121. Lukisan Nona Belanda

3 0 0
                                    

𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜

TUGAS : Krisar
NAMA : Siti Latifah
JUDUL : Lukisan Noni Belanda
AKUN WP :  pastelkawaiiii

𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜𒆜

╔═════🎼•ೋ° °ೋ•🎼═════╗

Pada tanggal enam di bulan Juni, ibuku meninggal dengan cara yang menyakitkan. Ibu ditemukan di dalam rumah dengan darah yang berceceran di mana-mana. Terutama bagian mulut, darah tak henti-hentinya keluar. Semua orang mengira ibu bunuh diri. Aku tak bisa membantah, karena ibu memang frustrasi terlilit hutang.

Di tahun dan tanggal yang sama, ayah menyusul ibu. Setelah kepergian ibu, membuat ayah sangat terpukul. Ayah lebih sering mabuk dan berjudi. Sampai membawa wanita pulang ke rumah. Ayah mendapatkan uang dari mencuri.

Kematian ayah begitu menyakitkan. Ayah berniat menjual sebuah lukisan di rumah, yang bahkan ibu yang terlilit hutang pun, enggan menjualnya. Saat perjalanan, ayah kecelakaan. Badannya terlindas truk, dan kepalanya terpisah. Ayah meninggal di tempat.

Setelah kematian kedua orang tua kami, membuat kami sangat terpukul. Adikku bahkan sering sekali murung dan bermimpi buruk. Aku sebagai kakak, hanya bisa menyemangati adikku, bahkan aku sendiri sangat kehilangan. Untungnya, untuk biaya sekolah, saudara kami siap membantu. Biaya kehidupan kami juga ditanggung olehnya. Tapi sayangnya, dia tak bisa tinggal di rumah kami.

Adikku terus memandangi lukisan yang disukai ibu. Sebuah lukisan Noni Belanda, dengan sorot mata yang tegas nan wibawa. Tak ada senyum yang tercetak, tapi terlihat begitu rupawan, dengan topi khas wanita belanda. Noni Belanda itu, duduk di kursi bak singgasana.

"Jangan pandangi terus lukisannya, Jun. Ayo sekolah, nanti kita telat," ajakku pada Juna.

"Kalo ngeliat lukisan ini, jadi teringat ibu," lirihnya.

Ibu yang membawa lukisan itu ke rumah. Katanya, sebelum rumah ini direnovasi, dia lah yang menempatinya lebih dulu.

"Aku punya Kakak. Tapi aku masih merasa sendiri," cetus Juna.

Aku menunduk dalam. Apakah aku gagal menjadi seorang kakak?

Juna menatap sedih lukisan itu. Kemudian aku menggenggam erat tangan Juna seraya tersenyum. Sorot mata Juna terlihat sendu, aku tahu dia menyimpan banyak kesedihan di dalamnya.

Kemudian kami berangkat sekolah dengan membawa kesedihan itu.

"Kemala, lihat apa yang kubawa!" seru Mirna sambil membawa biola.

Mirna adalah satu-satunya temanku di sekolah. Dia mempunyai kelebihan yang tak bisa dimiliki orang awam. Mirna seorang indigo. Tak ada yang mau berteman dengannya, karena semuanya takut. Hanya aku yang bersedia.

Seketika aku tersenyum cerah. "Dari mana kamu mendapatkannya?" tanyaku antusias, sambil meraih biola itu.

"Anak kelas sebelah, dia pintar main biola," ujarnya.

"Ayo mainkan jika bisa," pinta Mirna.

Aku mengangguk mantap. Kutaruh biola di bahuku, lalu kumainkan. Aku begitu terhanyut pada alunan nada biola. Mataku terpejam merasakan nada-nada yang kian membuatku tenang. Kemudian aku mengakhiri nada pada biola, sembari mengembuskan napasku pelan.

Saat aku membuka mata, Mirna menatapku kagum, seraya menepuk tangannya meriah.

"Sejak kapan kamu bisa bermain biola?" tanya Mirna heran.

Krisar Member KFSINơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ