THIRTEENTH - Friend

1K 182 13
                                    


Jaerin membersit hidungnya yang sedikit gatal akibat bumbu dapur yang ia masak. Pagi ini, ia hendak memberi sedikit ucapan terima kasih untuk Jungwoo  dengan memasakkannya sarapan. Juga, karena ia merasa sedikit bersalah telah merepotkan kemarin dengan membuat Jungwoo tidur di ruang kerja sedangkan dirinya tidur dengan nyaman di kamar Jungwoo.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

Suara serak seorang pria di belakangnya membuatnya sedikit terlonjak. Ia menoleh ke belakang dan segera membungkukkan badannya pada pria yang kini tengah mengucek matanya. Namun, kemudian ia teringat jika Jungwoo tidak menyukai senioritas seperti itu. Ia lantas menegakkan badannya dan tersenyum hangat.

"Selamat pagi, Jungwoo. Aku menyiapkan sarapan untukmu. Anggap sebagai ucapan terima kasihku," ujarnya kemudian kembali menumis bumbu yang sudah berbau harum itu.

Jungwoo berdecak kemudian mendekati wastafel di samping Jaerin. "Kau tidak perlu repot-repot," gumamnya seraya mencuci tangannya.

"Apa yang repot? Lagipula aku melihat kulkasmu penuh dengan bahan mentah." Jaerin melirik ke arah Jungwoo yang terlihat lucu dengan wajah mengantuknya. Berbeda sekali dengan tampang galak Jungwoo semalam.

Ia tersenyum kecut kemudian mengalihkan pandangannya. "Kau jarang memasak, ya?"

Kekehan Jungwoo terdengar sedikit serak. "Kau bahkan bisa menebaknya." Pria itu kemudian berjalan ke samping Jaerin, menghadap ke arah bahan-bahan masakan yang berjajar rapi di pantry. "Padahal ini hari libur. Kau tidak perlu memasak sepagi ini."

Gadis itu sedikit terperangah sebelum kemudian melihat jam di pergelangan tangannya. "Ini sudah jam 8. Ini sudah tak 'sepagi' itu," protesnya kemudian menertawakan wajah suntuk Jungwoo.

"Bagiku jam 8 di hari libur adalah pagi," keluh Jungwoo seraya menyandarkan punggungnya di pintu kulkas. Matanya tak lepas dari wajah Jaerin yang nampak enggan mengalihkan pandangannya dari kegiatan memasaknya.

"Kau serius sekali. Apa yang kau masak?"

Dengan mengerutkan dagunya, Jaerin berpikir. Ia juga tak berpikir akan membuat apa sebelumnya. Bahkan ia tak yakin yang ia masak akan sesuai di lidah Jungwoo atau tidak. "Entahlah, hanya mencampurkan semua bahan-bahan di kulkasmu," jawabnya sedikit ragu.

Kedua mata Jungwoo melebar penuh minat saat Jaerin menuangkan sedikit air ke atas wajan. "Sepertinya akan enak," cicitnya setelah mencium aroma enak masakan yang bahkan belum jadi itu. "Ada yang perlu kubantu?" tawarnya kemudian.

Jaerin menoleh sesaat ke arah bahan-bahan masakan. Menyadari jika banyak hal yang belum ia potong-potong. "Potong daun bawangnya, tolong?"

Dengan sigap, Jungwoo mengambil pisau seraya berteriak, "Yes, Chef Jung!"

Melihatnya, Jaerin hanya menggeleng pelan. Terkadang, pria itu terlihat begitu kekanakan, kadang pula pria itu terlihat teramat serius. Apalagi masalah pekerjaan. Tetapi, ada lagi yang membuat pria itu terlihat seperti pria tegas, yaitu saat pria itu berubah menjadi pemarah saat tahu bekas luka di lehernya.

Ah, ia lupa mengecek luka di lehernya tadi. Meskipun begitu, ia sudah tak lagi merasakan kebas di lehernya. Ia pikir mungkin bekas lukanya sudah memudar.

"Semalam–" Suara Jungwoo tercekat, namun tak menghentikan gerakannya memotong daun bawang. Merasakan Jaerin yang juga menegang saat dirinya mengatakan satu kata saja.

Ia meringis kecil sebelum kemudian melanjutkan, "Aku minta maaf karena membentakmu. Aku kelewatan, ya?"

Dengan cepat, Jaerin menggeleng. Sedikit panik ketika menyadari wajah Jungwoo yang benar-benar menyesal. "Itu sudah terjadi. Tak perlu diungkit lagi." Tangannya mengibas sebelum kemudian memasukkan daun bawang yang selesai diiris oleh Jungwoo ke dalam salah satu mangkuk.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Where stories live. Discover now