35 - Hidup Abadi

39.4K 2.7K 90
                                    

"Bye, Papa! Love you,"

"Love you too, sayangnya Papa."

Rene melambaikan tangannya melepas kepergian sang Papa, dia juga melangkah masuk ke kediamannya dengan riang seperti biasa tapi tidak mengurangi sifat anggunnya di mata semua orang. "Nyonya,"

"Lanie! Siapkan air hangat ya, aku ingin menghabiskan waktu dengan berendam!"

"Baik, Nyonya."

Di sekolah Ezekiel, anak laki-laki Rene itu tengah mendribble bola dan melemparnya ke dalam ring dengan lincah. Dia terus melakukan hal yang sama berulang kali hingga keringat bercucuran di keningnya, Ezekiel berjalan keluar lapangan sembari melepas kaos olahraga yang dia kenakan lalu melemparnya asal.

Yang sialnya, kaos olahraga yang Ezekiel lempar, kini malah jadi bahan rebutan para gadis remaja. "Aku yang mendapatkannya lebih dulu!"

"Aku! Kau jangan memanipulasi! Awas!"

"Aku yang mendapatkannya! Kalian yang penipu!"

Ezekiel baru 11 tahun, tapi gadis yang mengejarnya sudah begitu banyak bahkan terlihat mengerikan atas obsesi mereka. Ezekiel yang selalu tenang pembawaannya, duduk di tepi lapangan sembari membuka sebotol air mineral yang sahabatnya berikan. "Kau memiliki banyak penggemar, El. Bagaimana jika kita sudah masuk menengah atas? Apa kau akan jadi aktor?"

"Hentikan ucapan tidak berbobotmu, Jay."

Jay terkekeh, "Aku bercanda! Kau selalu saja membawa semua ucapanku serius, menyebalkan sekali. Oh ya! Bagaimana kalau pulang sekolah nanti, kita mampir ke rumahku? Mama masak banyak, aku juga akan mengajak yang lainnya."

"Aku malas,"

"Ayolah, El. Masa kau tidak mau ikut? Apa kau tidak merindukan Joanna?" Jay menarik turunkan alisnya, bukan hal mengejutkan jika Joanna yaitu Adik Jay, menyukai Ezekiel dan Ezekiel selalu memberinya perhatian seakan menunjukkan, jika Ezekiel juga menyukai Joanna. Padahal yang terjadi, Ezekiel hanya menganggap Joanna sebagai Adik untuknya saja karena Ezekiel ini anak tunggal kaya raya.

"Tidak, aku harus langsung pulang."

Mama sudah janji akan membuatkan puding untuk Ezekiel, jadi Ezekiel ingin bergegas pulang ke rumah setelah selesai sekolah. Tapi Jay tidak kehabisan cara untuk membujuk Ezekiel agar mau main ke rumahnya sepulang sekolah, "El. Nanti kita bisa main PS berdua!"

"Tidak bisa, Jay. Aku harus pulang,"

"Ezekiel, kau sangat tidak setia kawan!"

Ezekiel mencibir, melihat Jay yang pergi seperti anak perempuan saja. Tanpa memperdulikan Jay, Ezekiel ikut pergi meninggalkan lapangan menuju ruang ganti. Tangannya hendak mendorong pintu sebelum tangan lain menahan tangannya, secara refleks, Ezekiel menepis tangan lancang yang telah menyentuh tangannya tanpa izin.

Di tepis oleh Ezekiel, si empunya tersenyum canggung. "Maaf, Kak. Saya datang hanya ingin menyampaikan pesan dari Bu Talia,"

"Apa?" Ezekiel menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu, kedua tangannya dia lipat di depan dada. Melihat pemandangan di depannya, siswi itu menekan keras rasa gugupnya.

"Kakak di minta untuk menemui beliau sepulang sekolah,"

"Ya," Ezekiel langsung masuk ke dalam ruang ganti, meninggalkan si siswi yang hampir terjatuh saking lemasnya tertabrak pesona seorang Ezekiel.

Sepulang sekolah, Ezekiel benar-benar menemui Bu Talia karena ada hal yang katanya ingin di bicarakan. Dia menatap Bu Talia dengan satu alis terangkat, kepribadian Ezekiel yang malas bicara dan bergaul, memang sudah di ketahui semua warga sekolah tanpa terkecuali. Mereka terbilang mulai terbiasa dengan segala sikap dingin Ezekiel.

"Ezekiel, Ibu ingin minta tolong akan satu hal padamu." Tatapan Bu Talia beralih pada seorang gadis yang sejak tadi sibuk meniup-tiup kuku panjangnya. "Dia namanya Eireen, murid baru di sini pindahan dari Korea Selatan. Ibu harap, kamu bisa membimbingnya untuk mempelajari materi yang tertinggal untuknya."

"Aku sibuk,"

"Ezekiel, Ibu sudah bicara dengan Ibumu dan Ibumu setuju, malah menyarankan."

Ezekiel berdecih sinis, mereka selalu tahu kelemahan dirinya. Dia pun terpaksa mengangguk, "Baiklah. Eireen, kamu bisa ikut Ezekiel berkeliling sembari Ezekiel akan menjelaskan beberapa ruangan padamu."

Yang terjadi bukan apa yang Bu Talia katakan, Ezekiel malah berjalan meninggalkan Eireen yang juga memutar arah menuju parkiran. Keduanya sama-sama pergi dan mengabaikan apa yang Bu Talia ucapkan sebelumnya.

***

"MAMA! KOLOR KUNING AKU DI MANA?!"

Rene dengan apron yang di pakainya, menghela napasnya berat. "ADA DI LEMARI, SAYANG! CARI BAIK-BAIK! PAKAI MATA! JANGAN PAKAI EMOSI!"

"ENGGAK ADA MAMA! CUMA ADA YANG UNGU!"

"Ya Tuhan anakku," Rene berjalan memasuki lift menuju kamar anaknya, Ezekiel yang melihat sang Ibu masuk ke dalam lift, buru-buru menaiki tangga menuju kamarnya di mana tadi, dia berteriak di undakan tangga lantai 2. Anak tampannya Rene itu dengan yakin menunjuk lemari hingga matanya melotot saat melihat keberadaan celana kolor yang dirinya cari.

"Kok ada?!"

Rene sangat gemas pada anaknya, ingin sekali dia mencubit kuat-kuat kedua pipi anaknya. "Makanya, cari tuh pakai mata! Jangan pakai mulut, teriak saja bisanya!"

"Hehe, peace, Mam. Love you,"

Rene menggeleng pelan, "Love you too, sayang. Sekarang bersiap terus turun ya ke lantai bawah, Mama tunggu di sana."

"Okei, Mama!"

Di dapur, Rene kembali berkutat dengan alat-alat tempurnya. Dia juga melarang pelayan lain untuk membantunya, di tengah kerepotannya, sebuah asap putih muncul tidak jauh. "Halo Irene! Sudah lama aku tidak mengganggu dirimu,"

"Diamlah, Duton. Mau apa kau datang?"

Tanpa Rene tahu, Duton mengusap dagunya. "Kau galak sekali, seperti seseorang yang bisa bertahan hidup sendirian. Padahal tanpa aku, kau bukan siapa-siapa di sini."

Menghela napas berat, Rene mematikan kompor dan melepas pisau dari tangannya, dia berbalik badan untuk berhadapan langsung dengan asap putih itu. "Iya oke, oke. Maaf ya, Duton tersayang. Sekarang aku ingin bertanya, kenapa pagi-pagi buta begini kau datang? Apa ada masalah sampai kau menemuiku pagi seperti ini?"

"Sebenarnya, tidak ada masalah. Aku hanya ingin melihat dirimu membutuhkan aku,"

"Duton, jangan macam-macam! Terakhir kali karena ulahmu, kau membuatku hampir hilang rasa percaya pada Lucas!"

"Bagaimana kalau kebalikannya?"

Aih! Andaikan sosok Duton bisa dirinya lihat dan sentuh, ingin sekali Rene memiting lehernya. "Jangan coba-coba berpikir untuk memiting leherku, kau sangat pendek dan aku sangat tinggi. Kau tidak akan bisa menggapai leherku," Duton berkata dengan wajah yang tanpa Rene tahu, sangat menyebalkan.

"Sombong sekali Duton yang satu ini,"

Duton tertawa, dia senang menjahili Rene yang galak. "Irene, aku tidak pernah bosan mengatakan padamu. Jangan terlalu mencintai Lucas, kita tidak tahu akan bagaimana takdir untuk ke depannya. Kau juga abadi, kau akan melihat satu persatu orang di dekatmu mati."

Rene mendadak termenung, "Apa anakku juga termasuk? Bisakah kau buat anakku abadi juga? Aku tidak akan pernah siap jika harus kehilangan dirinya,"

"Bisa, tapi ada syaratnya."

"Syarat? Aku akan memenuhi semua syarat itu agar anakku juga bisa hidup abadi!"

***

SPAM KOMENT UNTUK NEXT!!

Perpindahan Dimensi Sang Penulis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang