GEBETANKU BANCI ✔

By DaddyRayyan

898K 88.7K 30.5K

Berani sumpah aku straight! Namun, lelaki ini membelokkan kepalaku. Sungguh. Awalnya aku cuma ingin bertanya:... More

Pendahuluan
1. Perempuan Jagung Rebus
2. Chatting Pertama
3. R A i s y o
4. Foto Syur
5. Siap Tembak Siaga 2
6. Siap Tembak Siaga 1
7. Hati Potek Karo Banci
8. Gebetanku Bapak Dosen-TIDAK!
9. Terangkanlah...
10. Terangkanlah... (2)
11. Tercyduk
12. Mencyduk
13. Cyduk-Cydukan (part 1)
14. Cyduk-Cydukan (part 2)
15. Magamon
16. Kesempatan dalam Kesempitan
17. Pengabdi Sasetan
18. Para Pengabdi Micin
19. Dari Matamu, Pak
Visualisasi Tokoh (+Rekaman Suara Raisyo/Pak Rayyan & Shouki)
20. Bayi Gula?
21. Aw aw aw
23. Hati ke Hati (1)
24. Hati ke Hati (2)
25. Buka-Bukaan
26. Becekin Adek Bang
27. Basah Basah Basah
28. Gebetanku Banci Lainnya ...
29. Banci in Denial
30. Banci Fight
31. Apartemen Ra
32. Just Ra
33. Just Ra (2)
34. Memahat Hati
Pengumuman 3/3/2018
35. Arian
36. Main Api Babak Satu
37. Main Api Babak Dua
38. Main Api Babak Dua Separuh
39. Main Api Menuju Ambyar
Road to Anniversary
40. Gosong, Ambyar
41. Janji
42. Aisha
Pengumuman+Giveaway Ulang Tahun Shouki
43. Ra
44. Shoulan (Shouki Al Dilan) Part 1
45. Shoulan (Shouki Al Dilan) Part 2
46. Goyang Gitar 🤘
47. Everyday with Rayyan (part 1)
48. Everyday with Rayyan (part 2)
49. Night with Rayyan
50. ....
51. Bunga untuk Daddy
52. Bunga dari Daddy
53. Moving On
Bonus Part: Post-Ending Story #1
Bonus Part: Post-Ending Story #2
Open PO Novel Sekuel GEBETANKU BANCI
PO ditutup malam ini! (Plus teaser Sekuel GB)
PDF Sekuel GEBETANKU BANCI di KaryaKarsa

22. Jaran Goyang

16.3K 1.7K 862
By DaddyRayyan

Baru aja pulang sori updatenya kemaleman, pergi malam mingguan dulu tadi haha.

Btw, mungkin ada banyak pembaca baru yang belum tahu faktanya (kecuali pembaca Aratte sejak lama dan teman-teman lama di Facebook) bahwa... asal-usul tokoh Ra dan Shouki sesungguhnya diadaptasi berdasarkan orang sungguhan, yaitu saya sendiri dan sang kekasih. Saya cuma terlalu kreatif menjadikannya sebagai tokoh dalam novel. Sifat, gender, dan latar belakang disesuaikan. Termasuk tokoh Arian, Tora, dan Aky juga--mereka terinspirasi dari sahabat kami di dunia nyata. (iya, Arian aslinya memang cenayang begitu hahah, Tora alay, dan Aky suka sugar daddy).

Untuk bab yang lalu pun, ada beberapa bagian yang saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi kisah romansa saya sendiri. Yang pastinya banyak didramatisir untuk kepentingan plot dramalah ya.

That's all ;) Makanya saya pernah bilang bahwa setiap cerita RaShouRa spesial. Saya tulis dan didedikasi untuk ShoukiWisanggeni 

Daaan bonus foto castnya Shouki (Taishi Nakagawa) untuk bab ini. Shouki habis salat Jumat dan ketiduran di atas sejadah.

Bab kali ini 3x lipat lebih panjang dari yang pernah panjang. Lebih panjang dari yang sebelum-sebelumnya. Dan agak cukup intens ya. Tapi silakan jangan malu-malu kasih saya spam komen hehe.

Enjoy

.

.

.

Firefly, oh Firefly. Penampakannya dari jauh seperti tempat karaoke dengan lampu kerlap-kerlip ungu, yang bila dari dekat seperti kunang-kunang dipupur ke dindingnya. Shou menyukai warna-warni dalam gelap itu sejak jatuh cinta kepada sang penghibur.

Sekarang warna-warni itu buram. Shou buru-buru turun dari motor. Mendorong pintu kaca Firefly, ia menubruk kutilang rambut oranye seperti Tora yang teriak titit copot.

"Enggak apa kok, Mas," seru sang waria sembari membenarkan dada palsunya. "Tubruk saja terus Mas sampai eike gempor! Asal tubrukan Mas jos genjos tepat sasaran dan bisa buat becek akika."

"Astaghfirullah. Aduh. Maaf, permisi."

Shou berlari menerobos kerumunan. Firefly malam ini lebih ramai dari yang biasa. Di kanan-kiri meja-meja bulat ditata mengelilingi panggung utama. Sebagian pengunjung duduk di balik hiasan teralis besi yang menyambung ke panggung pribadi. Banyak waria menari, tetapi hanya satu yang mengunci mata Shou.

Raisyo.

Raisyo, miliknya, ada di panggung sendiri. Bernyanyi lipsing lagu dangdut yang Shou tak terlalu tahu siapa penyanyinya, tetapi sering diputar di radio ibu tetangga. Ia mengenakan baju terusan putih yang agak transparan dengan motif hewan kuda beberapa senti di atas lutut. Pahanya yang sekal meliuk dalam remang, membuat motif kuda pada roknya ikut bergoyang. Penonton bersiul senang.

"Cintamu pindah sana pindah sini. Seperti rumah kontrakan~"

Asma Shou kumat di tempat. Bukan karena asap rokok yang bergelung di sekitarnya, tetapi karena sejak di motor pun ia dilanda cemas luar biasa, berlari dari sudut ke sudut Firefly, demi menemukan pujaannya. Menghela napas berat, Shou bersandar dinding terdekat lorong toilet. Ada pasangan sedang berciuman dan dorong-dorongan di dinding sebelahnya, ia tak peduli.

Raisyo sama sekali tidak merasa sesak. Meski panggungnya dipenuhi dan ia sejak tadi ngesot dan kayang atraktif seperti ladyboy kabaret paling populer di Bangkok. Mata tajam itu menyisir area diskotek dan akhirnya menemukan Shou sedang berdiri menyilang tangan di pojokan.

Ekspresi wajah Raisyo sedikit berubah ketika itu.

Shou membalas tatap, mengepalkan tangan gemetar. Marah, ia mendelik ke arah panggung. Ia mendelik kepada Raisyo yang kelihatan terlalu senang menghibur penonton lelaki lain. Ia mendelik kepada para penonton yang memandangi rok putih Raisyo. Ia masih terus mendelik sampai Raisyo memutuskan untuk mengakhiri nyanyinya. Penonton kecewa. Huu dan yaaah mengudara. Raisyo menuruni panggung dan berjalan ke arah Shou.

Ketika itu, Shou tidak bisa menahan diri.

Tangan Raisyo ditarik. Shou membanting punggung kekasihnya ke dinding lalu menahan tangannya. Raisyo terkesiap. Dan Shou tak peduli banyak mata yang menoleh penasaran, atau suka melihat apa yang sedang terjadi.

Raisyo membuat wajah terkejut yang menawan sekali, tetapi tak bisa menghentikan amarah yang sudah terlanjur mendera Shou.

"Ke mana saja? Katanya mau jemput? Kenapa enggak beri kabar?" Shou berdesis tanpa napas, sebelum sempat Raisyo bertanya.

"Ssh, Akang—" Raisyo berbisik kecil, mencoba menggeliat kecil. "Tenang dulu. Maafkan saya."

"Jawab," pinta Shou tanpa napas, menatap serius. "Aku khawatir sekali!"

"Tenang dulu, Akang. Saya jelaskan. Sekarang Akang duduk dulu. Kita bicara pelan-pelan."

Raisyo mendorong balik. Digenggamnya tangan Shou dan ia tarik ke meja bar. Si bartender, Sihar, ada di sana, tersenyum dan menyambut Shou dengan sapaan genit seperti biasa. "Eee, si mas yang cakrabirawa—cakep banget—datang lagi!"

Masih kesal, Shou jadi mengabaikan Sihar. "Oke, Ra. Jelaskan sekarang."

Ra duduk sambil menekuk kaki. "Firefly hari ini kedatangan tamu orang asing, pemilik saham kelab ini. Penting. Pagi-pagi tadi pintu apartemen saya diketuk sama Yono—si Ishyono—dan minta supaya saya datang lebih sore ke sini untuk ngisi panggung."

"Oke." Shou melipat tangan. "Terus kenapa enggak nelepon."

"Ada insiden. Kejadiannya semalam setelah saya pulang dari tempat Akang. Saya nyetir mobil di pengkolan Blok M. Terus karena ada suatu hal. Di lampu merah saya buru-buru turun dari mobil karena sesuatu—terus—" Raisyo memutar mata sejenak, mencoba mengingat. "—di saat itu kayaknya HP saya jatuh, Kang. Pas sampai ke rumah, sudah enggak ada di kantong lagi."

Tunggu. Shou baru tahu dia punya seseorang kekasih yang—agak ceroboh?

"Sesuatu itu apa?"

"Saya lihat ada anak kucing di tengah jalan. Takut, enggak bisa nyeberang. Banyak mobil. Saya tolong."

Penjelasan barusan agak membuat dada Shou berdebar. Marahnya agak mereda.

"Terus? HP-nya sekarang hilang?"

Raisyo bertutur lembut, "Iya, makanya saya enggak bisa hubungi Akang." Ia letakkan tangannya di atas paha Shou dan meremasnya. "Saya juga terlalu sibuk di Firefly. Sekali lagi saya mohon maaf sudah mengecewakan Akang. Saya senang Akang mau datang."

Entah sejak kapan, emosi Shou surut. Yang tersisa hanya bengeknya sedikit. Sihar membuat segelas air putih yang langsung Shou minum habis.

Setelah agak tenang. Shou menarik napas panjang dan mengangkat tangannya untuk menangkup pipi Raisyo. Pipi itu agak hangat dan halus karena diberi bedak padat. Sihar di balik meja bar sedang mengelap gelas kaca, diam-diam mengintip mereka sambil senyum.

"Aku khawatir banget. Maaf tadi aku marah," ujar Shou.

Raisyo terkekeh, meremas lembut punggung tangan Shou di pipi. "Saya suka kok digituin, bagian didorong ke dinding tadi. Sering-sering saja, Akang."

"Tapi—" Shou menyipit tegas. "Tolong, Ra. Tolong janji satu hal."

"Ya?"

"Jangan bikin khawatir begini lagi. Kalau lain kali kamu sibuk, tolong, dengan cara apa pun, kabari aku."

Raisyo mengangguk. "Saya janji, Akang. Dan maaf sudah bikin Akang panik. Mau saya bikin lebih panik lagi?"

"Apa—?"

"Saya sudah nyiapin satu lagu malam ini untuk Akang. Tonton saya goyang ya." Raisyo menggelincir turun dari kursi bar. Agak terangkat sedikit roknya barusan. Bikin darah agak panas dingin.

"Aduh duh, mesra amir sih ciinn? Makin rapat ajijah, serapat keperawanan aku," komentar Sihar.

Shou berdeham. "Maaf, masa sih mesra?"

"Emmmm, dari dorong-dorongan ke dinding sampai pegang-pegang mukadima. Nentes dari atas lama-lama turun pegang-pegang bawah."

Shou cuma bisa cengar-cengir, selagi Raisyo kembali ke panggung untuk mempersiapkan diri.

Di atas panggung itu, Raisyo menggenggam mik seukuran jagung andalannya, yang sedikit ia kocok perlahan seperti ingin meminyakinya. Bibirnya mendekati lubang mik dengan sensual. Shou nyaris mengira Raisyo hendak menjilatinya.

"Lagu yang mau saya bawa goyang berikutnya spesial untuk Akang yang lagi duduk di sana," sang penghibur primadona itu mengumumkan.

Shou terkejut ketika Raisyo berkedip ke arahnya. Di saat yang sama, banyak penonton lelaki menoleh ke arah bar. Mereka melihat Sihar pada awalnya, kemudian Shou. Ini kali pertama Shou merasakan sejumlah mata yang memandang iri kepadanya.

Intro lagu dimulai. Pinggul Raisyo bergoyang ke kanan, ke kiri. Jagung di tangannya ia gosok-gosok selagi bernyanyi lipsing. "Apa salah dan dosaku, Sayang. Cinta suciku kau buang-buang. Lihat jurus yang kan kuberikan." Raisyo memutar bokongnya, bersamaan dengan itu, rok motif kudanya seperti terbang. "Jaran goyang, jaran goyang."

Bahkan Sihar ikut joget di balik meja bar.

Shou terus memandang. Lekat-lekat. Setiap gerik Raisyo. Mulai dari bibir hingga goyangan pinggulnya.

Selama Raisyo bernyanyi, entah sejak kapan udara Firefly makin pengap panas. Goyangan Raisyo, meski tak bisa disebut seluwes wanita sungguhan, tetapi bisa membuat banyak orang bersiul menggoda antara suka atau geli, sekaligus membuat peluh meluncur. Kelamaan dilihat, cara Raisyo memutar bokong seperti itu membuatmu ingin melepaskan satu demi satu kancing kemeja, gerah. Jika tak bisa menahan diri, rasanya ingin memanjat panggung itu sekarang juga.

Mata mereka pun bertemu. Sambil terus bergoyang, Raisyo membalas pandangan Shou lebih lekat. Seperti tidak ada jarak di antara mereka.

Shou ketika itu tak sadar. Ada seringai tipis yang muncul di wajahnya sendiri. Ia menikmati semua ini. Sebab Raisyo hanya menatap kepadanya, bukan kepada penonton gemas penasaran di hadapannya. Raisyo yang tertarik dengan seringai itu pun menjadi tak bisa berpaling. Meski senyum seringai tersebut menghilang sedetik kemudian, berganti menjadi senyum lembut Shouki Al Zaidan yang polos seperti biasa.

Tentu tak mudah bagi Shou menahan dirinya.

Sambil menatap kepada kekasihnya, Raisyo menggesekkan bibirnya ke pucuk mik. Berulang-ulang seperti menggoda. Dan ketika lagu mencapai reff, Raisyo memberi sedikit jilatan, lalu bernyanyi. "Dan dudidam aku padamu. I love you, I can't stop loving you oh darling. Jaran goyang menunggumu."

Di dalam pikiran Shou saat ini—agak sulit dijelaskan. Yang pasti ada kuda. Kuda yang binal dan bergoyang, persis seperti motif siluet kuda di rak Raisyo. Yang segera ia bayangkan keliman rok itu mengusap-usap di atas pangkuannya. Panas, Shou terus mengunci mata mereka. Bibirnya terbuka perlahan, bicara tanpa suara. "Cepat. Kemari."

Raisyo menangkap dengan jelas pesan itu dan menyeringai. Sang penghibur bersiap-siap turun panggung mendekatinya. Dari cara Raisyo memandang, bisa ditebak ia pun tak sabar ingin duduk di atas pangkuan lelaki yang duduk di bar. Sekadar beristirahat atau bergoyang sampai sekujur tubuh bergetar lelah.

Namun, tiba-tiba saja seorang pria tambun naik ke panggung. Bapak-bapak. Rambut agak memutih. Mungkin sudah usia 50. Tahu-tahu panggung waria ini berubah menjadi pentas dangdut koplo, dengan segepok uang puluhan ribu di tangan, ia melakukan sawer. Melihat pria itu, Raisyo tak jadi turun panggung.

Penonton tertawa, sejenak melupakan rasa panas yang melingkupi tungkai mereka.

Sementara Shou merengut.

Raisyo berputar, bergoyang, dan bernyanyi. Lembaran uang sawer ditumpahkan dari kepalanya. Lembaran uang itu menempel pada kulit Raisyo yang basah berkeringat. Menempel di pundak, paha. Kru Firefly memunguti uang-uang yang jatuh.

Shou melipat tangan, menunggu sampai Raisyo selesai.

Kira-kira tiga menit kemudian, Raisyo turun panggung. Sambil tersenyum melewati sekelompok penonton, ia berjalan ke bar dan duduk di samping Shou. Sihar memberikannya segelas koktail berwarna suram.

Shou menatap dari samping. Kulit Raisyo mengilat, hangat. Ada selembar uang yang menempel di punggung belakangnya. Shou mengambil uang itu.

"Ah?" Raisyo terkekeh. "Terima kasih, Akang."

Shou tidak terkekeh, diam saja. Ia minum air putih yang Sihar sajikan.

Beberapa menit kemudian, saling diam, Raisyo turun dari kursi. Shou mengira Raisyo hendak kembali ke panggung. Tidak. Raisyo tiba-tiba saja naik ke atas pangkuan Shou.

Shou beku. Kaku sejadi-jadinya.

"Ra—banyak orang di sana. Banyak yang ngelihat."

"Ya, terus?" Jemari Raisyo mengelus bibir kekasihnya. "Saya lagi bantu Akang."

"Bantu?"

"Bantu nutupin Akang yang keras di bawah sana," ujar Raisyo dengan suara terjantannya, sembari sedikit menggesekkan paha.

Di balik meja bar, tampak Sihar tertawa-tawa tanpa suara. Mengintip ke arah pasangan tersebut sambil menutup mulutnya.

Shou terkekeh, meremas pinggang Raisyo dan menurunkannya lembut dari pangkuan. "Enggak keras kok."

"Baru separuh keras? Apa saya kurang seksi?"

"Sangat seksi," jawab Shou. "Tapi lebih seksi lagi kalau hanya saya yang lihat."

Raisyo tertawa, masih dengan suara jantan, meminum koktailnya.

Tiba-tiba Shou menarik kursi Raisyo mendekat. Cukup dekat, hingga kaki mereka saling menempel dan napas mereka terasa hangat di depan wajah masing-masing. Pinggang Raisyo yang berkorset Shou rengkuh erat.

"Ra, yang tadi kasih uang itu ... siapa?"

"Hm? Oh, itu pelanggan tetap sekaligus salah satu pemilik saham klub ini. Dengar-dengar raja bisnis hiburan malam lho, Akang."

Shou menoleh, tepat ke arah bapak-bapak usia 50 yang sejak tadi masih terus mencuri pandang ke arah Raisyo. Bapak ini—

"Dia mengincarmu ya?"

"Hmm. Beliau sering ngontak Mamih di sini. Mamih tuh induk semang di klub sini. Ada yang namanya Mamih yang suka koordinir pelanggan tetap—katanya ingin BO—booking out saya."

"Jangan dekat-dekat dengan dia." Shou meremas pinggang kekasihnya. "Jangan. Dekat-dekat."

Meski berpoles riasan wanita, masih terlihat senyum seringai tampan Pak Rayyan di sana. "Tenang saja, Akang. Saya enggak bisa di-BO. Siapa pun yang mau, pasti saya tolak. Walau orang penting sekali pun," kata Raisyo dengan suara lelaki.

Sihar tergelak. "Duileh, Massss, cembokur yah? Hihihi."

Shou tak mengelak. "Iya, saya memang cemburu. Ra, tolong jelaskan ke aku, kenapa kamu mau kerja di tempat beginian?"

Selagi Sihar bersiul senang, Raisyo menyipitkan mata. "Hmm ... Mau pulang saja? Lewat pintu belakang saja ya keluarnya. Nanti diikutin Bapak tadi kalau lewat depan." Ia segera turun dari kursi. "Yuk."

Tangan Shou ditarik menuju arah backstage. Ada koridor gelap di sana dengan gorden rumbai penuh manik emas dan perak. Ada wangi parfum menyebar sepanjang jalan. Sepanjang jalan, Shou berpapasan dengan waria-waria genit yang baru saja berdandan dengan silikon palsu dan sepatu hak berketuk-ketuk mewah. Raisyo tersenyum kepada mereka semua, sambil menggandeng Shou lebih dekat. Shou memerhatikan punggung bidang Raisyo dari belakang. Mungkin begini penampakan nyata seorang predator yang sedang menggaet mangsa dan melindunginya dari predator lain. Jangan sentuh, dia milikku.

Mereka tiba di sebuah ruang makeup. Hanya beberapa meja rias yang berdiri dengan bohlam-bohlam kecil. Di sini para waria melakukan riasan transformasi cantik. Diapit di antaranya berdiri gantungan baju dan rak berisi sepatu dan pakaian panggung.

"Saya mau ganti baju dulu," kata Raisyo, berjalan ke balik sekat. "Akang tunggu di sana."

Bingung menunggu di mana, Shou memilih duduk di kursi rias. Selagi berdiam menghitung jumlah bedak pupur di atas meja, tatapan mata Shou sekali lagi jatuh ke arah sekat yang menyembunyikan tubuh Raisyo.

Terlihat siluet badan Raisyo di sana.

Oleh sebab dibentuk dengan lekuk korset dan sumpalan di sana-sani, badan tersebut terlihat indah. Akan tetapi, masih bisa terlihat dengan jelas figur lelaki tampan di sana.

Meski, ya—meski, terlihat jelas pula penampakan bokong yang bulat dan penuh. Itu disumpal juga apa tidak ya?

Shou telan ludah, buang muka. Tahan diri.

"Akang?" Raisyo memanggil. "Bantuin saya copot bra dan korset, bisa?"

"Hah?!" Shou tersentak.

Siluet Ra diam saja di sana, menunggunya datang.

"O-Oke."

Perlahan ia melangkah ke balik sekat. Ingin memejamkan mata, tetapi salah. Ia harus tahu, kan, di mana letak bra dan korsetnya? Mana bisa asal merem dan meraba. Jadi Shou memberanikan diri untuk melihat.

Sebentuk tubuh lelaki yang indah sedang memunggunginya, masih berbalut korset, dengan dua belakang bokong yang penuh tampak di sana, terlihat seperti menungging ke atas sebab Raisyo mengenakan sepatu hak tinggi. Ternyata tidak disumpal.

"Mana yang dicopot—?" tanya Shou sambil khilaf, melihat ke bawah.

"Bra, Kang. Tinggal dilepas saja kaitannya."

"O-oh." Ia langsung menoleh ke arah punggung. "Saya belum pernah—"

"Saya tahu Akang pasti bisa."

Shou mencoba mengutak-atik. Lepas kaitannya. Lepas semuanya. Satu demi satu— "Sudah?"

Ia menyaksikan korset tersebut melorot, menyingkap tubuh telanjang Raisyo di baliknya. Terlihat bekas keketatan di sana, karet yang bergaris dan menjeplak kulit.

Ra berbalik. Hal pertama yang Shou lihat darinya adalah senyum yang menawan. Lalu dadanya yang telanjang, cukup bidang dan sedikit berotot, dengan puting yang menonjol keras.

Telan ludah, Shou spontan melirik ke samping.

Ra mengenakan dengan cepat kemeja kasual, jeans, dan jaket hitam. "Makasih, Akang. Kita pulang sekarang."

Shou mengerjap. "Kamu—masih pakai wig dan makeup?"

"Iya, pulangnya begini saja. Nanti saya hapus makeup di rumah." Ra berjalan keluar pintu sambil menenteng sepatu sneaker. Agak terburu-buru, ia menuntun Shou ke arah koridor gelap berikutnya, menuju pintu keluar dari gedung belakang klub. Dari sini, musik terdengar cukup samar.

Shou menggandeng tangan Ra setelah mereka berhasil keluar. "Kamu bawa mobil?"

"Iya, saya naik mobil, tapi kita jangan pulang naik mobil."

"Kenapa? Aku mau ambil motor dulu."

"Jangan naik motor juga." Raisyo menariknya. "Kita pulang jalan kaki. Hindari parkiran untuk sementara waktu. Akang liat, itu banyak bawahannya Bapak tadi. Saya enggak mau ban motor Akang dikempisin kayak di film-film. Saya juga enggak mau mobil saya ditandai. Besok datang ke sini lagi, aman kok di parkiran sini."

"Ah ... baiklah."

Mereka memutari gang-gang kecil, melintasi jalur perumahan penduduk yang rapat sesak tanpa napas. Berjalan agak cukup jauh sampai ruko tempat berkumpulnya bisnis klub malam tak lagi tampak. Melewati pedagang angkringan di luar gang, mereka menyeberang jalan besar dan masuk areal perumahan warga.

Sangat sepi di sana.

Hanya ada beberapa orang lalu lalang dengan sepeda motor. Ra dan Shou berjalan berdampingan, sesekali berpegangan tangan. Dilihat oleh orang biasa, mereka akan disangka pasangan straight sebab Ra masih mengenakan wig.

"Oke, di sini aman," ucap Ra. "Kosan Akang enggak terlalu jauh, kan? Kita pisah di sini? Saya bisa pesan taksi online dari sini."

"Iya, enggak begitu jauh kok." Shou menahan pergelangan tangan Ra. "Kamu enggak apa sendiri?"

Terkekeh, Ra bicara dengan suara yang sangat lelaki. "Saya enggak apa-apa sama sekali."

"Baiklah, Pak. Atau mau nginap di kosan saya? Bapak bisa pulang besok pagi. Biar lebih aman."

Ra mengerjap. "Kamu yang enggak aman. Nanti terjadi hal-hal yang tidak inginkan."

Shou nyengir. "Lho? Kan kosan wilayah saya. Di kamar saya sudah pasti aman."

"Ya, tapi nanti saya enggak bisa nahan diri di sana. Kamu enggak takut saya pegang-pegang?" canda Ra.

"Kenapa harus takut?" Shou tertawa. "Jangan-jangan Bapak yang takut."

Tersenyum, Ra berjalan mendekat. Kini mereka berdiri dekat. Ra sudah tidak lagi mengenakan sepatu hak tinggi, dan ketika berdiri sejajar seperti ini, tinggi mereka adalah setara. Mungkin Shou lebih tinggi antara dua atau tiga senti, hampir tidak terlihat.

Dan Shou berpikir bahwa ia semakin lebih tinggi dari Ra, untuk beberapa tahun ke depan.

"Shou, terima kasih sudah datang malam ini dan khawatir sama saya."

"Sama-sama. Ingat, jangan bikin khawatir lagi."

"Saya janji."

Sayang, Shou menepuk ubun kepala Ra. Sekejap kemudian ia tersadar dan langsung menarik tangannya."

"M-Maaf ... Barusan enggak sopan."

Ra menarik tangan Shou dan menggenggamnya. "Enggak apa. Silakan saja buat diri Akang nyaman. Kita sudah jadian, kan?"

"Yeah, sudah."

"Kalau ada yang Akang mau dari saya, bilang sekarang. Pasti langsung saya berikan. Janji untuk enggak bikin khawatir? Sudah saya berikan. Izin untuk menepuk ubun kepala saya juga sudah." Ra tertawa.

"Kalau minta cium?" Shou menyeringai, sepenuhnya bercanda.

Ra berhenti, menatapnya serius. "Yakin?"

Terkekeh, Shou meneruskan berjalan di bawah lampu jalan. Namun, Ra mendekat dari belakang. Diputarnya tubuh Shou. Mereka saling tatap dalam jarak yang begitu rapat.

Shou berhenti tertawa sedetik kemudian.

Ra maju, dengan embusan napas terlembut, dikecupnya bibir Shou.

Kecupan yang lembut. Hanya sekecup pada mulanya, kemudian berlanjut menjadi kecupan dan gesekan antara kedua bibir. Bibir Ra hangat, lembut, memberikan sedikit kuluman yang menghangatkan pipi dan sekujur tubuh.

Shou tak bergerak.

Dari ujung anak rambut, ke ujung kuku, kaku semuanya.

Ia diam di sana.

Melihat Shou diam, Ra menghentikan ciuman. Ia menarik wajahnya perlahan, memandang lekat wajah Shou yang kaku dengan bibir sedikit membuka. Syok.

Ia merekam baik-baik raut wajah itu, sambil tersenyum ganteng.

Lalu wajah Ra mendekat lagi, dengan tangan yang menangkup lembut pipi Shou. Ia berbisik, "Masih kurang?"

Shou ternganga, mundur perlahan.

Ra menahan. Tangan Shou ditariknya dan ia letakkan pada pinggang. "Pegang saya di sini. Remas semau Akang."

Kaku, Shou menyentuh, meremas pinggang itu.

Maju lagi, Ra memberikan kecupan-kecupan berikutnya. Kecupan yang menjadi ciuman hangat. Yang kelamaan membuat mata Shou kian mengatup.

Dan saraf-saraf di dalam tubuhnya mulai belajar mencicipi kenikmatan dari ciuman Ra.

Shou menikmati, dengan kaku namun teratur, mulai membalas setiap kuluman bibir.

Ra menggesekkan bibirnya lembut, tepat ketika Shou memiringkan kepala. Maju ke depan, saling mendesak. Entah punggung siapa yang menyentuh tiang lampu terlebih dahulu. Di bawah lampu jalan ini mereka menikmati ciuman yang sensual di tengah perumahan sepi.

Pada menit berikutnya Shou kembali mendapat panas. Ditariknya tubuh Ra makin dekat. Menempel sempurna. Pinggang ia rengkuh dengan satu tangan, yang terasa begitu sesuai dengannya.

Yang membuat Shou semakin nikmat, adalah ketika ia mendengar Ra sedikit terkesiap di tengah ciuman. Dadanya menempel pada Shou. Seketika, Shou teringat akan puting Ra yang menonjol. Sekarang pun terasa masih keras.

Tak sadar, Shou meremas pinggang Ra seperti lapar.

Saat didengarnya Ra terkesiap lagi, remasannya melonggar. Ciuman pun melonggar. Shou perlahan membuka mata, dan melihat Ra sedang tersenyum di hadapannya.

Jemari naik, mengusap saliva di pinggir bibir Shou.

"Ah." Shou terkekeh canggung. "Thanks."

"Kita ke kosan Akang sekarang?"

Apa yang terjadi selanjutnya adalah, Shou berdebar sepanjang jalan. Sesampainya di kosan, debaran itu meningkat. Shou memutar kunci dan menekan daun pintu dengan tangan berkeringat dingin. Ra langsung duduk di ranjangnya yang masih berselimut kumal, selagi Shou membuatkan minuman jeruk instan.

"Silakan, Pak. Maaf, bukan minuman mahal yang seperti kamu belikan."

Ra menyeringai. "Makanya lain kali terima apa yang saya beri."

Shou duduk di samping Ra, sedikit menggosok tangannya yang dilanda gugup entah karena apa. Di sudut kamar, tampak kucingnya, Kimi, sedang tidur di samping meja belajar.

"Saya tidur di sini?" tanya Ra.

Shou mengangguk. "Iya, di sini. Saya tidur pakai tikar di lantai saja."

Ra menggeleng. "Akang di ranjang."

"Tapi kamu tamunya."

"Akang harus di ranjang," pinta Ra. "Saya juga di ranjang."

"Ah, baiklah." Shou tersenyum kecil. "Oh ya, aku belum ngucapin terima kasih untuk malam ini. untuk—semuanya, hiburan di panggung, dan—ehem."

"Saya juga terima kasih." Ra menepuk pucuk kepala Shou, dan mengacak-acak rambutnya.

Paha mereka saling sentuh. Shou menoleh, dan melihat Ra tersenyum, rasanya ia sudah mulai kesulitan menahan saraf gugup yang mengalir di bawah kulitnya sejak berjalan di kompleks perumahan tadi. Perlahan Shou mendekatkan wajahnya lagi kepada Ra—

"Akang tidur jam berapa?" tanya Ra, tepat sebelum Shou mengeklaim bibirnya.

"Ah." Shou mundur lagi. "Maaf. Saya tidur ... sebentar lagi."

Tangan nakal Ra datang, merayapi paha Shou. "Jangan menjauh. Mau posisi yang lebih enak untuk ngobrol di tempat tidur?"

"Posisi apa?"

"Posisi—ngobrol," terang Ra. "Saya di atas, atau Akang di atas."

Shou memiringkan kepala, bingung. "Ngobrol bagaimana ada di atas dan di bawah?"

Ra tertawa. "Misalnya pangku-pangkuan. Sama pacar yang dulu bagaimana?"

Shou bergeleng. "Belum pernah seintim itu. Paling hanya jalan, nonton, makan. Ciuman sesekali."

"Oh. Baiklah Akang." Ra sedikit menggeser tubuhnya. "Gimana nyamannya Akang saja."

Shou tidak membiarkan tubuh itu bergeser cukup banyak. Ia maju, jemarinya sudah mengelus pipi Ra, secara tiba-tiba.

Usapan yang cukup halus, dan membuat Ra terdiam menoleh.

Jari Shou turun ke rahang. Terus mengelus ke leher. Menuruni selangka. Memutari leher, dan bersandar pada tengkuk.

Ra menyipit saat Shou menariknya mendekat.

Bibir mereka saling bercumbu lagi. Tak seperti di tepi jalan perumahan tadi. Kali ini ada sesuatu yang panas, Shou rasakan mengalir dari perut bawahnya, naik-naik ke puncak. Seperti merayap di dalam darah dan membuatnya ingin impulsif melumat bibir yang disukainya.

Ciuman Shou lembut pada awalnya, kemudian ia mulai berani mengulum bibir bawah Ra sedikit lebih kuat, dan menariknya.

Ra meremas pundak Shou. Mengajari cara berciuman lewat sentuhan bibir dan lumatannya. Didorongnya Shou rebah di ranjang, dan ia menindih di atasnya. Ciuman itu berlanjut sedikit lebih panas. Pada posisinya, Shou merasakan Ra sedang menekannya dari atas. Baik dada maupun kedua kakinya.

Shou menyentuh kaitan di belakang rambut palsu Ra, melonggarkannya, selagi mereka terus berciuman. Tangan lainnya menyentuh sisi tubuh Ra, naik dan turun, meremas dan mengusap sepanjang paha. Inilah paha berstoking jaring yang pernah ia lihat menggodanya dari video live di Facebook. Dada Shou berdebar sangat keras.

Ketika itu Ra menekuk lutut, menyentuh selangkangan Shou.

Lalu berhenti.

Ra melepaskan ciumannya, dan tertunduk. Shou terdiam mengatur napas di bawahnya.

"Akang ... keras sekali."

Shou terdiam, menatap selangkangan sendiri, lalu menatap Ra lagi. Wajahnya hangat sepenuhnya. "Iya, Pak, keras. Maaf, enggak bermaksud keras."

Ra tersenyum pengertian persis seperti ketika ia mengajar di kelas. Ia bawa jarinya menyusuri paha Shou, bergerak sangat lambat tetapi pasti, menuju pangkal paha. Tempat di mana terdapat retsleting yang menyembunyikan bagian tubuh terkeras.

"Tu-tunggu, Pak—Ra. Sebentar." Shou menangkap tangan itu tiba-tiba.

Ra mengernyit. "Kenapa?"

"Saya ... belum isya."

"Ya?"

"Salat," bisik Shou. "Saya belum salat isya."

Hening.

Perlahan-lahan, Shou turun ranjang dan menyeret kaki ke kamar mandi. Agak menahan rona di pipi, ia berkata. "Saya ... mau salat dulu ya, Pak. Tolong tunggu sebentar. Setelah itu baru ..."

Pintu kamar mandi tertutup sopan.



Instagram: @ ra_shou (IG khusus pembaca Rashoura, DM dulu agar di-confirm, ya)

PS: Saya agak kaget sih...Kenapa bisa banyak yang ngarep Ra dan Shou kissing di part ini? Sebenarnya kalian enggak perlu rikues hahaha...bab ini sudah ditulis sejak berminggu-minggu yang lalu bahkan sebelum kalian rikues kissing-kissing dan...ta da! Ternyata pembaca Gebetanku Banci banyak yang ketularan jadi cenayang kayak Arian :D. 

Continue Reading

You'll Also Like

MARITARE By Rosesseries

General Fiction

4.5M 95.4K 27
Alex, CEO berusia 31 tahun, tiba-tiba dijodohkan oleh sang kakek dengan Rosana, seorang pelajar dengan latar belakang yang berbeda jauh darinya. . ...
102K 4.4K 26
Cinta itu bisa datang darimana saja dan pada siapa, kita tidak akan bisa mengontrol pada siapa hati ini akan jatuh terkadang kita bertemu dengan cint...
180K 34K 18
Hana bukan geisha di okiya itu. Namun, kecantikannya melebihi para geisha di mana pun berada. Banyak lelaki yang jatuh dan tunduk di kakinya, hanya u...
24.5K 3.3K 15
❝𝒀𝒐𝒖 𝒅𝒐𝒏'𝒕 𝒎𝒂𝒓𝒓𝒚 𝒔𝒐𝒎𝒆𝒐𝒏𝒆 𝒚𝒐𝒖 𝒄𝒂𝒏 𝒍𝒊𝒗𝒆 𝒘𝒊𝒕𝒉. 𝒀𝒐𝒖 𝒎𝒂𝒓𝒓𝒚 𝒕𝒉𝒆 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒐𝒏 𝒘𝒉𝒐 𝒚𝒐𝒖 𝒄𝒂𝒏𝒏𝒐𝒕 𝒍𝒊𝒗�...