Jilid 80

2.2K 37 0
                                    

Dasar sumur itu gelap gulita, dengan sendirinya satu-sama-lain tak bisa melihat dengan jelas. Giok-yan hanya tersenyum saja dan tidak bicara pula. Dalam hati iapun sangat bahagia dan gembira. Sejak kecil ia kesemsem kepada sang Piauko, tapi tidak mendapat balas cinta sebagaimana mestinya dan baru sekarang ia benar-benar dapat menikmati rasa cinta kasih antara dua hati yang terjalin menjadi satu.

"No... nona Ong, apa sih yang... yang kau katakan di atas tadi, aku tidak mendengar ucapanmu itu," tanya Toan Ki dengan tergagap-gagap.

"Kukira engkau adalah seorang lelaki jujur dan tulus, tak terduga kau juga pintar pura-pura," sahut Giok-yan dengan tersenyum. "Sudah terang kau telah mendengar apa yang kukatakan tadi, tapi sekarang kau minta aku mengulangi sekali lagi di depanmu. Idiiih, malu ah, aku takmau katakan lagi."

Toan Ki menjadi gugup, ia coba menjelaskan: "Ti... tidak aku be... benar-benar tidak mendengar apa yang kau katakan tadi. Nah, biar aku bersumpah, jika aku mendengar, biarlah aku di..." Sampai di sini mendadak mulutnya tertutup oleh sebuah tangan yang hangat-hangat halus. Nyata Giok-yan telah mendekap mulutnya.

"Kalau memang tidak mendengar ya sudah, kenapa mesti pakai bersumpah apa segala," demikian kata si nona.

Sungguh girang Toan Ki melebihi tadi. Sejak dia kenal Giok-yan, belum pernah ia diperlakukan sedemikian baiknya oleh nona itu. Maka ia lantas tanya pula: "Habis, apa sih yang kau katakan di atas sumur tadi?"

"Aku bilang..." tapi mendadak Giok-yan merasa serba kikuk dan urung meneruskan. Ia belokkan kejurusan lain. "Biarlah kuterangkan lain kali saja. Toh hari depan kita masih cukup panjang, buat apa mesti terburu-buru."

"Hari depan kita masih cukup panjang, buat apa mesti terburu-buru!" kata-kata ini benar-benar seperti wahyu malaikat dewata yang jatuh dari langit baginya. Makna daripada kata-kata itu sudah terang menyatakan bahwa untuk selanjutnya Giok-yan akan selalu hidup berdampingan dengan dia.

Namun Toan Ki masih ragu-ragu atas pendengarannya sendiri, ia masih menegas: "Kau... kau maksudkan untuk seterusnya kita akan selalu berada bersama?"

Giok-yan merangkul leher Toan Ki dan berbisik-bisik di tepi telinganya: "Toan Ki, asal kau tidak mencela diriku, tidak marah padaku karena tempo hari aku telah bersikap dingin padamu, maka untuk selama hidup ini aku rela ikut bersama kau dan takkan... takkan meninggalkan dikau pula."

Jantung Toan Ki hampir-hampir meloncat keluar dari mulutnya saking kerasnya berdebar. Ia tanya pula: "Habis bagaimana dengan Piaukomu? Selama ini kau sangat suka padanya."

"Ya, tapi toh dia tidak pernah memperhatikan diriku," sahut Giok-yan. "Dan baru sekarang aku tahu siapakah gerangan orang di dunia ini yang benar-benar mencintai aku dan mengasihi aku, siapa yang telah memandang diriku lebih berharga daripada jiwanya."

"Kau maksudkan aku?" tanya Toan Ki.

"Siapa lagi kalau bukan kau," sahut Giok-yan. Tiba-tiba ia menangis, katanya pula: "Selama hidup Piaukoku itu selalu bermimpi akan menjadi raja Yan. Tapi maklum juga, sejak turun temurun keluarga Buyung mereka memang sudah mempunyai cita-cita yang muluk-muluk itu. Sebenarnya Piauko bukan seorang jahat, dia cuma kepingin menjadi raja, maka segala urusan lain telah dikesampingkan olehnya."

Mendengar nada si nona ada maksud membela dan mengecilkan kesalahan Buyung Hok, kembali Toan Ki berkuatir pula. Tanyanya cepat: "Nona Ong, andaikan kelak Piaukomu menginsafi kesalahannya dan tiba-tiba membaiki kau lagi, lan... lantas bagaimana kau?"

"Toan Ki," sahut Giok-yan dengan menghela napas. "Meski aku adalah seorang wanita bodoh, tapi sekali-kali bukan manusia yang bermartabat rendah. Hari ini aku sudah mengikat janji dengan kau, jika kelak aku berbuat hal-hal yang tidak baik, bukankah akan merusak nama baikku sendiri? Apakah aku tidak merasa berdosa terhadap cintamu yang murni kepadaku?"

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongWhere stories live. Discover now