Jilid 70

2.9K 28 0
                                    

Diam-diam Hi-tiok heran, "Apakah ke empat suheng ini yang dia maksudkan. Tentu mereka adalah orang penting dalam biara, karena Yan-kin suka mengganas pada hwesio yang dihukum kerja di kebun, maka sekarang mereka memberi ganjaran setimpal kepada Yan-kin.

Tapi akhirnya Hi-tiok berkata juga, "Sudahlah aku tidak marah pada suheng, sudah sejak tadi aku mengampuni kesalahanmu."

Sungguh girang Yan-kin tidak kepalang, cepat ia menyembah pula sehingga kepalanya penuh berlepotan air rabuk yang berbau busuk, tapi sedikit pun dia tidak menghiraukan.

"Lekas bangun, suheng jangan melakukan penghormatan sebesar ini," kata Hi-tiok.

Sesudah berdiri dengan penuh hormat Yan-kin mengundang Hi-tiok ke ruang makan, ia menuangkan teh dan mengambilkan nasi dan lauk-pauk, ia melayani Hi-tiok sendiri dengan servis lengkap.

Karena tak bisa menolak lagi, terpaksa Hi-tiok membiarkan Yan-kin melayaninya. Bahkan tiba-tiba Yan-kin berbisik-bisik padanya, "Apa sute ingín minum arak? Dan daging anjing? Mau? jika mau segera akan kucarikan."

"Wah, Omitohud! Dosa-dosa! Mana boleh ini!" demikian Hi-tiok terkejut dan berdoa.

Sebaliknya Yan-kin malah mengedip dan memicingkan matanya dengan penuh rahasia, lalu berbisik pula, "Jangan kuatir, segala dosa aku yang tanggung. Biarpun segera kupergi mengambilkan untuk dinikmati Sute."

"Jangan, jangan! Perbuatan yang melanggar pantangan ini sekali kali jangan Suheng sebut-sebut lagi," cepat Hi-tiok memerintahnya.

"Jika Sute merasa tidak aman makan minum puasnya di sini, boleh juga Sute keluar biara dan turun gunung sana," ujar Yan-kin pula. "Bila nanti Kai-lut-ih tanya, biarlah kukatakan Sute sedang kusuruh pergi membeli bahan keperluan kebun, tentu akan kututupi apa yang terjadi ini, tidak perlu kuatir."

Hi tiok menjadi kurang senang oleh ucapan Yan-kin yang makin tidak pantas itu, katanya dangan goyanggoyang tangan, "Dengan sujud kau menyadari dosaku yang sudah-sudah, maka segala larangan tak berani kulanggar lagi. Apa yang Suheng katakan barusan ini jangan disinggung-singgung pula."

Tarpaksa Yan-kin mengiakan, Tapi dalam hati ia mengomel, "Huh, dasar hwesio Sontoloyo, pakai pura-pura segala."

Karena Hi-tiok sudah berkata begitu, terpaksa ia tidak berani banyak rewel lagi, gegerutu ia melayani Hi-tiok dahar apa adanya, lalu menyilahkannya mengaso ke kamar tidur Yan-kin sendiri.

Begitulah selama beberapa hari Yan-kin terus melayani Hi-tiok dengan penuh hormat dan sangat baik melebihi melayani kakek-moyangnya.

Pada hari ketiga sesudah Hi-tiok makan siang, Yan-kin menyeduh satu teko teh wangi, ia menuangkan secawan dan disuguhkan kepada Hi tiok dengan hormat.

"Ai, mengapa Suheng sedemikian sungkan padaku," kata Hi-tiok. "Aku adalah seorang berdosa yang sedang menunggu hukuman, sungguh aku merasa tidak enak bila Suheng sedemikian baik padaku."

Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara genta ditabuh bertalu-talu dan tak terputus-putus, itulah tanda berkumpulnya semua padri Siau-lim-si. Suara demikian jarang dibunyikan kecuali hari-hari penting, setiap tahun belum tentu terjadi itu-dua kali.

Muka berkatalah Yan-kin, "Hongtiang membunyikan genta untuk mengumpulkan kita mari kita pergi ke Taihiong-po-tian (pendopo utama)."

Hi-tiok menyatakan setuju dan beramai-ramai dengan belasan padri lain buru-buru mereka menuju ke ruang pendopo.

Di sana tertampak sudah berkumpul dua ratus orang sedang padri lain masih berbondong-bondong datang. Hanya dalam sekejap saja seluruh penghuni biara, sebanyak 500 orang lebih sudah berkumpul di situ dan berbaris menurut urut-urutan tingkatan masing-masing.

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongWhere stories live. Discover now