tentang kamu sebanyak Arian. Di kencan malam ini juga kamu mengajak Arian supaya ramai," kata Ra pelan, "Kalau kamu sudah lebih bahagia dengan yang lain, artinya saya harus mundur. Jangan sampai kamu memaksakan diri mau sama saya."

Inikah saatnya? Tanda-tanda bahwa Ra memilih mundur dan tidak ingin mempertahankannya lagi—Shou baru saja ingin mengangguk lesu dan berjalan pergi dari tempat itu.

Namun, Ra belum selesai bicara. "Kalau kamu memang cinta Arian, ya sudah," dan kata-kata Ra selanjutnya begitu lambat di telinga, "Tapi kamu harus tahu satu hal, kamu enggak akan semudah itu lepas dari saya."

Shou mendongak.

Ra memasukkan kunci motor Shou ke dalam kantong kertas misterius yang sejak tadi ia letakkan di sofa Starbucks, lalu melemparkannya kepada Shou. Sebelum masuk ke dalam mobil, Ra berkata sekali lagi, "Benar atau tidak, enggak usah dijawab sekarang. Saya kasih kamu waktu."

Shou tidak berkedip sampai mobil Ra menghilang di balik palang besi menuju tanjakan pos sekuriti. Setelah mobil Ra berlalu dari pandangan, barulah Shou sadar, sekencang apa detak jantungnya.

Shou mengeluarkan kunci motornya dari kantong tersebut, lalu mengintip isinya. Ia menarik sebuah benda berbentuk persegi yang berlapis kertas kado. Dari bentuknya seperti sebuah lukisan mungil. Perlahan-lahan, Shou menarik copot pita yang melilitnya, menyingkap sebuah lukisan mungil berukuran 4R.

Ini adalah lukisan mix media dari keramik resin yang mengingatkan Shou kepada hasil karya Zena di apartemen Ra. Namun, berbeda, sebab yang memenuhi lukisan tersebut adalah wajah Shou sendiri, yang tersusun dalam kepingan-kepingan mosaik multiwarna.

Di bagian bawahnya tertulis RA ♥ SHOUKI.

*

"Kita berhenti aja, Arian." Shou berujar lewat telepon.

"Lah! Kenapa, Bang?"

"Gue ... sudah percaya kok sama dia, jadi gue rasa babak tiga enggak perlu ada. Gue sudah tahu jawabannya."

"Oke, Bang, besok kencan sama Aisha ya!"

"Gue serius, Arian. Mari kita sudahi main babak-babakan ini ya."

"Kalau gitu kencan sama gue, Bang, untuk terakhir kalinya."

Shou menghela napas. "Arian, Arian ... Ada cara lain untuk menyampaikan sesuatu ke gue, tapi enggak begini caranya--''

Arian memotong, "Emang ada kejadian apa sampai lo nyerah ikut babak ketiga? Nehi nehi, Bang! Lontong already jadi ketoprak, kita kudu gas ke babak tiga."

Shou menjeda sebentar, sebelum menjawab, "Oke, tapi tolong jangan keterlaluan ya. Janji? Gue bakal marah banget kalau lo nyosor-nyosor lagi kayak tadi, Arian. Jantung gue berasa copot. Di tengah mal, lho, itu tadi."

"Beres. Kalau gitu harus pilih tempat kencan yang bikin kita bisa lebih bebas buka-bukaan. Itu, lho, Bang, kan ada diskotek yang isinya banci-banci cantik banget kayak di Thailand. Gimana kalau kita main ke sana?"

Diam, Shou meremas gagang telepon.



Instagram: @ ra_shou (IG khusus pembaca Rashoura, DM dulu agar di-confirm, ya)

Continue Reading

You'll Also Like

339K 16.2K 43
Gadis yang memiliki wajah cantik,baby face,dan manis menjadi satu,ialah Cahaya mentari alexander yg kerap di panggil Caca oleh orang terdekat.Gadis y...
294K 37.9K 60
Setelah lima tahun lebih hidup bersama dengan keluarga Narufumi, ada sesuatu dalam diri Reo Fearbright yang mengalami perubahan. Apa yang berubah dar...
395K 69.7K 31
Meis temanku. Kami berteman sejak TK. Di mana ada Meis, pasti ada aku. Kami bersahabat dan saling berbagi apa pun. Aku menerima segala kekurangan Mei...
SINFUL MAD LOVER By seishuu

Mystery / Thriller

68.4K 9.2K 22
I want you to play with my heart, so I can cut your HEAD.