03 - Dimensi Kedua

107K 6.7K 88
                                    

Rene mematut pantulan dirinya di depan cermin besar sebuah kamar mandi yang terbilang sangat mewah dengan penuh ornamen keemasan yang khas dan memanjakan mata, menguras dompet. Rene menyentuh wajahnya, ini memang wajahnya. Tidak ada yang aneh dari wajahnya saat ini, tetap cantik dan mempesona setiap saat.

"Irene Red Velvet masih insecure kok kalau ngeliat wajah cantik gue, tapi kenapa tempat ini aneh?" Dia menusuk-nusuk pipinya sendiri mencoba menyadarkan apa yang saat ini tengah terjadi. Sebenarnya jika ini semua sekedar khayalan, Rene tidak perlu kaget. Bahkan tiap kali membuat halusinasi, dia akan menciptakan rumah yang lantainya ada 100 dengan seisi mirip mall.

Dia pun menghembuskan napasnya dan ketika mengingat tentang ponselnya di dalam mobil, Rene langsung membeliak kan mata. Gadis itu buru-buru keluar dari kamar mandi dan menahan napas saat Lanie muncul bak setan patung di depan pintu kamar mandi. "Lanie, kau membuatku hampir terkena serangan jantung!"

Wajah Lanie berubah pucat pasi, Rene mengerutkan kening. "Nyonya, maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengejutkan Anda, tolong maafkan saya."

"Loh? Heh! Enggak! Aku bercanda," dalam hati, Rene menggerutu baperan banget sih, gitu doang langsung panik. Panik ga? Panik ga? Panik dong, masa enggak, jiakh. Batinnya sembari menahan senyum, eh tunggu─ "Lanie! Mobilku di mana?"

Sekarang, gantian Lanie yang mengerutkan kening. "Mobil? Mobil Anda ada di garasi, Nyonya."

Langsung saja Rene berlari keluar kamarnya menuju garasi, dia melalui jalan yang asing untuknya tapi kerennya, Rene tidak tersesat dan sampai ke garasi dengan sehat. Dia pun menatap sekeliling garasi yang penuh mobil mewah, "Wah! Mobilnya banyak amat, tapi di mana mobil gue? Apa sembunyi ya? Mobil gue pasti insecure nih ada di sini, makanya dia berkamuflase macam gajah nih."

Berbeda dengan Rene yang kesulitan menemukan keberadaan mobilnya yang bahkan tanpa Rene tahu, mobilnya sudah di bakar dengan mengenaskan oleh asisten Ben. Di dekat pintu garasi, seorang pengawal yang biasa berjaga dengan keliling kediaman, meneguk susah payah air liurnya. Pria itu mencoba mengalihkan pandangan tapi rasanya sulit mengabaikan keindahan di depan mata meski belum tahu siapa wajah dari belakang tubuh yang dia lihat.

Hingga sesuatu yang keras terasa menekan pelipisnya, "Tundukkan kepalamu atau aku hancurkan kepalamu."

Buru-buru si pengawal menundukkan kepala dengan wajah yang berubah pucat pasti, apalagi saat mendengar ucapan selanjutnya. "Kau tahu siapa yang sejak tadi kau pandangi?"

"S-siapa?"

"Nyonya muda El Guerro,"

Deg.

"Tuan! Tuan saya mohon maafkan saya!"

Di depan sana, Rene hendak menoleh saat mendengar suara permintaan maaf yang cukup keras tapi kedatangan Lanie sembari berteriak, turut mengejutkan Rene. "NYONYA! ANDA BELUM BERPAKAIAN!"

"Oh shit!" Rene bergegas pergi dari garasi, dia lupa jika hanya memakai handuk yang menutupi dada hingga setengah paha. Wajahnya pun saat ini sudah sangat memerah seperti kepiting rebus, rasanya sangat malu, belum lagi suara permintaan maaf tadi adalah suara berat khas pria, apa ada pria yang telah melihat dirinya dengan handuk begini? Oh tidak! Rene merasa sangat malu dan tidak berani menampakkan wajah.

Lanie mengerti Nyonya yang sedang malu dan kehilangan wajah untuk keluar kamar, makanya Nyonya memilih mengunci pintu kamarnya dan melarang Lanie untuk ikut masuk ke dalam. Dengan menekan earphone di telinganya, Lanie pun terhubung dengan asisten Ben. "Asisten Ben, Nyonya mengurung diri karena merasa malu dengan kejadian di garasi."

"Biarkan dulu, saya sedang mengurus dia yang lancang."

Di sisi asisten Ben, pria itu menatap dingin pada pengawal yang tadi dia todongkan pistol di kepalanya dan kini, sudah jatuh bersimbah darah dengan 3 peluru di kepala. "Kau terlalu lancang, makanya aku mengantarmu pada kematian jauh lebih cepat."

***

Rene rasanya ingin berteriak saking malunya, dia bahkan masih memakai handuk dengan mengurung seluruh tubuhnya di dalam selimut. "Aku malu! Walau aku sering berhalusinasi, bukan berarti aku pernah berhalusinasi untuk mempermalukan diri sendiri!" Dia menendang selimut hingga selimut yang menutup kepala, kini sudah tidak lagi.

Dia menatap lurus ke langit-langit kamar yang dominan putih, "Ini apa maksudnya? Ini semua jelas bukan halusinasi apalagi mimpi, mereka semua adalah nyata ada di sekelilingku. Tapi yang perlu dipertanyakan, aku di mana?"

Dia menggigit bibir bawahnya, sebagai manusia yang manusiawi, Rene jelas membutuhkan seorang informan. Dia pun memilih untuk membuka pintu yang di dalamnya terdapat sekumpulan lemari, Rene memakai dress yang menurutnya cukup tertutup tapi sederhana juga tidak menyusahkan. Setelah mengurai rambutnya, Rene berjalan keluar kamar.

"Kamjagiya! Aih, untung enggak jantungan." Rene mengusap dadanya, menatap Lanie yang ada di depan pintu. "Ah iya! Aku mau tanya sesuatu, ikut aku." Rene menarik tangan Lanie masuk ke dalam kamarnya, gadis itu memaksa Lanie untuk duduk di tepi ranjang, tidak peduli dengan Lanie yang menolak dengan sopan sembari mengatakan, dia bisa berdiri saja.

"Diam deh! Aku mau tanya," Rene berdiri dari duduknya, dia pun mengunci pintu agar tidak ada yang sembarangan masuk. Semakin aneh saja Lanie melihat tingkah sang Nyonya, "Lanie! Aku mau tanya, kenapa kalian panggil aku Nyonya muda La Elguerro?"

Meski keningnya berkerut bingung, Lanie tetap menjawab. "Karena Anda memang Nyonya muda La Elguerro, Nyonya."

"Sejak kapan?!"

"Sejak lima tahun lalu," Rene menganga tak percaya mendengarnya, seingat Rene, mau 5 tahun lalu atau 10 tahun lalu pun, dirinya tidak pernah mengenal nama La Elguerro karena sibuk dengan dunia kepenulisannya. "Kamu bercanda? Aku tidak pernah mengenal nama La Elguerro!"

"Saya mengerti, Nyonya." Lanie tersenyum dan pamit untuk kembali kepada tugasnya, sedangkan Rene yang ditinggalkan, melamun dengan pandangan lurus. Hingga suara dari arah belakang, membuat Rene menoleh sembari memelotot kan matanya. "Siapa kamu?!"

"Aku akan menjawab semua kebingunganmu,"

"Semua kebingunganku?"

"Ya! Tentang siapa kamu dan di mana kamu sekarang,"

Rene pada akhirnya diam, dia cukup tertarik dengan apa yang akan di sampaikan. "Kau adalah Irene Jossi,"

"Memang, aku memang Irene Jossi."

Sosok itu menepuk keningnya, "Maksudku. Di sini kau Irene Jossi,"

"Iya! Aku memang Irene Jossi, memangnya kenapa?!"

"Irene, kau adalah kau di sini, di dimensi kedua. Dimensi yang sama dengan duniamu tapi berbeda,"

"Sama tapi berbeda?"

"Anggap saja, kau di satu dimensi yang sama seperti sebelumnya tapi dengan Irene Jossi yang baru."

"Yang baru? Apa bedanya dengan Irene Jossi lama?"

"Kau bukan sebatang kara di sini, kau punya suami dan seorang anak. Kau bukan lagi gadis yang bebas melakukan hal sesukamu, kamu di sini adalah wanita dewasa yang menyandang status sebagai istri juga seorang Ibu. Gunakan peranmu dengan baik di sini, karena kau .... Abadi di sini,"

"Abadi? Apa aku bisa mati?"

***

Cerita ini akan menguras otak karena banyak misteri yang harus di pecahkan.

Jika merasa tidak mampu, di harap jangan mengeluarkan kata kasar yaps, arigato

JANGAN LUPA SPAM KOMENT!!

Perpindahan Dimensi Sang Penulis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang