28. Datangnya Jenderal Aiden

261 64 4
                                    

Rintangan ke tiga, menaikki tebing mengambil lencana Black Militer. Hari masih gelap ketika anak - anak itu sampai ke rintangan yang terakhir. Tebing setinggi lima puluh meter dengan kemiringan sembilah puluh derajat yang berada pada lembah yang diapit oleh dua buah bukit terjal.

Seperti kedua rintangan sebelumnya, dalam panjat tebing ini mungkin tidak sesederhana yang mereka kira. Para murid sudah was - was, mereka tidak mau mengambil kesalahan yang sama dengan secara tergesa menggunakan kekuatan mereka demi cepat sampai.

Yang bisa terbang, sengaja mengetes tebing itu terlebih dahulu dengan melemparkan batu ke atas. Menguji apakah di atas tebing itu ada kekuatan tak kasat mata yang menghalangi kemampuan terbang mereka.

Dan benar saja. Begitu batu - batu mereka lemparkan, batu tersebut terpantul lagi dan jatuh, bahkan batu - batu itu pecah, berubah menjadi serpihan - serpihan kecil. Oleh karena itu terpaksa mereka menggunakan cara manual.

Melemparkan tali yang telah disediakan, beberapa anak termasuk Sabin dengan hati - hati memanjat tebing itu. Namun tak sedikit pula yang dengan cerdas menggunakan ilmu sihir mereka untuk dapat melampaui tebing dengan cepat.

Bukan teleportasi. Karena bagaimanapun melakukan teleportasi dalam ujian kecil seperti ini dianggap sama dengan kecurangan. Melukai harga diri mereka. Oleh karena itu anak - anak yang mempunyai kemampuan teleportasipun enggan menggunakan kemampuan itu. Ya, meskipun tidak ada peraturan tertulis yang menyatakan bahwa itu dilarang, namun semua anggota akademi ini sudah mengetahui dan menyadari diri. Oleh sebab itu mereka memutar otak menggunakan keahlian lain.

Seperti saat ini, tiga orang siswa yang memiliki kemampuan serangga mengubah diri mereka menjadi serangga dan dengan mudah berjalan merayap naik ke atas tebing. Ada juga yang meloncat - loncat dengan lincah dari satu pohon ke pohon lain untuk kemudian melompat tinggi ke atas tebing. Ada juga yang hanya menggunakan tangan kosong dan kedua kakinya merangkak memanjat tebing layaknya memanjat pohon. Ada juga yang dengan tenang menempelkan kedua kakinya ke tebing lalu berjalan miring ke sana. Bibirnya tersenyum, sebelah alisnya terangkat sombong mengejek teman - temannya yang dengan susah payah naik.

"Dasar sombong, ku sumpahi kakimu patah."

"Ku harap dikabulkan, jika tidak kau akan menangis kecewa." Balasnya sembari menertawakan temannya.

Kini banyak siswa maupun siswi sudah mulai berebut untuk mengejar waktu, mereka sadar jam sudah akan menunjukkan pukul lima dan sebentar lagi matahari akan segera terbit. Oleh karena itu mereka tak segan saling dorong dan tikung menikung untuk secepatnya sampai ke lokasi. Apalagi setelah berada di atas, lencana Black Militer bukan langsung terpampang, namun mereka juga butuh waktu untuk mencarinya.

Sabin sudah sampai di atas. Dia melongok mencari keberadaan teman - temannya. Ia pun menghela nafas lega saat melihat keberadaan Maria yang sudah sampai ke arena panjat tebing, namun sedari tadi dirinya tak melihat keberadaan Cecil.

"Walaupun Cecil nantinya terlambat, setidaknya dia bisa selamat." Gumamnya. Ya melihat berbagai rintangan yang tentunya sangat sulit untuk dilakukan manusia biasa, ia hanya bisa berharap bahwa kondisi Cecil masih baik - baik saja. Sabin takut bahwa Cecil tidak bisa melewati arus sungai yang deras itu.

Sabin menghela nafas. Dia jadi merasa bersalah. Sehrusnya dia menunggu anak itu bukan?

"Tuhan, semoga teman - temanku selamat." Harapnya sebelum kemudian berbalik untuk mencari lencana Black Militer.

***

Menahan perih di perutnya, Maria mendongak menunggu anak - anak yang saling berebut. Berdiri seperti ini, dia bahkan sudah nyaris oleng.

"Maria, kau tidak segera naik?" Seorang laki - laki bertanya penasaran melihat gadis itu yang sedari tadi hanya berdiri menunggu. Padahal jumlah orang yang berada di tebing sudah mulai sedikit.

Black MilitaryWhere stories live. Discover now