Jilid 25

3.2K 47 0
                                    

Tan Cing menggeleng-geleng kepala menyaksikan itu, katanya dengan suara lantang, "Meski aku she Tan (tunggal), tapi istriku satu dan gundikku empat, anak-cucuku penuh serumah. Sebaliknya saudara Siang Wai ini, she Siang (genap, banyak) justru hidup sebatang kara tanpa teman hidup. Peristiwa ini seharusnya engkau sesalkan di masa dahulu, kalau sekarang baru dibicarakan, rasanya juga sudah terlambat. Nah, Siang-heng, kita diundang kemari oleh Be-hujin apakah tujuannya ialah untuk merundingkan urusan perjodohanmu?"

"Bukan," sahut Tio-ci-sun sambil menggeleng.

"Jika begitu, seharusnya kita membicarakan dahulu urusan Kay-pang lebih penting," ujar Tan Cing.

"Apa katamu?" tiba-tiba Tio-ci-sun menjadi gusar. "Urusan Kay-pang lebih penting, apakah urusanku dengan Siau Koan kurang penting?"

Mendengar sampai di sini, Tam-kong tidak tahan lagi, segera ia berkata, "A Hui, jika kau tidak lantas suruh dia hentikan penyakit gilanya, terpaksa aku akan turun tangan."

Mendengar sebutan "A Hui", semua orang lantas berpikir, "Kiranya Tam-poh mempunyai nama kecil yang lain. Dan nama 'Siau Koan' itu memang benar adalah monopoli si Tio-ci-sun sendiri."

Maka terdengar Tam-poh telah menjawab dengan membanting kaki, "Dia toh tidak gila, tapi engkau yang mengakibatkan dia begini, dan kau masih belum puas, ya?"

"Aneh, mengapa aku ... aku yang mengakibatkan dia begitu?" tanya Tam-kong dengan heran.

"Habis, aku menikah dengan tua bangka yang celaka seperti kau, dengan sendirinya Suhengku kurang senang ...."

"Waktu kita menikah toh aku tidak celaka dan tidak tua pula," ujar Tam-kong.

"Huh, tidak malu, memangnya kau ganteng dan bagus?" cemooh Tam-poh.

Ci-tianglo dan Tan Cing hanya saling pandang dengan geleng-geleng kepala saja. Mereka pikir ketiga tua bangka ini benar-benar tidak tahu diri, masakah dengan kedudukan mereka bertiga yang disegani dan dihormati orang Bu-lim sebagai kaum cianpwe, tapi terang-terangan bercekcok urusan asmara masa lampau di depan orang banyak, sungguh menggelikan.

Maka Ci-tianglo lantas berdehem sekali, lalu katanya, "Atas kunjungan suami-istri Tam-si dan saudara ini, kami segenap anggota Kay-pang merasa mendapat kehormatan yang besar. Sekarang silakan Be-hujin suka bicara perkara pokok dari awal sampai akhir."

Be-hujin itu sejak tadi hanya berdiri dengan kepala menunduk sambil mungkur, demi mendengar ucapan Citianglo itu, perlahan ia putar tubuh ke depan, lalu katanya dengan suara perlahan, "Sungguh malang suamiku tewas, Siaulicu (aku perempuan yang bodoh) hanya dapat menyesalkan nasib sendiri, tapi yang paling menyedihkan adalah suamiku tidak meninggalkan seorang anak pun untuk menyambung abu keluarga Be ...."

Berkata sampai di sini, suaranya agak tersendat hingga mengharukan bagi para pendengarnya. Sama-sama menangis, tangis Tio-ci-sun membuat orang merasa geli, tangis A Cu membikin orang heran, sebaliknya tangis Be-hujin membuat orang pilu.

Maka terdengar nyonya janda itu sedang meneruskan, "Sesudah Siaulicu mengebumikan layon suami, ketika berbenah barang-barang tinggalannya, tanpa sengaja di tempat simpanan kitab pelajaran silat dapat kutemukan suatu sampul surat wasiat yang tertutup rapat, di atas sampul tertulis: 'Jika aku meninggal sampai hari tua secara wajar maka surat ini harus segera dibakar, siapa yang berani membuka surat ini berani merusak ragaku ini dan membuat aku tidak tenteram di alam baka. Tapi kalau aku mati secara tidak wajar surat ini harap diserahkan kepada para tianglo untuk dibuka bersama, soalnya sangat penting, jangan keliru!'"

Berkata sampai di sini, suasana dalam hutan itu menjadi sunyi senyap, semua orang ingin mendengarkan bagaimana lanjutan ceritanya.

Setelah merandek sejenak, lalu Be-hujin menanggalkan sebuah ransel kecil yang dibawa dan mengeluarkan sebuah kantong surat dari kain minyak, dari dalam kantong surat itu kemudian dilolos keluar sebuah sampul, lalu katanya, "Inilah surat wasiat suamiku itu. Sesudah kutemukan surat ini dan melihat pesan suamiku itu sangat penting, kutahu urusannya pasti bukan urusan biasa, maka segera hendak kutemui Pangcu untuk mempersembahkan surat wasiat ini. Tapi untung Pangcu telah datang ke Kanglam sini bersama para Tianglo hendak membalaskan sakit hati suamiku, dan syukurlah karena itu juga aku belum dapat berjumpa dengan Pangcu."

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin