FIFTH - Demi Mark Lee

1.3K 229 16
                                    

Jaerin menahan dirinya untuk tidak menguap saat ini. Hampir tiga jam lamanya ia menunggu Mark dengan peralatan menggambarnya. Saat ini Mark terlihat seperti anak laki-laki berusia lima tahun yang sedang belajar mewarnai gambar di atas meja rendah di ruang tamunya. Tanpa sekali pun mengalihkan fokusnya pada gambarannya, ia mengganti posisi duduknya yang semula bersila menjadi berlutut.

Sementara itu, Taeyong dengan sabar menunggu Mark selesai dengan gambarannya. Jaerin tak habis pikir. Pria semacam Taeyong, yang ia pikir adalah tipikal pria yang dingin itu bisa sesabar ini menghadapi pasiennya. Maksudnya, ayolah, bahkan Jaerin saja hampir memejamkan mata saking bosannya.

Wajah Mark menjadi cerah tepat ketika ia meletakkan krayon merahnya kembali ke tempatnya. Ia bertepuk tangan sekali sebelum kemudian mengangkat kertasnya. "Aku sudah selesai, Noona!"

Punggung Jaerin yang awalnya bersandar pada sandaran sofa itu menegak. Lantas ia beranjak turun dan bergabung duduk di lantai bersama Taeyong dan Mark. Ia tersenyum kecut melihat gambaran Mark. Hanya menggambar tiga orang membutuhkan waktu tiga jam? Jika saja ia boleh menarik kata-katanya untuk membantu Mark.

Telunjuk Mark mengarah pada sosok perempuan dengan rambut panjang dan ikal. Dari gambarannya wajah mereka semua memang tidak bersahabat. "Namanya Ace. Dia adalah satu-satunya wanita," ujarnya. "Dia sebenarnya orang yang lembut. Tetapi, terkadang dia terlalu menyalahkan apa yang aku perbuat. Dan itu terkadang membuatku kesal."

Melihatnya dengusan kesal Mark, Taeyong hanya bisa terkekeh seraya mengusak kepala itu. Untuk beberapa kali, Mark memang membuatnya tertawa karena tingkahnya yang sederhana dan terkesan polos itu. Namun, Mark juga tak pernah absen untuk membuatnya khawatir.

Tak ingin membuat Jaerin menunggu lebih lama, Mark menepis tangan Taeyong dan mendekat ke arah Jaerin. "Dia Aaron. Paling pendiam di antara ketiganya. Tetapi, pukulannya sangat kuat," lanjutnya seraya menunjuk sosok pria di tengah yang memiliki badan yang lebih gempal daripada dua yang lainnya.

Jaerin hanya mengangguk tanpa ekspresi. Ini bahkan belum apa-apa. Tetapi, mengapa ia sudah merasa amat lelah?

Sebelum beranjak memperkenalkan satu lagi sosok di sebelah Aaron, Mark terdiam. Nampak begitu kalut dan kepayahan menelan ludahnya sendiri. Ia menghembuskan napas panjang dan menunjuk sosok pria dengan raut wajah terseram. "Ini James. Dia lah yang paling kutakuti. Jika dia sudah datang, maka Ace dan Aaron tidak mempunyai pilihan apapun selain menyakitiku," jelasnya kini dengan suara yang lebih lirih. "Aku takut."

Kepala Mark menunduk dalam. Tanpa Jaerin sadari, tangannya terangkat untuk menepuk pundak lebar Mark, menguatkan. Pria ini benar-benar sedang dihantui. Tetapi, jika sampai membunuh ayahnya, apa ini benar?

"It's okay, Mark. We're here," hibur Taeyong ikut menepuk punggung Mark.

Kedua mata Jaerin melotot. Ia menatap Taeyong tak terima. "We?" ulangnya dengan kedua alis bertaut.

Yang dipelototi hanya menyipitkan matanya sekilas. Astaga, harus berapa kali lagi Taeyong memohon agar Jaerin mau berkompromi dengannya? Haruskah ia selalu mendekte gadis itu seperti ini.

Kedua bahu Jaerin longsor. Menyerah. Dirinya tak akan pernah bisa mendebat Taeyong di hadapan Mark. Ya, setidaknya itu lah yang dapat ia tangkap dari tatapan tajam Taeyong.

"Sejak kapan mereka datang padamu?" tanyanya berusaha mengalihkan perhatian Mark yang mulai kebingungan dengan situasi antara dirinya dan Taeyong. Bahkan dirinya sendiri pun bingung.

Tatapan Mark mengarah ke arah langit-langit ruang tamu Jaerin. "Mungkin sekitar 5 tahun yang lalu, saat aku masih berusia 13 tahun dan masih tinggal di Kanada," ujarnya sedikit menerawang.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Where stories live. Discover now