Jilid 48

2.7K 35 0
                                    

Ketinggalan kawanan ular itu sudah tentu tak tahu tentang membalas sakit hati majikan mereka segala, binatang itu masih terus melilit Ting Jun-jiu dan murid-muridnya untuk menunggu perintah selanjutnya dari majikan mereka. Suasana di tanah pegunungan itu menjadi sunyi senyap. Namun ular adalah makhluk yang bodoh, lama-lama bukan mustahil mereka akan mengganas sendiri tanpa komando.

Di tengah kepungan kawanan ular itu, orang-orang Sing-siok-hay tidak berani sembarangan berkutik, sebab khawatir menimbulkan reaksi ular-ular itu hingga mengamuk dan itu berarti jiwa mereka bisa amblas.

Sesudah tenang sebentar, tampaknya tiada bahaya lain lagi kecuali masih menghadapi kawanan ular itu, segera ada seorang murid Ting Jun-jiu membuka suara, "Suhu, ilmu saktimu tiada tandingannya di jagat ini, hanya sambil bicara dan tertawa saja ke-16 musuh jahanam sudah terbunuh semua olehmu...."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba seorang murid lain memotong, "Suhu, jangan kau dengar ocehannya! Justru orang yang memuji-muji 'padri sakti' dan 'Buddha hidup' kepada musuh tadi adalah dia sendiri!"

Mendadak ada di antara muridnya menangis tergerung-gerung dan bertobat, "Suhu! Ampun! Seribu kali ampun, Suhu! Memang Tecu terlalu bodoh, paling takut mati hingga sudi menyerah kepada musuh, sungguh Tecu merasa menyesal sekali. Kini Tecu lebih suka mati dalam perut ular sawa ini dan tidak berani minta hidup kepada Suhu!"

Mendengar perkataan orang terakhir itu, seketika yang lain-lain sadar. Biasanya Sing-siok Lokoay paling benci bila ada muridnya suka menjilat-jilat dan memuji secara berlebihan, jalan hidup satu-satunya bagi mereka adalah mengakui dosa dan mencaci maki diri sendiri yang tolol, dengan demikian jiwa mereka ada kemungkinan akan diampuni gurunya.

Karena itu, segera semua orang ganti haluan, semuanya menyatakan diri mereka bersalah, berdosa, dan tolol, harus dihukum mati dan macam-macam lagi, sampai Goan-ci yang mendengarkan di tempat sembunyinya itu menjadi bingung dan heran mengapa jiwa anak murid Sing-siok-pay itu sedemikian rendah, bicaranya plintatplintut seperti kentut.

Begitulah anak murid Sing-siok-pay ramai mengoceh tak keruan, tapi Ting Jun-jiu sama sekali tidak menggubris, diam-diam ia sudah mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari lilitan ular sawa raksasa. Celakanya ular sawa yang melilit dia itu seluruhnya ada dua ekor, badan ular sawa itu dapat mulur-mengkeret pula hingga untuk melepaskan diri boleh dibilang mahasulit.

Cara yang digunakan Ting Jun-jiu untuk membinasakan lawan-lawannya tadi adalah menggunakan hawa beracun dalam tubuhnya yang terhimpun selama berpuluh tahun itu. Ketika padri Thian-tiok yang pertama menyerangnya, segera ia kerahkan unsur racun itu ke bagian tubuh yang dihantam itu, dan dengan cara "pinjam tenaga untuk memukul kembali lawan", ia embuskan unsur racun itu pada saat pukulan lawan terpental. Jadi binasanya padri Thian-tiok itu bukan terkena sesuatu ilmu sihir Ting Jun-jiu melainkan disebabkan keracunan.

Sedangkan kulit ular sawa itu sangat tebal lagi licin, kadar racun Ting Jun-jiu tidak dapat menyesap ke badan ular hingga dia tak berdaya lagi.

Ia dengar anak muridnya masih cerewet tak henti-hentinya, segera katanya, "Kita terkurung oleh kawanan ular, kalau ada yang dapat pikirkan suatu akal untuk mengusir ular, segera jiwanya kuampuni. Masakah kalian tidak kenal watakku? Siapa yang berguna bagiku tentu takkan kubunuh. Tapi kalau cuma mengoceh saja tanpa berguna, lebih baik kalian tutup mulut!"

Maka terdiamlah seketika anak muridnya itu. Selang sejenak, tiba-tiba seorang di antaranya berkata, "Asal ada seorang membawakan obor dan menyelomot badan ular sawa ini, tentu binatang ini akan ketakutan dan lari."

"Kentut makmu!" damprat Ting Jun-jiu. "Di tanah pegunungan yang sepi seperti ini dari mana bisa muncul seorang membawakan obor? Andaikan ada orang lalu di sini, bila melihat ular sebanyak ini juga pasti akan lari terbirit-birit!"

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongOnde histórias criam vida. Descubra agora