57. Cecil Vs Robin (A)

173 58 7
                                    

BRAKKKK!!

DEMBLURRRR!!

Suara hantaman lagi - lagi terdengar. Kali ini peserta nomer urut tujuh yang berdiri di atas stadion. Boby Pattison meremat dadanya yang terasa nyeri. Pukulan lawannya Helena Dick benar - benar terasa menyakitkan bahkan saking kerasnya lantai stadion itu retak.

Boby menggertakkan rahang, ia lalu bangkit sembari mengeluarkan bola api lalu menembakkannya ke rivalnya. Tak hanya satu atau dua, melainkan ia tembakan secara bertubi - tubi nyaris seperti hujan api.

"Shit, apa dia ingin membakar stadion ini?" Gumam salah satu siswa yang menonton.

"Dia tidak ingin membakar. Tapi meledakkan." Timpal teman yang lain.

"Bangsat. Dia sudah gila." Gerutu siswa lain yang sontak mengeluarkan air memadamkan api yang melesat nyaris mengenai kursinya.

"Dari dulu dia memang gila."

Bola api masih terus Boby lesatkan. Tetapi lawannya benar - benar terlihat lihai dan cekatan dalam menghindari hujaman api yang terus dia layangkan. Helena dengan tubuh lenturnya mampu menghindari serangan demi serangan. Perempuan itu meliuk - liukkan tubuhnya dengan gemulai dan tanpa beban nyaris seperti berakrobat.

Kepalanya melunting, tubuhnya meliuk dan dia semakin berjalan maju seolah tubuhnya begitu ringan, seringan bulu mendekati Boby yang terus menembakkan apinya lalu sedetik kemudian dengan cepat dan tak terduga, perempuan itu mengangkat kakinya lalu memberikan tendangan padanya.

Sekali lagi Boby terhuyung mundur. Wajahnya sudah bonyok namun perempuan yang menjadi lawannya benar - benar masih terlihat cantik seolah sama sekali tidak ada luka di kulitnya.

"Boby sayang, apa trik apimu hanya seperti itu?" Helena melompat lalu duduk anggun di atas pion besi bersimbol Black Militer sembari menyilangkan kedua kakinya. Dia  mengerlingkan mata pada lelaki bertubuh dua kali lipat lebih besar darinya. Terkekeh, perempuan itu  menunduk mengejek lawannya.

Boby mendengkus. Lagi - lagi perempuan ini mengejeknya. Ohh ya ampun, masa dia kalah dengan seorang wanita yang kekuatannya bahkan hanya bisa melenturkan tubuh seperti karet. Sementara dirinya adalah penguasa api. Api dapat membakar segalanya, tapi kenapa dirinya terasa tidak berdaya?

"Bukan kekuatannya yang lemah. Hanya saja dia belum bisa mengeksplore kemampuannya." Sebastian berkomentar. Seperti biasa dia duduk bersebelahan dengan soulmatenya. Leon.

"Ya, tapi dia memang payah." Sahut Leon yang tengah asik menjilat permennya. Di belakang Leon, duduk Bernard salah satu budak setianya yang memijati bahu tuan mudanya.

"Bernard minggir! Biar aku yang memijat pundak Leon." Trinity dengan cepat menghampiri. Dia menepuk tangan Bernard sebagai isyarat agar laki - laki itu pindah posisi lalu biarkan dia yang melayani calon suami impiannya.

Bernard mendengkus. Sementara Leon sama sekali tak keberatan. Siapapun yang memijat baginya sama saja.

Dengan senyum yang mengembang, gadis berambut merah itu msngusap - usap pundak Leon. Bukannya memijat, namun lebih seperti ke elusan. Merangsang tubuh Leon dengan belaian menggoda.

"Hee Trinity, kenapa pijatanmu seperti bayi? Tidak terasa sama sekali."

"Ini yang dinamakan pijatan wanita Leon." Balasnya. Trinity sengaja memajukan tubuhnya sembari berbisik dan terus menelusurkan tangannya ke pundak dan bahu Leon. Membelai penuh goda.

"Itu pijatan bayi." Balas Leon seketika.

Sebastian di sampingnya tertawa, "Leon, apa kau tidak tahu maksud dari Trinity?"

"Apa?"

Sebastian tersenyum, dia mendekat lalu membisiki Leon, "Dia ingin mengajakmu tidur."

"Aku tidak ngantuk."

Black MilitaryTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon