SIXTY FOURTH - Vision

650 133 13
                                    

Pernah dengar tentang lorong waktu? Ya, sepertinya memang tidak pernah masuk akal.

Lorong waktu hanya lah karangan orang-orang berfantasi liar yang ingin menjelajah waktu, entah itu untuk memperbaiki masa lalu atau ke masa depan untuk mengintip apa yang akan terjadi pada dirinya di sana.

Tapi, percaya lah, Jaerin saat ini tengah berada di lorong tersebut. Lorong tak berujung yang kadang terlihat gelap kadang pula sangat terang. Membuat siapa pun yang berada di sana dibuat pusing.

Dan tepat di suatu masa, lorong itu seolah menamparnya keluar ke sebuah ujung sinar yang amat terang. Hingga saat ini, ia sedang berada di saat Mark masih duduk di kelas 2 SMA. Dan tempatnya mendarat sangat familier baginya.

Kuil.

Ya, saat ini, jiwanya tengah terombang-ambing di masa di mana ia bahkan belum mengenal Mark.

Gadis itu melihat sebuah mobil berhenti di depan kuil. Mobil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sesaat kemudian, seorang pria dewasa turun dari mobil dan berjalan tergesa-gesa melewati tubuh hologramnya dan masuk ke dalam kuil. Penasaran siapa pria itu, ia kemudian mengikuti langkah lebarnya.

Penampakan dalam kuil sangat rapi, sangat terlihat seperti sebuah gereja normal, tetapi memiliki dominan merah. Dindingnya pun tidak mengelupas seperti saat terakhir ia melihatnya. Ia terus mengikuti langkah pria itu ke hadapan patung pria bertanduk.

Pria itu nampak berlutut di hadapan sang patung sebelum kemudian terisak.

"Jangan, kumohon. Jangan ambil anakku. Dia adalah anak satu-satunya yang kumiliki. Mark adalah satu-satunya keluarga yang kupunya. Kumohon–"

Jaerin menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia baru sadar jika pria itu adalah ayah Mark. Ia menatap bagaimana wajah tua itu berkerut sedih dan terbasahi oleh air mata. Kedua matanya mengarah kepada patung yang masih terdiam di tempatnya itu.

"Kau sudah berjanji, Lee. Kau korbankan istrimu dan anakmu. Sekarang sudah waktunya bagi dia untuk kau korbankan."

Sebuah suara menggelegar memenuhi ruangan. Jaerin tak pernah tahu dari mana asal suara itu. Yang pasti suara itu sungguh mengerikan. Mungkin adalah suara yang terseram yang pernah Jaerin dengar selama hidupnya.

"Tidak. Aku salah. Aku tidak akan pernah mengorbankan anakku sendiri."

"Kau sudah berjanji, Lee!"

"Maafkan saya, Yang Mulia. Maafkan saya." Posisi tubuh ayah Mark semakin merunduk. Ujung hidungnya bahkan sudah menyentuh lantai dingin kuil tersebut.

"Sebagai gantinya, aku yang akan menjadi korbanmu."

"Ku beri dua pilihan. Mark menjadi korban dan kau akan selamat atau kau menjadi korban dengan Mark sebagai penyebab kematianmu."

Baik ayah Mark dan Jaerin dibuat terkejut dengan pilihan itu. Yang benar saja? Dari kedua pilihan itu tidak ada yang menguntungkan bagi ayah Mark. Lagipula, apa yang diharapkan dari sebuah perjanjian dengan iblis selain kerugian?

"Selama sisa hidupnya dia akan menderita. Dia akan menanggung sumpahmu selama hidupnya dan pada akhirnya pun dia tetap akan mati," lanjut suara itu saat ayah Mark terlihat bangkit dari posisinya.

"I–ini tidak sebanding!"

Suara tak kasat mata itu tertawa keras. Sungguh, bahkan suara guntur pun terdengar lebih bersahabat jika dibandingkan dengan tawa menyeramkan ini.

"Memangnya apa yang kau harapkan? Sumpah adalah sumpah, Lee."

Ayah Mark mengeraskan rahangnya. Dari raut wajahnya, Jaerin tahu jika pria itu sudah tak lagi menaruh percaya pada sang iblis. Dengan cepat, pria itu berlari meninggalkan kuil diikuti oleh Jaerin di belakangnya.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Where stories live. Discover now