09 - Keahlian Sang Penulis

Mulai dari awal
                                    

"Tuan!"

Asisten Ben mendekati Tuannya, dia sedikit jengkel karena si musuh memiliki nama yang sama dengannya, hanya nama depan saja yang sama. "Ada apa?"

"Nyonya dalam perjalanan menuju perusahaan!"

"Oh shit!"

Lucas berlari menuju helikopter yang selalu siaga, dia masuk dan meminta untuk bergegas tiba ke perusahaannya sebelum sang istri tiba. Di sisi Rene, wanita itu menatap keluar kaca jendela, dia ingin bertanya langsung pada Lucas tentang Ibu yang mana yang Lucas dan Ezekiel maksud. Jika ada Ibu lain, apa itu juga istri Lucas yang lain?

Jika iya, Rene tidak akan membiarkan semua itu terjadi.

Rene ingat sesuatu, "Tanggal berapa sekarang?"

"Iya? Tanggal? Sekarang tanggal dua belas, Nyonya." Ucap Lanie meski ada rasa bingung di dirinya saat sang Nyonya menanyakan sesuatu yang cukup aneh.

Tanggal 12? Rene berpikir keras, di dimensi pertama, apa yang terjadi pada tanggal 12 di bulan ini? Yang entah kenapa bisa, sejak pindah dimensi, ingatannya yang biasa mudah keliru, kini malah semakin tajam dan jeli. Dia mengingat, jika di dimensi pertama pada tanggal ini, dia sibuk membuat alur cerita novelnya karena sebentar lagi akan tamat.

Duton bilang, ingatan dimensi pertama selalu terhubung dengan kejadian pada dimensi kedua. Dua dimensi itu seakan di takdirkan untuk saling berhubungan satu sama lain, Rene berpikir, apa kejadian yang dia buat dalam novel, akan terjadi juga hari ini? Rene tidak yakin, dia pun mengangkat bahunya acuh tak acuh. Rene memang aneh, dia datang ke perusahaan suaminya karena tahu Lucas akan lembur.

Jam? Ya! Sekarang sudah jam 9 malam, Rene tidak bisa tidur. Mau melakukan pendekatan dengan Ezekiel, tapi bocah itu tidak ada di kediaman dan tidak ada yang tahu Ezekiel di mana. "Lanie, aku akan masuk sendiri jadi kamu tunggu di mobil atau kantin saja." Ucap Rene yang jelas langsung dipatuhi oleh pelayan pribadinya itu.

Dia pun di temani Lanie sampai ke depan lift dan masuk sendiri ke lantai atas. Di depan pintu terakhir ruangan Lucas, Rene memejamkan matanya sejenak sembari mengatur napasnya.

Ceklek.

"Ups, sorry."

Dihadapannya, seorang wanita segera berdiri menjauhi Lucas. Bukan pemandangan ketika melihat wanita itu duduk diatas pangkuan Lucas yang mengejutkan Rene tapi kejadian yang sama persis dengan apa yang dia simpulkan sebelumnya. Kejadian novel yang dia tulis pada tanggal 12 ternyata menjadi kejadian nyata yang terjadi.

Kartu identitas yang tergantung di lehernya membuat mata Rene sedikit menyipit. Sepertinya, memberi sedikit bumbu agak menyenangkan untuk mengurangi rasa kesalnya pada pemandangan kali ini. "Friska, bukankah kau seorang Sekretaris terpelajar? Menyelesaikan sekolah tinggi dengan nilai bagus, lantas kenapa kau menjadi seperti pelacur murahan?"

Menjadi seorang penulis, membuat Rene sangat pandai mengatur kata yang akan dia ucapkan. Memberi sentuhan tajam, pedas, dan menyindir memang sangat mudah untuknya. Bahkan memainkan ekspresi dengan gerakan tubuh begitu mudah Rene lakukan untuk mengecoh lawan.

Saat bibir merah merona itu hendak terbuka, Rene sudah lebih dulu menyela. "Wajahmu tak terlalu buruk, pria tampan ada jutaan di negeri ini, lalu kenapa suamiku masih kau incar? Ingin harta atau ingin kehangatan diranjang? Oh, atau keduanya?"

Kaki jenjang itu melangkah mendekati Friska, mengangkat dagu wanita itu dengan jari telunjuknya. Dengan gerakan tak terbaca, Rene meraih gelas yang ada diatas meja kerja Lucas lalu ....

Prangg!

Gelas berisi kopi panas itu pecah setelah dibenturkan dengan sangat keras tepat ke kepala Friska. Rene menyeringai dalam hitungan detik yang langsung pudar lalu digantikan dengan raut kaget yang dibuat-buat. "Oh God! Maafkan aku Friska, aku sengaja. Membuat kepala mu agar bisa berpikir dengan benar,"

"Ingatlah, pria yang kau goda itu suamiku. Pria gagah yang selalu mencari kehangatan bersamaku diatas ranjang, aku cukup mahir dalam hal itu jadi jangan mencoba untuk menggoda suamiku. Harta? Sepertinya aku memiliki banyak, bahkan kelebihan. Ada niat untuk menggoda diriku juga?"

Tajam, benar-benar tajam dan sangat menyentil harga diri. Bahkan Friska yang kepalanya terluka karena pecahan gelas pun tak bisa memudarkan sorot benci dan malu dimatanya. Tapi sayangnya, Rene menyukai sorot itu dan semakin semangat untuk mempermainkan emosi lawannya.

Ah, bukan kah itu kelebihan seorang Rene? Membuat emosi seseorang campur aduk, seperti emosi para pembaca nya yang mengeluh banyak hal. Kini, waktunya Rene membuktikan secara live. Memporak-porandakan emosi lawannya hingga dia menyerah dengan akhir kematian. Sungguh menyenangkan bukan?

Seakan mati kutu, Friska hanya diam dengan sorot kebencian juga kesakitan karena darah terus menetes dari keningnya.

***

Perpindahan Dimensi Sang Penulis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang