SEVENTEENTH

913 163 8
                                    

Mata Jaerin tak terlepas dari pintu–yang kata Jaehyun–adalah ruang periksa di klinik milik Taeyong. Sebagai orang asing, dirinya tak diperbolehkan untuk masuk ke sana sehingga dirinya hanya bisa terdiam sendirian di ruang tunggu.

Tak lama, pintu itu terbuka dan menampakkan sosok Jaehyun yang berjalan keluar. Namun, dirinya harus merasa kecewa ketika Jaehyun justru menutup pintu tersebut kembali. Ia kira Mark dan Taeyong juga akan ikut kelar bersamanya.

Hey, ia juga penasaran dengan kondisi Mark!

Pria jangkung itu tersenyum kecil, memberi tahu Jaerin jika Mark baik-baik saja di dalam sana. Setelah itu, ia berjalan menuju meja resepsionis. Hari ini mereka tidak membuka klinik sehingga tak banyak yang harus ia bereskan selain laptop-nya yang masih menyala.

Jaerin mendekati meja resepsionis dan menumpukan tangan kanannya ke atas meja yang tingginya hampir menyamai dadanya. "Apa dia selalu seperti itu?" tanyanya pada Jaehyun yang tengah menggulung kabel pengisi daya.

Kepala Jaehyun terangkat untuk menatap sang lawan bicara. "Siapa? Mark? Saya tidak terlalu mengerti. Tetapi, untuk kelakuan anehnya tadi, saya baru pertama kali melihatnya," jelasnya.

Melihat Jaerin yang hanya bisa mengangguk lemah itu membuatnya tersenyum kecil. "Tak perlu khawatir. Mungkin dirinya hanya merindukan ayahnya."

Ternyata banyak yang peduli pada Mark.

Gadis itu mengangkat bahunya. "Ya, mungkin," ujarnya lemah. Entah mengapa, ia sangat mencemaskan Mark padahal dirinya sudah berjanji untuk berhenti ikut campur. Ia sangat tidak paham dengan hatinya.

Suara kenop pintu yang terbuka itu membuat Jaehyun dan Jaerin sontak menoleh. Keduanya sama-sama antusias ketika melihat sosok Taeyong yang keluar dari ruang periksa.

"Hyung, bagaimana?" tanya Jaehyun, juga mewakili pertanyaan Jaerin.

Pria itu berjalan pelan ke arah Jaehyun dan Taeyong. Bergabung dengan kedua orang yang sedari tadi banyak membantunya itu. "Dia tertidur. Sepertinya memang dia masih belum bisa menerima kematian ayahnya. Jadi, dia berperilaku seperti itu," ucap Taeyong seraya mengusap wajahnya.

Melihat wajah lelah Taeyong membuat Jaerin menggigit bibirnya. Lagi-lagi perasaan kasihan kembali menyeruak di hatinya. Tak ada hal lain yang ingin ia lakukan selain meringankan beban Mark saat ini.

Kejadian tadi sore juga. Melihat betapa menderitanya Mark ketika melihat bayangan ayahnya membuatnya luluh. Ia bahkan sempat melupakan beberapa teror yang terjadi padanya.

"Apa dia menceritakan sesuatu?" tanyanya pada akhirnya.

Taeyong menoleh ke arah Jaerin. "Itu–" Ia menggantungkan kalimatnya sebelum kemudian melanjutkan, "Dia bilang jika ia melihat ayahnya. Hanya itu. Kenapa?"

Mark benar-benar hanya melihat ayahnya. Ia kira ada hal lain selain bayangan ayahnya yang membuat Mark semenderita itu. Jaerin kemudian tertunduk dan mendesah lega. "Tidak."

Jaehyun ikut merasa lega mendengar Mark baik-baik saja. Jujur, ia sedikit takut ada hal lain yang terjadi pada Mark. Meskipun dirinya bukan lagi orang yang dapat melihat hal-hal seperti itu, instingnya masih kuat.

"Sepertinya ini sudah terlalu larut. Sebaiknya aku pulang," ujar Jaerin seraya menatap jam dinding di belakang Jaehyun yang menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Ternyata hal ini menyita waktu cukup banyak.

Mendengarnya, Taeyong segera menepuk lengan Jaehyun. Hal itu membuat Jaehyun sempat gelagapan sebelum kemudian berkata, "Biarkan saya yang mengantar Anda."

Jaerin menggeleng. "Tidak perlu. Aku bisa mencari taksi," ucapnya sebelum kemudian menyahut tasnya di meja ruang tunggu.

Taeyong mendengus melihat kekerasan kepala Jaerin. "Tidak baik seorang wanita berpergian malam-malam," sahutnya hingga membuat Jaerin membalikkan badannya–menatapnya.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora