FIFTY NINTH - Cursed

677 134 3
                                    

Jaerin terus mengamati Mark yang bergerak resah menghadap Pastor Samuel. Sejak awal ia tahu Mark belum siap untuk mendengarkan pendapat Pastor Samuel, ia terpaksa. Tetapi, perkataan Taeyong ada benarnya. Tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari Mark. Setidaknya pria itu tahu apa yang terjadi pada dirinya sebenarnya.

Sebenarnya, tidak hanya Jaerin yang merasakan keresahan Mark. Semuanya tahu yang dirasakan lelaki itu. Bahkan Haechan terlihat beberapa kali menepuk pundak Mark pelan untuk meyakinkan hatinya.

"Kau pasti orang yang sangat peduli dengan orang lain, Mark. Kau sangat tulus."

Pastor Samuel memulai perbincangan mereka setelah sebelumnya terus menutup matanya. Entah apa yang dilakukannya, tetapi kini mata Pastor Samuel tampak lebih yakin setelah beberapa waktu memejamkan mata.

Kedua mata Mark membulat mendengar pernyataan Pastor Samuel. "Ya?"

Masalahnya ia tak pernah sekali pun berpikir bahwa ia adalah orang yang seperti Pastor Samuel katakan. Mungkin dirinya hanya tidak terlalu peduli pada dirinya sendiri.

Senyum bersahaja terpatri di wajah pastor muda itu. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menatap satu persatu wajah tegang Jaerin, Taeyong, Jaehyun, dan Haechan. Ia bisa melihat mereka sangat menyayangi Mark dan selalu siap membantu Mark apapun yang terjadi.

Tangannya bertaut di atas meja dan menatap teduh ke arah Mark yang haus akan penjelasan darinya.

"Di kasus-kasus sebelumnya, belum pernah aku melihat orang sekuat Mark. Kebanyakan saat jiwa mereka sudah dikuasai oleh iblis, mereka cenderung akan lebih pendiam. Tetapi, semua ketulusan dalam dirimu membuatmu sulit untuk dikuasai," jelasnya.

Mark cukup terkejut dengan penjelasan itu. Ia bukan lah seorang yang beragama seperti Jaehyun atau Haechan. Ia juga bukan orang pengertian seperti Taeyong dan penyayang seperti Jaerin.

Ia menoleh ke belakang, tempat di mana Jaerin, Taeyong, Jaehyun, dan Haechan berdiri.

Napasnya tercekat saat melihat senyuman masing-masing dari mereka. Jika ia tak sadar ia berada di tempat umum, mungkin ia sudah menangis haru. Yang bisa ia lakukan kini hanyalah mencengkeram kuat tangan kursi yang ia duduki.

Ya, ia punya orang-orang hebat seperti mereka di sampingnya. Mungkin itu juga menjadi salah satu faktor ia selalu selamat.

Pastor Samuel berdeham pelan seraya menarik kursinya lebih mendekat ke arah meja yang memisahkannya dengan Mark. "Kita mulai darimana, ya?" gumamnya seraya menerawang.

Mark memutar tubuhnya kembali menghadap sang pastor. Masih ada pertanyaan yang belum Pastor Samuel jawab mengenai 'teman-teman'nya. "Pastor, Anda belum menjawab pertanyaan saya tadi."

"Ah, soal teman-temanmu itu?" Pastor Samuel mengambil napas sebanyak-banyaknya sebelum kemudian berkata, "Sebelumnya, aku perlu mengatakan ini. Aku bukan Tuhan yang mengerti segalanya. Aku hanyalah orang biasa yang kebetulan diberi kemampuan lebih."

Mark mengangguk sangat cepat. Melebihi apapun, ia sangat penasaran dengan jati diri 'teman-teman'nya itu. Ia juga yakin orang-orang di belakangnya juga sangat penasaran.

"Tiga 'teman'-mu itu dahulu memiliki cerita yang hampir sama denganmu. Mereka dikorbankan dan kini jiwa mereka terjebak. Kini selamanya jiwa mereka adalah penyembah iblis."

Tubuh Mark melemas. Punggungnya menabrak sandaran kursi cukup keras. Semua yang abu-abu di kepalanya mulai jelas. Sebuah benang merah telah ditarik dan membantunya melihat masalahnya sendiri dengan jelas. Namun, ia juga tak menyangkal jika kenyataan yang ia terima juga cukup mengerikan.

Dari situ, ia dapat menyimpulkan jika sewaktu-waktu jiwanya bisa jadi akan seperti jiwa mereka. Terjebak dan menyembah iblis.

"Apa jika Mark dikorbankan, jiwanya juga akan sama seperti mereka?" cicit Haechan dengan suara tertahan. Ia tak ingin siapa pun mendengarnya dan berpikiran sepertinya.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Where stories live. Discover now