Jilid 47

2.8K 42 1
                                    

Ketika Goan-ci hilang silaunya, tahu-tahu di dalam kamar sudah bertambah seorang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ketika Goan-ci hilang silaunya, tahu-tahu di dalam kamar sudah bertambah seorang. Itulah dia Polo Singh yang baru saja menerobos keluar dari lubang bawah tanah. Tangan padri asing itu kelihatan memegang tiga jilid kitab. Sudah tentu ia pun terkejut demi nampak di tepi lubang itu sudah siap kelima padri tua.

Maka terdengarlah kelima padri tua itu serentak menyebut. "Omitohud!"

Lalu tangan kanan mereka perlahan menolak ke depan hingga lengan baju mereka perlahan menolak ke depan hingga lengan baju mereka tampak melambung seketika bagaikan lima helai layar.

Sekonyong-konyong Polo Singh berjumpalitan sekali terus menjungkir. Ia berdiri dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kedua kaki tiada hentinya berputar-putar di atas, makin putar makin cepat.

"Ciaaat!" mendadak kelima padri Siau-lim-si membentak berbareng, serentak mereka pun menghantam. "Blang", terdengar suara keras, seketika hawa udara menjadi tegang dan menyesakkan napas, saking tak tahan Goan-ci terguncang pingsan seketika.

Selang sebentar, ketika ia siuman kembali, sayup-sayup ia dengar suara orang menyebut Budha. Ia coba tenangkan diri, lalu mengintip melalui sela-sela dinding. Kini dilihatnya Polo Singh sudah duduk bersila dengan sikap yang prihatin, kelima padri tua Siau-lim-si duduk mengelilinginya sambil liam-keng bersama. Kitab yang disuakan mereka itu sangat aneh, sama sekali Goan-ci tidak paham. Agaknya kedua pihak itu kini sudah damai dengan baik.

Sesudah agak lama keenam padri itu liam-keng, kemudian kelima padri Siau-lim-si berbangkit, mereka memberi salam dengan rangkap kedua tangan, lalu salah satu padri tua yang kurus kecil berkata, "Polo Singh Suheng, sejak kini bolehlah engkau masuk-keluar Cong-keng-lau dengan bebas, segala kitab yang ingin kau bawa boleh diambil dan dibaca, engkau tidak perlu main sembunyi-sembunyi dan mencuri pula."

Polo Singh kelihatan mengangkat kepala dan termangu-mangu sejenak dengan penuh rasa sangsi. Kemudian bertanya, "Dan sampai kapan batas waktunya?

"Tak terbatas, sampai Suheng wafat kelak, "sahut padri tua kurus kecil itu.

"Apakah kalian hendak memaksa aku membakar diri?" tanya Polo Singh.

"Omitohud! Mengapa Suheng berkata demikian?" sahut padri tua itu. "Suheng datang dari negeri Thian-tok, sudah tentu kami sambut dengan segala hormat, masakah kami berani berlaku kasar padamu?"

"Sebagai murid Budha, lebih baik kita bicara secara blak-blakan, "kata Polo Singh. "Kitab yang tersimpan dalam biara kalian ini tidak sedikit diperoleh dari negeri kami. Selama beratus tahun ini keadaan negeri kami banyak terjadi huru-hara sehingga kitab-kitab aslinya banyak tercecer dan tak keruan, sebab itulah terpaksa kami harus mencari malah ke negeri kalian sini. Kaum Budha kita mengutamakan berbuat kebaikan, mengapa kalian berjiwa sesempit ini?"

"Omitohud! Mana kami berani berbuat seperti yang dimaksudkan Suheng, "sahut padri Siau-lim-si itu. "Bila yang dicari suheng adalah kitab suci Budha penolong manusia, sudah tentu kami tidak berani merahasiakannya untuk diri sendiri. Akan tetapi yang diambil dan dibaca Suheng itu justru adalah kitab pusaka ilmu silat biara kami, meski sumber ilmu silat itu berasal dari negerimu, namun selama seratus tahun ini telah banyak diolah dan dirombak serta ditambah oleh padri saleh biara kami, menurut aturan dan sopan santun, mestinya tidak dapat suheng ambil dan membacanya tanpa permisi."

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongWhere stories live. Discover now