59 - Kedatangan Ezekiel

24.8K 1.9K 419
                                    

Rene di perbolehkan pulang setelah menghabiskan infusnya, dia pulang dengan di antar Lucas secara langsung. Membuat Rene, rasanya ingin sekali memeluk Lucas dan enggan melepaskannya. Tapi mengingat jika status mereka yang masih abu-abu dan Lucas yang tentu saja tidak mencintainya, Rene sungkan.

Dia hanya duduk diam di samping Lucas, keduanya malah tampak canggung satu sama lain.

"Jika kau menginginkan sesuatu, hubungi aku." Lucas menyodorkan kartu namanya, Rene pun mengangguk sembari mengambil kartu nama yang Lucas berikan. "Jangan sungkan, anakku─ maksudnya, anak kita, harus tumbuh dengan baik."

Rene menahan senyum tanpa melirik Lucas, "Iya. Aku akan menjaganya dengan baik, bahkan tidak segan mempertaruhkan nyawaku untuk keselamatannya."

"Yang utama tetap dirimu,"

"Ya, terima kasih atas perhatiannya, Lucas."

"Hm,"

Rene menatap keluar kaca jendela, hingga sentuhan terasa di perutnya, membuat kepalanya menunduk, melihat tangan Lucas yang tengah menyentuh perutnya. "Aku hanya ingin menyapa anak kita," Dan Rene mendongak. Menatap Lucas yang juga menatapnya dengan senyum tipis serta sorot lembut, Rene lagi-lagi terpana melihatnya.

Ini bukan kali pertama di pandang lembut oleh Lucas, tapi rasanya tetap saja mendebarkan. "Jika anak kita rewel, telepon aku oke? Aku akan membeli unit apartemen di dekatmu,"

"Lucas, tidak perlu berlebihan." Tangan Rene menyentuh punggung tangan Lucas yang ada di depan perutnya, "Tidak berlebihan sama sekali dan jangan sesekali kamu berpikir, aku melakukan semua ini hanya untuk anak kita. Tapi untuk kamu juga, untuk kalian berdua." Lucas berucap dengan lembut.

"Terima kasih,"

"Tidak perlu berterima kasih,"

Di kursi depan, asisten Ben mendengarkan percakapan Tuan dan Rene dengan senyum terukir di wajahnya. Dia mencengkeram setir saking gemasnya dengan interaksi Lucas dan Rene, mereka sudah melewati malam panas beberapa kali, tapi tetap saja terlihat seperti baru bertemu. Sangat canggung dan sungkan, siapa yang tidak gemas melihat mereka berdua?

"Lucas,"

"Hm,"

Rene melirik sekilas asisten Ben, membuat asisten Ben menyadarinya dari spion dalam. Dia langsung peka, dia pun menaikan partisi yang menjadi pembatas antara kursi tengah dengan kursi depan. Setelah itu, Lucas juga ikut menatap Rene tanpa menjauhkan tangannya dari depan perut Rene. "Ada apa, hm? Kau menginginkan sesuatu?"

Rene menggigit bibir bawahnya dengan ragu, "Tidak jadi!"

Dia langsung mengalihkan pandangannya bahkan tidak sengaja menepis tangan Lucas yang ada di depan perutnya.

***

Rene berbaring di atas brankar dengan memandang kartu nama Lucas, wanita itu mengambil ponselnya di atas nakas. Mengetik nomor Lucas lalu kembali menghapusnya, dia menggelengkan kepala, haruskah Rene menyimpan nomor Lucas atau tidak? Di saat tengah bimbang, ada sebuah panggilan masuk yang membuat Rene menatap bergantian kartu nama di tangannya dan nomor yang meneleponnya.

"Pucuk di cinta ulam pun tiba," ketika tengah bingung harus menyimpan nomor Lucas atau tidak, si empunya malah menghubungi lebih dulu. Rene berdehem beberapa kali, sebelum menempelkan ponselnya ke telinga dengan dirinya yang memilih untuk duduk bersandar di kepala ranjang.

"Halo?"

Di seberang sana, Lucas berjalan dengan tubuh tegapnya sembari menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu tersenyum tipis, mendengar suara Rene. "Akan ada yang mengantar makanan ke apartemenmu, habiskan semua makanannya."

"Lucas, tidak perlu repot. Aku bisa membeli semuanya sendiri,"

"Aku tidak merasa di repot kan sama sekali, habiskan semua yang sudah aku beli untukmu."

"Kalau begitu, terima kasih, Lucas."

"Sama-sama, aku tutup. Aku masih ada meeting,"

"Okei, semangat meetingnya Papa calon anakku!"

Di sana, Lucas menahan senyum, bahkan tangannya mengepal menahan rasa gemas pada wanita yang tengah mengandung darah dagingnya. "Terima kasih calon Mama dari anak-anakku,"

Kalau begini, dua-duanya jadi salah tingkah. Rene bahkan menggigit kuku menahan teriakan, setelah panggilan selesai, baru dia benar-benar teriak karena salah tingkah. "Aku bisa gila kalau begini! Kenapa juga Lucas bisa seperti itu padaku? Argh! Aku benar gila kalau begini!!"

Rene menutup wajahnya dengan bantal, dia ingin menghilangkan rona di wajahnya tapi ponselnya yang kembali berbunyi, membuat Rene melempar bantal. Wanita itu mengambil ponselnya, kali ini, bukan nomor Lucas tapi sama-sama nomor tidak di kenal. "Apa Lucas mengganti nomor? Masa iya? Barusan dia menghubungiku, tidak mungkin secepat itu mengganti nomor."

Meski bingung, Rene tetap mengangkat panggilan. "Halo?"

"Mama? Ah maksudku, Tante!"

Rene yang tadi berbaring, kembali duduk bersandar. Dia menyentuh dadanya yang berdegup kencang, suara ini, suara yang sangat dirinya kenali sebab ini suara .... "Ezekiel?"

"Ya, Tante. Ini aku, sepertinya kita tidak perlu berkenalan. Oh iya, aku ada di depan apartemen Tante, aku bawa sesuatu yang tidak sengaja Bibi pelayanku bawa."

"Di depan apartemenku?!" Rene memelotot kan matanya, wanita itu langsung turun dari ranjang dan berjalan cepat ke depan. Dia melihat memang ada Ezekiel yang menunggu dari monitor di kamarnya, bergegas dia membuka pintu.

"Selamat malam, Tante!"

"Malam, tampan. Sini masuk, oh ya, kamu datang sendirian?"

"Tidak, sama Bibi pelayan tapi Bibi pelayan aku suruh tunggu di lobi."

Rene tersenyum, dia hendak menutup pintu tapi seseorang datang dengan papper bagnya. "Nyonya, ini makanan untuk─" Asisten Ben melirik sekilas kearah Ezekiel yang duduk di sofa dan Rene menyadari ke mana arah pandang asisten Ben, Rene hanya tersenyum tipis.

"Untukku?"

"Benar, Nyonya. Ini untuk Anda,"

"Terima kasih, Ben."

"Anda mengenal saya?"

"Bukankah Lucas selalu memanggilmu dengan nama itu?"

"Ah iya, benar juga. Kalau begitu, saya pamit, Nyonya."

"Hati-hati, Ben."

Asisten Ben pergi meninggalkan unit apartemen Rene dengan menempelkan ponselnya di telinga, pria kepercayaan Lucas itu menghubungi Tuannya. "Tuan, Tuan muda Ezekiel ada di apartemen Nyonya Irene."

Di seberang sana, Lucas yang tengah duduk dengan rekan bisnisnya, mendadak berdiri. "Apa?! Astaga! Apa yang anakku lakukan di sana? Aku akan ke sana, kau tetap di sana. Pastikan tidak ada hal yang mengancam mereka, mengerti, Ben?"

"Mengerti, Tuan!"

Lucas di sana, langsung memasukkan ponselnya ke saku celana. "Aku harus pergi,"

"Luc! Kita belum selesai meeting, kau tahu kan, meeting ini sangat penting untuk keuntungan jangka panjang."

"Urusanku lebih penting dari sekedar bisnis ini,"

"Luc! Jika kau pergi, aku akan menelepon Tante Louisa sekarang juga!"

Lucas mengeraskan rahangnya, dia membungkuk dengan tangan menahan pada meja. Membuat wajah keduanya tampak begitu dekat, "Lakukan semua yang ingin kau lakukan. Aku tidak peduli, satu lagi, kerja sama kau dan aku, batal!"

"Luc! Lucas!!"

Melihat kepergian Lucas, wanita itu mengepalkan tangannya erat dengan mata memerah. "Wanita sialan itu sudah mati, kenapa sangat sulit untukmu bersikap baik padaku? Akh, sialan!!"

***

Terima kasih atas 500 komentarnya, guys!!

Yok 300 komentar untuk selanjutnya.

BYEE!!

Perpindahan Dimensi Sang Penulis Where stories live. Discover now