SIXTY ONE - Mission

657 136 8
                                    

Sinar matahari yang menyilaukan membuat Jaerin membuka matanya. Tidurnya sama sekali tidak lelap meskipun Taeyong sudah membantunya dengan menyalakan lilin aroma terapi di sekitar ruang tamu tempatnya tidur.

Semalam ia bermalam di rumah Taeyong seusai mengemas beberapa bajunya yang selamat dari kobaran api. Ia sebenarnya tak berniat untuk tidur semalam karena ia sama sekali tak dapat tidur. Namun, Taeyong terus memaksanya untuk istirahat walau hanya sebentar. Akhirnya ia baru bisa tertidur pada pukul 4 dini hari.

Gadis itu bangkit dari sofa dan menyibak selimutnya. Ia yakin Taeyong yang melakukannya. Ya, ia tertidur di pundak Taeyong di atas sofa. Hal ini karena dirinya terus menolak untuk tidur di kamar, ia pikir ia tidak akan tidur.

Lilin aromaterapi sudah padam, tetapi masih mengeluarkan aroma yang harum di sekitar ruang tamu. Andaikan Jaerin berada di situasi yang lebih tenang, mungkin ia dapat merasakan keromantisan dari aroma lilin-lilin itu. Sayangnya, ia bahkan tidak dapat menikmati aroma manis itu saat ini.

Gadis itu mengambil ponselnya yang semula ia letakkan di atas meja. Beberapa pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Jungwoo membuatnya mendesah. Entah lah, perasaannya pada Jungwoo berubah saat pria itu dengan mudahnya menawarkan posisi sekretaris yang ia tahu sangat sulit didapatkan.

Jungwoo Kim

Jaerin, kau di rumah? Aku ke sana sekarang.
Dimana kau? Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi pada rumahmu?

Kumohon hubungi aku jika kau menerima pesan ini.
Jaerin?


Tanpa pikir panjang, Jaerin membuka kasar ponselnya dan melepaskan baterainya. Ia hanya merasa begitu direndahkan. Ia tahu jika Jungwoo sangat mencintainya dan rela memberikan posisi sebagai sekretaris itu secara cuma-cuma. Tetapi, ia pikir dengan melakukan hal seperti itu tak akan pernah membuatnya luluh.

Ia tak semurah itu.

Jaerin lantas menoleh ke arah balkon yang terbuka lebar. Pantas saja sinar matahari begitu menyilaukan dan mengganggu tidur singkatnya. Ia pun bangkit dan menghampiri pria yang sedang berdiri membelakanginya dan menghalau sedikit silau tersebut.

Taeyong menoleh ke arah Jaerin yang kini sudah berdiri dalam diam di sampingnya. Tak jauh berbeda darinya yang berpenampilan begitu mengerikan, Jaerin terlihat lebih menyedihkan dengan kantung mata hitam di bawah matanya.

Pandangannya kembali lurus menghadap ke arah matahari pagi. Membiarkan kulitnya bersinar karena sinar itu.

"Matahari tidak pernah tahu perasaan manusia, ya. Bagaimana bisa ia tetap bersinar seterang itu saat di sini begitu mendung."

Jaerin tak menjawab. Ia hanya terdiam sambil terus meremas besi pembatas yang masih terasa dingin itu. Biarlah ia merasakan dingin itu merasuk ke pori-pori tangannya. Beberapa jam kebelakang ia mati rasa.

Taeyong menoleh ke arah Jaerin yang saat ini tengah memejamkan matanya. Ia menghela napas. "Kita akan ke Gereja hari ini juga. Kau bisa mengambil cutimu, 'kan?" Semakin cepat masalah ini berakhir, semakin cepat pula penderitaan ini berhenti.

"Aku sudah dipecat."

Tenggorokan Taeyong tercekat. Gadis itu sama sekali tak pernah membahas pekerjaan. Pantas saja Jaerin nampak begitu bebas akhir-akhir ini. Sungguh malangnya nasib gadis itu.

Jaerin menegakkan tubuhnya sebelum kemudian membelakangi matahari. Giliran membiarkan hangat menerpa punggungnya.

"Ini semua adalah kutukan. Wanita yang ku temui di kuil telah memperingatkanku sebelumnya. Mereka yang ikut campur, maka mereka akan mendapat kutukan."

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें