FOURTY SIXTH - Schicksal

693 130 5
                                    

Tinggal sendiri tidak lah buruk bagi Irene. Ia merasa lebih mandiri dan tenang. Bukan berarti jika ia tinggal bersama orang lain ia merasa direpotkan. Ia malah berpikir jika ia menumpang di rumah orang, ia akan merepotkan.

Semenjak tinggal di apartemen, Irene lebih dapat fokus akan persiapannya. Yeah, walaupun beberapa kasus utusan perusahaan datang ke apartemennya hanya untuk mengecek kesiapannya.

Dan bukan berarti dirinya tidak merindukan tinggal bersama Jaerin. Gadis itu selalu membuat harinya ramai dengan segala keluh kesahnya tentang Mark atau tentang Jungwoo yang terlalu peduli padanya. Demi Tuhan, ia merindukan saat-saat seperti itu.

Dan beruntung baginya karena baru saja bel pintunya berbunyi oleh Jaerin. Gadis itu tak kuasa menahan rasa gembiranya ketika melihat sosok Jaerin dari intercom tengah berdiri di depan pintu.

"Jaerin!" pekik Irene saat pintunya terbuka. Ia segera menghambur ke pelukan Jaerin yang terlihat sama gembiranya dengannya. "Kau kesini sendiri?"

Jaerin melepaskan pelukannya dan menggeleng. "Tidak. Jungwoo mengantarku, tapi sekarang ia sudah pergi," jawabnya jujur seraya mengikuti langkah Irene masuk ke apartemennya.

"Semakin dekat, huh?"

Mendengarnya, ia terkekeh. Irene belum tahu fakta bahwa dirinya telah resmi berkencan dengan Jungwoo. "Ya, karena dia kekasihku." Jemarinya bergerak menyematkan rambutnya ke belakang telinga saat dirinya menunduk mengganti sepatunya dengan sandal rumah.

"A-apa? Sejak kapan? Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?" tuntut Irene yang kini sudah berlari menuju Jaerin. Menggoyangkan pundak gadis itu kasar seolah menuntut penjelasan.

Senyum Jaerin luntur. Bukan untuk menceritakan hubungannya dengan Jungwoo alasannya datang ke apartemen Irene. Ia sudah memikirkan, ia akan menceritakan semua yang ia tangkap dari Haechan pada Irene. Sepupunya itu pasti akan membantunya.

"Aku akan menceritakannya setelah aku urusanku denganmu selesai."

Bibir Irene menjebik, kecewa dengan Jaerin yang memupuskan harapannya untuk mendengar penjelasan mengenai hubungan barunya. Seingatnya, Jaerin cukup pemilih dalam hal pasangan. Ia penasaran sisi mana dari Jungwoo yang membuat Jaerin luluh.

Keduanya akhirnya berakhir di sofa ruang tamu. Duduk berhadapan di satu sofa panjang seraya menatap satu sama lain.

Jaerin menghela napas seraya menunduk. Jemarinya saling bertautan. "Kemarin aku bertemu dengan Haechan. Dia memberi banyak informasi yang sama sekali tak pernah aku tahu," jelasnya.

"Tunggu. Siapa itu Haechan?"

Okay, siapa lagi yang dibicarakan Jaerin? Mengapa ia merasa tidak enak dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tangan Jaerin menepuk keningnya. Ia lupa jika Irene masih asing dengan Haechan. "Teman sekolah Mark."

"Woah, woah! Tunggu sebentar, Jaerin. Jangan bilang kau akan kembali ikut campur masalah Mark lagi?" Irene mulai panik. Jangan lagi ada kejadian patah tulang atau lainnya. Cukup mendengarkan berita betapa kuatnya iblis dalam dkri Mark hingga dapat meremukkan tulang rusuk Jaerin.

Ia tak ingin ada korban lagi.

Jaerin menyahut tangan Irene dan menggenggamnya erat. Wajahnya terlihat memelas saat menyadari Irene begitu anti saat ia menyebutkan nama Mark. "Irene, dia sangat butuh bantuan."

Gelengan tegas menjadi jawaban Irene. Ia menatap tajam Jaerin yang masih memelas padanya. "Membantu dan ikut campur itu berbeda. Kau itu siapa membantu masalah Mark? Lagipula, itu sangat berbahaya."

Baiklah, ia hampir kehilangan kesabaran kali ini.

"Okay, kau bisa berkata seperti itu. Sekarang ku harap kau mau mendengarkan cerita Haechan dulu," sahut Jaerin.

"Tapi, jika ini berujung dengan–"

"Please, Irene. You have to know. Setelah ini kau bisa berkata macam-macam. Okay?" pinta Jaerin. Kini begitu meyakinkan dengan tangannya yang semakin kuat menggenggam tangan Irene.

Irene menghela napas berat. Tubuhnya terdorong ke belakang hingga menyentuh sandaran sofa. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan mengangguk kecil. Ia siap untuk mendengarkan. "Go on."







Jaerin sangat bersyukur Irene tidak banyak memotong penjelasannya. Namun, sampai sekarang Irene tampak tak berniat untuk memberi spekulasi atau pendapat mengenai cerita Haechan. Gadis itu hanya terdiam kemudian melanjutkan belajarnya di depan televisi.

Ia mendengus kecil. Berusaha berpikiran positif. Mungkin saja Irene akan menjawabnya jika waktunya tepat. Lagipula ia sudah memperlihatkan ketidaksukaan untuk ikut campur masalah Mark.

Jika dilihat-lihat, apartemen Irene begitu rapi seolah semua benda sudah tersusun di tempatnya. Tentu saja karena sejak masih tinggal di rumahnya, secara berkala barang-barang Irene diangkut ke sini untuk ditata. Pantas saja jika apartemen itu sudah terasa penuh.

Ia kemudian berdiri dari duduknya dan melihat-lihat pigura-pigura di dinding. Sangat rapi dan tertata. Di sana berderet foto-fotonya mulai dari saat Irene masih bayi hingga saat wisuda kemarin. Ia tersenyum melihat kebahagiaan di setiap foto tersebut.

Tepat di atas deretan foto-foto itu, terdapat sebuah benda mirip medali berbentuk lingkaran dengan salib di tengahnya. Warna peraknya sangat menawan. Apalagi dengan ukiran di tepi dan juga di bawah salib.

"Bagus sekali. Apa ini, Irene?" tanyanya seraya mengusap kaca pelapis 'medali' itu dengan penuh kagum.

Irene menoleh kemudian menjawab, "Ah, sewaktu di Perancis aku bertemu dengan seorang pastur. Ia mengatakan padaku jika itu bisa menangkal roh jahat." Ia kembali fokus pada tabletnya.

Jaerin mengangguk kecil. Kedua matanya menyipit saat mendapati ternyata terdapat ukiran kecil di bawah salib. "Menarik sekali. Schicksal. Apa artinya?" tanyanya lagi.

"Pastur itu bilang Schicksal merupakan Bahasa Jerman dari takdir. Seperti namanya, jimat itu seolah ditakdirkan berjodoh dengan pemiliknya. Cara mengklaim jimat itu milikmu adalah dengan menyentuhkan setetes darahmu ke sana. Aneh memang. Tetapi, pastur itu bilang bahwa jimat yang telah terberkati itu akan semakin kuat kuasanya saat bagian dalam dirimu juga berada di dalamnya."

Penjelasan Irene sangat dapat ia pahami. Pantas saja Irene meletakkan jimat itu di dalam pigura. Rupanya itu merupakan benda yang bisa dianggap keramat.

Namun, jika dilihat lebih dekat, ia merasa familiar dengan ukiran-ukiran dalam jimat Irene. Ia menerawang. "Sepertinya aku pernah melihat simbol seperti ini di suatu tempat," gumamnya berusaha untuk mengingat di mana ia melihat simbol seperti di jimat Irene.

"Jaerin. Kebetulan sekali kau di sini. Mau kah kau membuatkanku pancake? Aku rindu pancake buatanmu," seru Irene dengan nada manjanya.

Jaerin membalikkan tubuhnya dan menatap sengit ke arah Irene yang tengah melemparkan mata bulatnya. Ia berdecak kecil. Selalu seperti itu saat ia sedang bersama Irene. Gadis itu akan selalu meminta dimasakkan.

"Baiklah, Tuan Putri."


















TBC

Ah aku pusyink, ini nyeritain Taeyong tapi Taeyongnya malah jarang muncul

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ah aku pusyink, ini nyeritain Taeyong tapi Taeyongnya malah jarang muncul. Maap ya fams
Aku juga kangen Tiwai kok :(

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Where stories live. Discover now