FOURTIETH - The Impact

775 139 24
                                    

Jam di mobil Taeyong menunjukkan pukul 01.12 dini hari. Itu berarti ia dan Jaerin sudah menghabiskan waktu selama hampir tiga puluh menit di dalam mobil tanpa berbicara apapun. Di depan mereka, rumah Jaerin yang terang benderang itu sudah terlihat. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk memutus pertemuan malam itu.

Sang pria menghela napas kemudian menghadap ke arah Jaerin. Dari wajahnya, ia dapat melihat jika gadis itu sangat enggan untuk masuk ke dalam rumah. Ia pun beranjak untuk menggenggam tangan mungil yang sedang memeluk tas kerja itu.

Jaerin menoleh merasakan dinginnya tangan Taeyong saat menggenggam tangannya. Lelaki itu mengangguk ke arahnya. Ia tahu jika Taeyong sedang berusaha meyakinkannya saat ini.

Tak lama, Taeyong melepaskan genggamannya dan keluar dari mobilnya. Ia membukakan pintu di samping Jaerin dan dengan sabar menuntun gadis itu untuk berjalan.

"Pelan-pelan saja," bisiknya pada Jaerin yang meringis menahan sakit saat gadis itu mencoba untuk berjalan.

Bohong jika Taeyong tidak merasa gugup saat ini. Ia terus memikirkan kata-kata yang akan ia sampaikan pada orang tua Jaerin.

Pintu rumah Jaerin terbuka lebar tepat ketika mereka tiba di teras. Seorang gadis yang ia tahu adalah Irene itu menyambut mereka dengan wajah khawatir. Di belakangnya, terlihat wanita dan pria paruh baya yang menyusul.

"Astaga, Jaerin!"

Irene merangkul Jaerin, mengganti peran Taeyong untuk menuntun gadis itu mendekat ke arah orang tuanya.

Tubuh Taeyong membungkuk dalam ke arah kedua orang tua Jaerin. "Maafkan saya-"

"Pulang lah."

Belum sempat dirinya menyelesaikan ucapannya, pria berwajah tegas itu memutus. Tidak kasar, tetapi tidak juga lembut.

Keningnya berkerut. "Ya?" Maksudnya, apakah keluarga Jaerin tidak memerlukan penjelasan dari semua ini?

Di tempatnya, Jaerin mengangguk ke arah Taeyong. Ia tersenyum kecil. "Taeyong pulang lah. Terima kasih telah mengantarku pulang. Ucapkan juga terima kasihku pada Jaehyun dan Mark. Menyenangkan sekali bisa pesta barbecue bersama kalian," ujarnya tanpa melepaskan senyumannya.

Rahang Taeyong mengeras. Bisa-bisanya Jaerin tersenyum dan mengucapkan terima kasih secara tulus setelah apa yang telah menimpanya. Ia menghembuskan napas panjang kemudian pamit pada keluarga Jaerin.

Jaerin menatap kepergian Taeyong dengan perasaan berkecamuk. Dari sudut matanya, Taeyong terlihat cukup kesal namun juga merasa bersalah. Ia tahu jika ini bukan murni kesalahan Taeyong. Sehingga melihat raut Taeyong yang begitu masam itu membuatnya ingin mengejarnya.

Berkata jika semua benar-benar akan baik-baik saja.

Saat Irene menepuk pundaknya pelan, ia baru sadar jika mobil Taeyong sudah menghilang dari depan rumahnya. Mau tak mau ia mengikuti arahan sepupunya itu untuk masuk.

"Kami sudah mendengar semuanya dari Irene," ujar ayah Jaerin dari sofa ruang tamu tepat saat dirinya menginjakkan kaki di dalam rumah. Pria itu menghela napas kemudian mengurut pelipisnya. "Hentikan lelucon ini, Jaerin. Kau membahayakan dirimu sendiri."

Berbeda dengan ayahnya yang nampak menahan amarah, ibunya justru dengan sabar ikut membantu Irene mendudukkan Jaerin di sofa panjang, menghadap sang ayah.

"Bagian mana yang sakit?" tanya wanita itu saat Jaerin spontan meringis ketika pantatnya menyentuh sofa.

"Aku baik-baik saja. Hanya memar di perut saja." Bohong. Seluruh badannya terasa remuk. Terlebih di bagian rusuknya. Hal itu lah yang membuat dirinya tidak bisa leluasa bergerak seperti biasa.

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Where stories live. Discover now