SIXTH - Insident

1.3K 207 9
                                    

Pikiran Jaerin masih mengarah kepada Mark. Entah mengapa, ia merasa jika Mark sangat membutuhkannya meskipun dirinya belum tahu pasti ia sanggup atau tidak. Yang pasti, kini ia mulai memikirkan lagi keputusan finalnya.

Ketukan ringan yang ditimbulkan oleh jemari seseorang yang beradu dengan meja kerjanya membuat Jaerin mendongak. Seorang pria tegap dengan wajah tegas itu nampak tersenyum tipis kepadanya. Pria itu terlihat semakin berwibawa dengan kemeja maroon yang memeluk tubuh kekarnya.

Dia lah Johnny Seo, sang direktur utama.

"Jaerin-ssi, mintakan kopian laporan rapat tadi pada Jungwoo," pintanya tanpa mengindahkan tatapan kosong Jaerin. Pria itu tahu jika sedari tadi sekretarisnya itu melamun. Dan ia tahu gadis itu membutuhkan waktu cukup lama untuk mengembalikan kesadarannya.

Dengan tergesa, Jaerin bangkit dari duduknya dan menunduk dalam. "Baik, Direktur Seo," ujarnya seraya meringis. Ia cukup malu saat ini.

Johnny adalah pria yang sangat sabar mengadapi kepribadian Jaerin. Toh, yang ia butuhkan dari Jaerin adalah keprofesionalitasannya. Seraya menepuk pelan meja Jaerin sekali, ia berjalan menuju ke ruangannya.

Jaerin menghela napas. Bisa-bisanya ia tertangkap basah sedang melamun di depan atasannya sendiri. Yeah, walaupun ini bukan yang pertama kalinya, ia tetap saja merasa malu. Bahkan Johnny pernah memergokinya tengah berbicara dengan Sherly. Tentu saja yang terlihat di mata Johnny hanyalah sosok Jaerin yang tengah berteriak-teriak sendiri tanpa kejelasan.

Ia terkadang membenci kenyataan bahwa dia adalah orang indigo.

Dengan wajah tertekuk, Jaerin bangkit dari duduknya. Merapikan kembali roknya yang sama sekali tak kusut sebelum melangkah meninggalkan ruangannya. Namun, mendadak ia harus kembali terlonjak ketika wajah Sherly tiba-tiba muncul di depannya.

"Hey, kau mau kemana?" tanya Sherly dengan wajah khawatir. Tentu saja. Kapan hantu itu tidak khawatir padanya? Jaerin bahkan curiga jika hantu bisa mengidap gangguan kecemasan.

"Kau tidak dengar? Aku mau ke tempat Direktur Kim," ujarnya setengah hati seraya membuka pintu.

Sherly menghela napas. Kadang ia membenci sikap acuh Jaerin padanya. Namun, apalah daya, ia bahkan tidak bisa tinggal diam jika Jaerin sedang dalam ancaman bahaya. "Lebih baik kau tidak lewat lift, Jaerin," peringatnya.

Langkah Jaerin terhenti. Gadis itu berbalik menatap sosok Sherly yang kini mengikutinya hingga lorong. "Kau gila? Ruangan Jungwoo ada di lantai bawah. Kau kira aku mau merelakan kakiku hancur turun 7 lantai dengan sepatu hak tinggi?" cicitnya. Ia tak mau dicap sebagai orang aneh yang suka berbicara sendiri. Cukup Johnny saja yang tahu.

"Aku hanya memunyai firasat buruk tentang lift hari ini."

Jaerin mendesah keras. Jika saja ia melupakan keberadaan karyawan-karyawan lain di sekitarnya, ia sudah mengumpat pada hantu yang senang ikut campur itu. "Jangan mengada-ada!" ujarnya sebelum meninggalkan Sherly yang hanya bisa meneriakkan namanya dengan cemas.

Bohong jika ia sepenuhnya mengabaikan peringatan Sherly. Sepanjang jalan ia merenungi perkataan Sherly yang menurutnya tak masuk akal. Pertanyaannya, apakah firasat hantu itu benar?

Ia menggeleng pelan menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang bersemayam di kepalanya. Tepat saat itu pula pintu lift terbuka. Ia cukup lega karena lift cukup ramai saat itu. Membuatnya yakin jika ia akan baik-baik saja kali ini.

Ya, lift-nya ramai. Pegawai-pegawai yang melihatnya dengan ramah menyapanya. Cukup fantasinya. Ia akan aman, 'kan?

Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia menekan tombol 3. Namun, lift tersebut bergerak ke atas. Ah, ia hampir lupa jika hari ini ada rapat divisi pemasaran di lantai 15. Pantas saja banyak anggota divisi pemasaran di sini. Baiklah, ia harus mengalah. Toh, mereka duluan yang memasuki lift ini.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔حيث تعيش القصص. اكتشف الآن