THIRTY NINTH - The Night We Spend Together

809 144 22
                                    

Kening Jaerin berkerut merasakan sesuatu yang basah dan dingin menimpa tulang rusuknya. Sangat tidak nyaman, apalagi perutnya itu masih terasa sangat sakit akibat injakan Mark.

"Ssh!"

Matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan yang berwarna putih dan juga lampu putih terang yang menjadi sentral. Ia menggumam kecil saat dirinya sadar bahwa dia sudah di ruangan lain.

"Jaerin, kau sudah sadar?"

Suara serak Taeyong menginterupsinya. Tepat di sampingnya, Taeyong terlihat tengah menatapnya khawatir. Kedua tangannya kini juga sibuk menekan lembut area perutnya dengan kain yang terasa basah dan dingin.

Ia sedikit menegang ketika tahu bahwa saat ini perutnya terekspos di hadapan Taeyong. Wajahnya memerah seketika.

"Aku hanya mengompres saja. Jangan berpikiran yang aneh-aneh," ujar Taeyong seolah mengerti makna raut wajah Jaerin. Karena jujur, ia sama sekali tidak bermaksud apapun selain mengompres memar di perut Jaerin.

Ia terlalu khawatir saat melihat bagaimana parahnya memar itu. Ia tak membayangkan sekeras apa injakan Mark hingga meninggalkan memar di hampir seluruh perut Jaerin. Bahkan saat tadi dirinya dan Jaehyun berusaha untuk memisahkan Mark dari Jaerin yang sudah jatuh pingsan, Mark masih berusaha menyerang dan berakhir memukul pelipis Jaehyun dengan sangat keras.

Ia menghela napas panjang kemudian kembali memasukkan handuk itu ke dalam air es di atas nakas. Saat ini Jaehyun pasti juga melakukan hal yang sama pada wajahnya.

"Di mana Mark?"

Pergerakan Taeyong memeras handuk itu terhenti. Ia menatap kesal Jaerin yang masih saja menanyakan keberadaan Mark. "Setelah kau dianiaya seperti ini, kau masih mencarinya?" tanyanya ketus.

Jaerin menggeleng seraya menarik kemejanya turun. Ia tak ingin semakin malu memperlihatkan perutnya di hadapan Taeyong. Tangannya menggapai lengan Taeyong dan ia berujar, "Bukan Mark yang melakukannya, Taeyong. Iblis-iblis itu merasuki Mark."

Taeyong mendengus. Dengan sedikit kasar, ia melemparkan kembali handuk basah itu ke dalam air. Namun, melihat betapa lemahnya Jaerin saat ini membuatnya hanya bisa mengurut kening.

"Jangan temui Mark dulu. Dia sangat merasa bersalah saat ini."

Selalu seperti itu. Ketika Mark melakukan kesalahan, Taeyong selalu melarangnya untuk bertemu dengan Mark.

"Kalau begitu, biarkan aku menemui Mark." Dengan gegabah, ia bangkit dari posisinya. Namun, hal itu justru semakin memperparah sakit perutnya. "Aarkh!"

Taeyong segera menangkap tubuh Jaerin yang hampir saja oleng. Dengan hati-hati, ia kembali menuntun gadis itu untuk duduk bersandar di kepala ranjang. "Jangan bergerak dulu. Perutmu itu memar," tukasnya seraya menyelipkan bantal di punggung Jaerin.

Jaerin meringis kecil merasakan sakit di rusuknya saat berusaha untuk duduk tegak. "Taeyong, tolong ambilkan tasku," pintanya seraya menunjuk tas di samping baskom.

Pria itu menyerahkan tas milik Jaerin kemudian memperhatikan Jaerin yang tengah mengorek isi tasnya. Tangannya mengepal kuat, menahan diri untuk tidak mengelus wajah layu Jaerin. Memberinya kekuatan.

"Setelah ini, meskipun aku telah mengatakan pada Mark bahwa kau benar-benar sudah memaafkannya bahkan sebelum dia minta maaf, rasa bersalahnya akan terus membayanginya."

Jaerin terdiam sesaat. Memusatkan perhatiannya pada Taeyong yang sepertinya terlihat semakin sendu.

Taeyong menunduk seraya meremas celananya dengan kuat. "Sejak awal seharusnya aku tidak memaksamu untuk ikut campur masalah ini."

SCHICKSAL - Lee Taeyong✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum