34 - Irene Jossi

44K 3K 11
                                    

Bangunan megah dengan 7 lantai seakan menyambut kedatangan Rene dengan sejumlah senyum manis dan sapaan hangat, tapi di sepasang mata Rene, dirinya malah melihat wajah-wajah penuh kepalsuan. Mereka menyambutnya dengan senyum manis, tapi iri dengki di dalam hati. Itu sudah terbiasa terjadi, apalagi status Rene sebagai ahli waris satu-satunya.

"Anakku!"

Rene memeluk Ayahnya dengan erat, dia sangat merindukan pria ini. Kata Duton, Ayahnya sangat menyayangi dirinya terlepas dari perceraian dengan Ibunya. Ayahnya tetaplah pria yang menjadi pahlawan untuk Rene! Bisa berperan sebagai Ayah sekaligus Ibu untuknya, Rene sangat menyayangi pria baya ini. Pria baya yang sampai detik ini masih mau mengurus perusahaan karena Rene yang belum menggantikan posisinya.

"Kamu datang sendiri, hm?" Ayah mengusap pipi Rene yang semakin gemuk dan kemerahan dengan lembut, Ayah sangat bahagia, sebab hidup anaknya di tangan Lucas pasti juga membahagiakan. "Tadi di antar suamiku, Pah. Tapi Lucas ada pekerjaan di kantor dan akan menyusul ke sini setelah pulang kantor,"

Papa mengangguk, "Ya sudah. Karena anak Papah sudah ada di sini, bagaimana kalau kita pergi masak bersama?" Bukan hal asing, jika Papa sangat suka bereksperimen dengan masakan. Apalagi semenjak dulu semasa kecil, Rene pernah GTM parah. Membuat Papa berusaha keras mencari minat anaknya agar mau makan dengan lahap, jadilah Papa macam koki sekarang.

"Mau! Ayo masak, Pah." Dengan Papa, Rene seperti bukan wanita yang sudah punya anak beranjak remaja, dia masih merasa menjadi anak kecil untuk Papa. Semua pasang mata yang menatap pemandangan di depan, berdecih sinis. Mereka selalu mengharapkan kematian dari dua orang itu tapi dewa seakan selalu melindungi mereka berdua dari maut dan kematian.

Jika kebanyakan pasang mata menatap benci pada Rene dan Tuan Jossi, maka berbeda dengan seorang kepala pelayan yang sudah mengabdikan dirinya di kediaman ini sejak puluhan tahun. Dia bekerja ketika usianya baru 16 tahun, berawal menggantikan posisi Ibunya yang meninggal karena serangan jantung hingga sekarang, Bibi kepala pelayan sudah berusia 65 tahun. Terhitung, sudah 49 tahun Bibi mengabdikan dirinya di kediaman ini.

Bibi selalu berdoa, semoga di berikan panjang umur agar dia bisa melihat orang-orang baik di sekelilingnya bahagia satu persatu. Tuan Jossi, Nona muda Jossi yang kini telah menjadi Nyonya Elguerro, dan juga cucu satu-satunya di keluarga Jossi, Ezekiel. Bibi tahu jika usianya sudah tidak muda, tapi Bibi enggan berhenti bekerja. Dia tetap bekerja di sela usianya yang semakin tua.

"Bibi! Aku akan membuat makanan, Bibi harus mencobanya nanti!"

"Benar, Kakak harus mencobanya."

Tuan Jossi sangat sopan pada Bibi meski Bibi hanya bekerja sebagai kepala pelayan di sini, itu juga karena Bibi usianya lebih tua satu tahun dari Tuan Jossi makanya beliau memanggil dengan sebutan Kakak. Di kediaman ini, Bibi tidak bekerja seperti dulu. Bibi memang kepala pelayan, tapi tidak di perkenankan untuk tetap bekerja. Bibi di perintah hanya untuk leha-leha sepanjang hari, Bibi sampai tidak enak hati.

Ayah dan anak itu sangat fokus meracik dari satu bumbu ke bumbu lainnya, Rene seakan balas dendam akan kasih sayang yang dulu tidak dia rasakan. "Pah, Papa tahu? Aku sangaaattt menyayangi Papa!"

Papa tertawa sembari mencolek kan tepung ke pipi putrinya, "Papa juga sayang cemongnya Papa ini."

"IH PAPA! AKU TIDAK CEMONG!!"

Keduanya tertawa terbahak-bahak sambil saling melempar tepung hingga mengotori pakaian masing-masing, di belakang, Bibi mengusap air matanya yang mendadak turun. Dalam hati Bibi berkata, semoga Nyonya bahagia melihat suami dan anak kesayangannya bahagia seperti ini. Saya merindukan Anda, Nyonya.

Bukan rahasia umum jika Nyonya dan Tuan Jossi telah berpisah sejak Rene masih kecil, bedanya, Tuan memilih untuk fokus mengurus putri kesayangannya ini sampai bisa sebesar sekarang. "Papa! Aku menang! Hahaha! Papa kalah!" Rene sangat bangga, melihat pizza buatannya yang sudah matang lebih dulu.

Dia juga mengejek Papa dengan menjulurkan lidahnya, Papa selain menjadi CEO perusahaan Jossi, Papa juga menjadi seorang koki yang handal. Tapi Papa sengaja mengalah agar putri kesayangannya ini bisa merasa senang, "Baiklah Papa kalah. Anak cantiknya Papa ini ingin hadiah apa dari Papa karena sudah menang?"

Rene itu beruntung.

Dia tidak hanya di ratu kan oleh suami dan anaknya tapi juga di ratu kan oleh Ayahnya. "Aku mau .... ADIK!"

"Uhuk! Uhuk! Ya Tuhan anak cantik! Mana mungkin Papa bisa memberikanmu Adik dengan membuatnya secara otodidak? Sendirian pula,"

"Makanya Papa menikah lagi terus kasih aku adik!"

Tuk!

Papa menjitak kening putrinya dengan gemas, "Papa udah tua. Udah tinggal tunggu waktu buat mati, ngapain repot-repot menikah lagi?"

Rene mengerucutkan bibirnya, "Jadi Papa maunya mati dalam kondisi duda, begitu?"

"Ya, Tuhan, sayang. Tapi anggap sajalah begitu," Rene semakin sebal, dia memakan pizza buatannya dengan sebal hingga hawa panas pizza, membuatnya melepeh kan kembali sembari mencak-mencak merasa kepanasan.

"PAPA PANAS! HUWA! LIDAH AKU TERBAKAR! PAPA TOLONG!"

Papa tertawa, tapi tetap berlari menuangkan air mineral dan memberikannya pada Rene yang kepanasan. "Haha! Astaga! Perut Papa sakit menertawakan kamu,"

"IH PAPA! AKU KAPOK NIH YA MAIN KE SINI!"

Seharian ini, Rene merasa sangat bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama Papa. Rene seperti cosplay menjadi anak kecil yang terus mengikuti kemana Papa pergi bahkan saat Papa ke perusahaan untuk meeting, Rene tetap ikut di belakang seperti anak ayam yang takut kehilangan jejak induknya. Semua pasang mata, menatap aneh pada Rene yang berjalan di belakang Papanya padahal bisa saling beriringan.

Beruntung, Papa menyadari itu. Papa menghentikan langkahnya membuat Rene menubruk punggung tegap Papa tidak keras, "Aduh! Kepalaku! Papa kenapa berhenti mendadak sih?"

"Kamu yang kenapa jalan di belakang?! Kamu ini anak Papa, sini jalannya di depan!"

Dengan senang hati, Rene memeluk lengan Papa begitu manja. Keduanya berjalan masuk ke ruang rapat dengan yang lain yang sudah menunggu, "Anakmu semakin manja, Harry."

"Anakku ini yang manja, memangnya anakmu yang galau tidak keluar-kelar sejak di tinggal mati istrinya?"

Bramasta menatap jengkel pada Harry Jossi yang tampak santai, Harry seusia dengan Ayahnya Lucas jadi Bramasta, seperti Ayah untuk Harry Jossi. "Sudahlah, bicara denganmu, aku selalu kalah."

"Dan itu menurun ke cucuku, kau juga hati-hati hipertensi. Cucuku terlalu hebat dalam berdebat,"

"Karena aku yang mendidiknya!"

"Benar, karena setan sepertimu yang mendidiknya makanya dia punya tata bicara yang sarkas dan tidak terkontrol."

"Sudahlah, Harry. Kita jadi meeting atau mau lanjut berdebat?"

"Aku sudah muak melihat wajahmu, ayo cantiknya Papa. Papa akan mengantarmu menjauh dari setan ini,"

"HARRY!"

"Aku tidak tuli, bicara dengan nada secukupnya!"

"Astaga, tidak Lucas, Ezekiel, Harry. Kenapa mereka semua begitu membuatku pusing tujuh keliling?"

***

Perpindahan Dimensi Sang Penulis Where stories live. Discover now