Jilid 37

2.7K 37 0
                                    

"Nanti kalau aku sudah .. sudah baik, Toako, kita akan pergi keluar Gan-bun-koan untuk menggembala domba, tai apakah ... apakah adik perempuanku itu pun mau ikut?" tanya A Cu dengan suara lemah. "Sudah tentu dia akan ikut, kalau Cici dan Cihu mengajaknya, masakah dia tidak mau?" sahut Siau Hong.

Pada saat itu tiba-tiba mendeburnya air, tahu-tahu dari dalam sungai di kolong jembatan batu itu menongol keluar seorang terus berseru, "Huh tidak malu? Cici dan Cihu apa segala? Aku justru tidak mau ikut!" Orang itu bertubuh kecil mungil, berpakaian ringkas peranti renang, siapa lagi kalau bukan A Ci? Setelah salah menghantam A Cu, maka seluruh perhatian Siau Hong terpusat atas keselamatan kekasih itu hingga apa yang terjadi disekitarnya sama sekali tak diperhatikannya. Padahal dengan kepandaiannya yang tinggi itu sebenarnya dengan mudah akan dapat diketahuinya jika ada orang bersembunyi di bawah jembatan, Maka ia rada kaget demi nampak munculnya A Ci, segera ia berseru, "He, A Ci, lekas kemari untuk melilhat tacimu!" 

Mulut A Ci yang mu;ngil itu mencebir, katanya, "Aku sembunyi di bawah jembatan, sebenarnya ingin kulihat perkelahianmu dengan ayahku, siapa tahu yang kena hantam adalah Ciciku. Sejak tadi kalian terus kasak kusuk tidak habis-habis dengan berbagai kata cinta, sungguh aku tidak suka mendengarkan. Dalam cumbu rayu kalian mengapa diriku ikut disinggu-singgung?" Sambil berkata iapun mendekati mereka. Segera A Cu berkata. "Adikku yang baik, selanjutnya Siau toako akan menjaga dirimu dan kamu ... kamu juga mesti menjaga dia..."

Tiba-tiba A Ci mengikik tawa, katanya, "Hihihi, lelaki kasar lagi jelek seperti dia, mana aku harus dia?" Ketika Siau Hong bermaksud membawa A Cu ke suatu tempat untuk berteduh, sekonyong konyong ia merasa badan gadis itu mengigil lalu kepa terjulai lemas ke bawah kemudian tak bergerak lagi. Keruan Siau Hong terkejut, ia berteriak teriak A Cu! A Cu!" Tapi biarpun ia berteriak seratus kali atau seribu kali juga A Cu tak dapat menjawab dan hidup kembali. Melihat A Cu telah meninggal, A Ci juga terkejut, ia tidak nakal lagi seperti tadi, tapi berkata dengan gusar, "Engkau menghantam mati Taciku...engkau membunuh Taciku?"

"Ya, memang betul aku yang membunuh encimu. Maka kamu harus membalas dendam, lekas, lekas bunuh aku!" seru Siau Hong. Ia turunkan tangannya yang mengendong A Cu dan membusungkan dada, lalu sambungnya pula, "Nah, lekas kaubunuh aku!" I benar-benar berharap A Ci mencabut belati dan menikam dadanya, dengan demikian segala apa akan selesailah untuk membebaskan dirinya dari siksaan batin yang tiada habis-habis itu. Tapi demi nampak muka Siau Hong yang berkerut-kerut menyeramkan itu, A Ci menjadi sangat ketakutan malah ia mundur beberapa tindak sambil berseru, "Jangan...jangan kau bunuh diriku!" Siau Hong melangkah maju, ia jambret baju dada sendiri,'bret', tertampaklah dadanya yang lebar, katanya, "Nah, lekaslah bunuh aku! Kamu punya jarum berbisa, punya pisau beracun, lekas tikam mati aku!"

Di bawah sinar kilat sekilas A Ci melihat gambar kepala serigala yang tercacah di dada Siau Hong sedang pentang mulut dengan kedua taringnya yang buas, ia tambah takut, mendadak ia menjerit terus putar tubuh dan lari pergi. Siau Hong termangu-mangu di atas jembatan batu itu, dukanya tak terkatakan, sesalnya tak terhingga. Mendadak ia menghantam dengan tangannya, 'prak', segumpal batu lankan jembatan pecah dan tercebur ke sungai.

Siau Hong merasa hatinya juga seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya dan ikut kecemplung ke sungai. Ia ingin menagis, menagis sekeras-kerasnya, tapi tak dapat menangis. Ketika sinar kilat berkelebat lagi, sekilas dilihatnya air muka A Cu yang penuh kasih sayang penuh perhatian atas dirinya itu masih terbayang di ujung mulut dan alis gadis itu.

"A Cu!" teriak Siau Hong, mendadak ia pondong badan kekasih itu dan dibawa lari menuju hutan-belukar yangsunyi. Guntur masih menggelegar di angkas, hujan mencurah bagai di tuang, Siau Hong terus berlari-lari, sebentar mendaki bukit, sebentar turun ke lembah, ia tidak tahu lagi dirinya berada dimana, pikirannya kacau seakan-akan orang linglung. Perlahan gemuruh guntur mulai berhenti, tapi hujan masih belum reda.

Pendekar Negeri Tayli (天龍八部~Thian Liong Pat Poh) - Jin YongWo Geschichten leben. Entdecke jetzt