Jilid 85

2.2K 34 0
                                    

"Apakah dipuji atau dicaci-maki, masa bodohlah! Yang terang ajalku sudah takkan lebih lama lagi daripada ma ... malam ini, entah matahari esok pagi dapat kulihat pula atau tidak? Coba ... apa yang dikatakan perdana menteri negeri Liau itu?"

Rupanya meski Ibusuri tahu ajalnya sudah sampai dan takkan bertahan sampai besok paginya, tapi rasa bangga dan ingin tahunya tetap mendorongnya bertanya tentang petisi perdana menteri Liau yang diajukan kepada rajanya yang menyangkut namanya itu.

Maka berkatalah Tio Hi, "Menurut petisi perdana menteri Liau itu, katanya selama nenek memerintah negari ini keadaan aman tentram, rakyat hidup sejahtera, katanya nenek pandai memakai tenaga yang cakap, membuang peraturan yang merugikan rakyat dan mengandalkan peraturan baru yang bijaksana. Pemerintahan di bawah pimpinan nenek bersih dari korupsi, begitu pula para pembesar hidup sederhana dan benar-benar mengabdi kepada rakyat. Maka nenek diibaratkan sebagai raja Hiau dan raja Sun wanita di jaman ini ... "

Mendengar sampai di sini, tiba-tiba sorot mata ibusuri yang tadinya guram itu memancarkan beberapa titik sinar kepuasan. Katanya dengan bergumam, "Bagai raja Hiau dan raja Sun wanita jaman kini, tapi biarpun begitu juga tidak terhindar daripada kemuliaan"

Habis berkata, sekonyong-konyong terkilas sesuatu didalam benaknya, segera ia bertanya, "Ya, mengapa perdana menteri Liau itu sengaja menyinggung diriku? Ah. Kamu harus hati-hati Nak! Me ... mereka tahu ajalku sudah dekat, maka mereka bermaksud menghinamu."

"Menghina aku? Hm!" ujar Tio Hi dengan sikap angkuh. "Biarpun bagaimana tidaklah gampang mereka akan berbuat sesukanya padaku. Ya, kutahu orang Cidan mempunyai mata-mata di negeri kita, terutama dl kota raja ini, maka tentang sakitnya nenek mereka cukup tahu jelas. Tetapi apakah kita tidak punya mata-mata di tempat mereka? Bukankah isi petisi yang diajukan perdana menteri ini pun jatuh di tangan kita? Memang, di antara raja dan pembesar Cidan itu sudah berunding dengan baik-baik katanya b¡la ... bila nenek wafat, kalau pembesar militer dan sipil kita tiada sesüatu perubahan apa-apa dan tiada mengadakan gerakan baru, maka mereka akan diam saja. Sebaliknya bila anak mengadakan sesuatu perubahan dan gerakan maka ... hm, maka mereka akan mendahului mengadakan kontra gerakan serentak."

"Jadi maksud mereka akan mendahului menyerang ke selatan?" ibusuri menegas.

"Ya, begitulah maksud mereka," sahut Tio Hi. Ia putar tubuh dan berjalan ke tepi jendela, ia lihat bintangbintang berkelip memenuhi cakrawala nan biru gelap, sambil memandang langit sebelah utara ia menyambung

pula, "Tapi kenapa aku mesti keder? Negeri Song kita luas dan kaya-raya, prajurit kita kuat dan berjumlah banyak, apa kita harus takut kepada orang Cidan? Ya, andaikan mereka tidak bergerak ke selatan, akhirnya aku pun akan menuju ke utara untuk mencoba mengukur kekuatan mereka."

Karena sudah tua, maka pendengaran Ibusuri kurang tajam, ia menegas, "Apa yang kau katakan? Kau bilang mengukur kekuatan apa?"

Tio Hi mendekati pembaringan neneknya, katanya. "Nenek, rakyat Song kita berjumlah puluhan kali lebih banyak daripada orang Cidan, perbekalan kita juga lebih lengkap. Apakah klta masih takut kepada mereka yang berjumlah tidak seberapa itu?"

"Apa maksudmu hendak berperang dengan orang Liau?" Ibusuri menegas dengan suara gemetar. "Kakekmu Kaisar Cin-cong sedemikian tangkas, beliau telah berjuang mati-matian dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang Cidan, masakah ... masakah sekarang boleh sembarangan kau serang lebih dülu!"

"Tentu saja nenek menjadi untung anak dan menganggap anak masih penuh ingusan yang tidak tahu apa-apa." ujar Tio Hi dengan penasaran. "Andaikan anak tidak dapat disamakan dengan para kaisar leluhur, namun kita juga jangan menilai rendah diri kita sendiri. Dahulu kita bukan tandingan negeri Liau, apakah untuk selamanya kita juga takkan mampu melawannya?"

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongWhere stories live. Discover now