FIFTEENTH

941 170 5
                                    

"Kau yakin?"

Jaerin yang hendak membuka pintu mobil di sampingnya itu menoleh ke arah Jungwoo. Melihat wajah khawatir Jungwoo membuatnya berpikir dua kali. Ya, ia tak bisa berbohong jika ia juga sedikit cemas ketika melihat rumahnya. Ingatan tentang kejadian semalam kembali berputar di kepalanya. Bagaimana jika sosok itu masih ada di dalam rumah, menunggunya?

Namun, melihat mobil ibunya yang terparkir di halaman rumahnya membuatnya seikit banyak merasa lega. Setidaknya ada orang lain yang bisa ia mintai tolong jika hal itu kembali terjadi.

Ia kembali menatap Jungwoo dan tersenyum tipis. "Ini rumahku. Tidak ada yang perlu kau takutkan."

Jungwoo menghela napas. Lagipula keberadaan ibu Jaerin setidaknya memberikannya sedikit ketenangan. Hanya saja, kenyataan bahwa keduanya adalah wanita tak dapat menghilangkan semua rasa cemasnya. "Jika ada apa-apa, hubungi aku."

Gadis itu mengangguk kecil. "Terima kasih, Jungwoo."

Pria itu terus mengamati gadis yang kini keluar dari mobilnya. Sungguh, ia sangat ingin ikut turun demi memastikan gadis itu baik-baik saja.

"Jung Jaerin!" seru Jungwoo sesaat sesudah kaca jendelanya terbuka. Membuat Jaerin menghentikan langkahnya dan berbalik. "Kau tidak lupa apa yang harus kau lakukan saat terjadi hal yang tidak diinginkan, 'kan?" tanyanya memastikan.

Jaerin yang awalnya bingung itu tertawa kecil. "Menelponmu, 'kan? Aku tahu. Pulang lah," serunya pada Jungwoo yang masih menyiratkan kekhawatiran.

Jungwoo menyerah. Ia kemudian menutup kaca jendela mobilnya setelah memastikan Jaerin benar-benar yakin akan baik-baik saja. Perlahan, mobil itu meninggalkan jalan depan rumah Jaerin.

"What a mess."

Jaerin yang baru saja membuka pintunya itu langsung disambut oleh seruan nyaring sang ibu. Gadis itu mendengus kecil seraya menunduk.

Jangan tanyakan mengapa ibunya bisa masuk ke rumahnya. Semalam dirinya bahkan tidak sempat mengunci pintu rumahnya. Begitu pun Jungwoo yang terlalu mencemaskan keadannya–sepertinya.

"Apa yang sudah terjadi?" tanya wanita paruh baya itu seraya mendekati Jaerin yang masih mematung di depan pintu.

Mata Jaerin tak berani menatap balik ibunya. Ia kini hanya dapat menatap kumpulan pecahan guci di sudut ruangan. Sepertinya ibunya membersihkannya sebelum ia tiba.

"Ibu tidak seharusnya datang saat rumahku berantakan," ujarnya lemah seraya mengusap wajahnya kasar.

Kedua mata ibu Jaerin itu menyipit. "Ada yang terjadi, 'kan?" terkanya yang sontak saja langsung disambut helaan napas berat anaknya. "Siapa 'mereka'?"

Jaerin menggigit bibirnya. Ia hampir melupakan fakta jika kemampuan yang ia miliki ia dapat dari sang ibu. Dan tentu saja, ibunya selalu tahu jika ada hal yang salah yang terjadi padanya.

"Aku juga tidak tahu, Bu. Mungkin mereka hanya lewat saja semalam dan memberiku hadiah kecil," jawabnya sekenanya disertai dengan tawa sumbang. Jika ibunya tahu ini adalah akibat dirinya membantu Mark, omelan ibunya pasti hanya akan berakhir besok pagi.

"Hadiah kecil, katamu?" Wanita di hadapan Jaerin menunjuk ke arah pecahan guci di belakangnya. "Ini yang dimaksud hadiah kecil?" tanyanya lagi, kini dengan suara yang lebih tinggi.

Gadis itu mengurut keningnya yang berdenyut. "Ibu, aku lelah. Semalam aku harus menginap di rumah teman karena insisen ini," keluhnya. Masih tak berani menatap wajah ibunya.

Sang ibu mengerang kesal ketika Jaerin sama sekali tak menjawab pertanyaannya. "Kalau begitu sarapan dulu," ucapnya ketus seraya menarik tangan Jaerin masuk.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Where stories live. Discover now