53. Side Story Leon

226 47 4
                                    

Apa yang terjadi dengan dirinya?

Leon termenung merasakan sekujur tubuhnya entah kenapa tiba - tiba menjadi engap. Kulit wajahnya mendadak memerah sudah seperti kepiting rebus. Lalu tubuhnya juga tiba - tiba berdesir kala anak baru yang bernama Cecil itu mendekatinya  dengan jarak yang begitu dekat. Dirinya tiba - tiba juga menjadi kikuk sendiri, tidak tahu harus melakukan apa saat perempuan itu mendongakkan kepalanya menatapnya dengan matanya yang lebar serta iris cokelatnya yang berkilat menantang. Lalu.... Dirinya tiba - tiba menelan ludah kala tak sengaja melihat bibir mungil berwarna merah delima itu. Rasanya semakin membuatnya merinding.

Leon bergidik ketika pemikiran itu terus menerus mengikutinya. Dia mencoba mengerjapkan matanya untuk fokus tetapi lagi - lagi bayangan wajah Cecil August kembali menyerangnya.

Benar - benar membuatnya takut. Dan jantungnya pun entah kenapa berdetak lebih cepat daripada yang seharusnya.

Ini benar - benar buruk.

"Apakah aku sakit?" Leon termenung. Dia memegangi dadanya yang masih berdentum hebat. Setelah perdebatannya dengan gadis cebol itu, Leon merasakan tubuhnya panas dingin, kulitnya pun terasa engap dan memerah. Entah kenapa dia seolah kehausan. Padahal ini sudah lebih dari lima jam sejak perdebatannya dengan Cecil August.

Dia sedang tidak marah. Emosinya pun juga tidak sedang meluap - luap. Tetapi kenapa reaksi tubuhnya menjadi seperti ini?

Bahkan permen dua bungkus pun tidak bisa meredakan reaksi tubuhnya.

Jantungnya masih terus seperti habis lari marathon saat teringat akan si anak baru itu.

"Aku harus memeriksakannya." Gumam Leon lagi. Pria itu bangkit dan keluar dari kamar asramanya hendak menuju ruang perawatan. Namun langkahnya terhenti saat Sebastian memanggilnya.

"Yo Leon, kau mau kemana?" Tanya Sebastian. Pria itu mendekat lalu  merangkul pundak Leon seperti biasa.

"Menemui Miss Canva." Jawabnya.

"Untuk apa?"

"Sepertinya aku sakit." Jawab Leon yang seketika membuat kening Sebastian berkerut. Pria itu lalu melepas rangkulannya kemudian mengamati Leon seksama.

Sakit?

"Kau terlihat baik - baik saja."

Leon seketika menggeleng, "Tidak. Apa kau tidak lihat? Aku tiba - tiba saja berkeringat." Jelasnya sembari menunjuk keningnya yang terbukti mengeluarkan setitik keringat, "Padahal aku sama sekali tidak berolah raga. Lalu lihat!" Dia kemudian mundur, menunjuk dirinya sendiri dari atas sampai bawah mengisyaratkan agar temannya mengetahuinya, "Tubuhku terasa panas dingin. Rasanya engap. Kulitku yang putih jadi berwarna merah bukan?"

"Apalagi wajahku."

Kerutan di dahi Sebastian semakin bertambah. Dia menatap Leon atas bawah. Dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu memperhatikan sampai mengamati seksama warna pigmen kulit Leon yang dia katakan menjadi merah. Namun dilihat bagaimanapun, warna kulit Leon masih sama saja normalnya dan kondisi pria itu juga masih segar bugar. Tidak ada tanda - tanda penyakit di dalamnya.

Leon terlihat masih sama saja seperti pagi tadi dan sehat walafiat.

Sakit apanya?

"Kau yakin sakit?" Sebastian bertanya sanksi. Dan langsung diangguki Leon dengan mantab.

"Ya, jantungku bahkan berdebar tak karuan sekarang. Rasanya seperti hendak meledak." Jeda sejenak mata Leon melebar ketika menduga - duga penyakitnya, "Masa aku sakit jantung?"

"Tidak mungkin kan?"

Di depannya, Sebastian masih tediam. Dia terus mengamati Leon seksama. Demi Tuhan, anak kecilpun akan tahu bahwa temannya ini terlihat sehat walafiat. Tidak ada tanda - tanda kelemahan fisik, kecape'an, lelah, wajah pucat, menggigil kesakitan atau hal - hal lainnya yang menjadi tanda dia tengah sakit seperti yang di ucapkan.

Bagaimana dia bisa terkena penyakit jantung bila tadi saja Leon melesat cepat ke tempat ini. Leon juga masih mempunyai nada suara penuh semangat dan tenaga ekstra untuk menjelaskan sakitnya.

Ini dia sakit atau pura - pura?

Atau....

"Mungkin yang sakit adalah otakmu, Leon." Tutur Sebastian.

Leon seketika menatap protes, "Otakku masih baik - baik saja."

"Tapi sekarang kau benar - benar terlihat baik - baik saja Leon?"

"Tidak. Aku tidak baik - baik saja. Bagaimana bisa tiba - tiba aku merasa merinding saat berhadapan dengan si kerdil itu."

Alis Sebastian terangkat, "Kerdil?"

"Anak baru itu, Cecil August." Jelas Leon. Dia mendengkus, "Badanku tiba - tiba menjadi tak enak setelah melihatnya." Huh.

Sebastian masih tidak paham dan menganggap apa yang Leon ucapkan itu tidak nyambung sama sekali.

"Sumpah aku tak mengerti apa yang kau bicarakan Leon."

Leon mendengkus, "Sudahlah. Pokoknya tubuhku tiba - tiba terasa aneh setelah bertemu dengan perempuan itu."

"Padahal sebelumnya aku masih baik - baik saja." Imbuh Leon.

Di sana, Sebastian tertegun. Dia mengerjapkan mata beberapa kali ketika dia mencoba memahami sesuatu.

"Jasi maksudmu, kau merasa sakit setelah bertemu dan berdebat dengan  Cecil tadi?"

Leon mengangguk, "Ya. Badanku masih panas dingin saat mengingatnya, pun jantungku yang terasa berdenyut cepat. Saking cepatnya sampai membuatku takut kalau dia akan keluar dari tubuhku. Makanya aku harus memeriksakan diri sebelum jantungku benar - benar copot dan aku mati."

Untuk beberapa detik Sebastian terdiam. Tetapi kemudian setelah otaknya sudah loading, tawanya seketika meledak. Dia memegangi perutnya sampai nyaris menangis, "Leon, kau benar - benar sakit."

"Otak dan jiwamu lah yang sakit."

"Kau benar - benar...." Ah ya ampun, Sebastian sampai tidak bisa berkata - kata saking lucu dan gregetnya. Dia masih terbahak dan menggeleng - geleng tak habis pikir.

Pria sebesar ini yang bahkan sudah menjadi pemuda tanggung dan dikategorikan sudah dewasa, tidak tahu apa yang tengah di rasakan.

Ini benar - benar.

"Leon sungguh kau tidak tahu apa yang terjadi padamu saat ini?"

Mata Leon menyimpit. Malas dan kesal akan sikap temannya ini yang malah tertawa terbahak - bahak. Meski begitu dia tetap menjawab, "Jika aku tahu aku tidak akan menemui Miss Canva di ruang perawatan."

Sebastian semakin tidak bisa menghentikan tawanya.

"Leon, kau benar - benar...." Jeda sejenak, dia menatap Leon tidak berdaya, "Perlu pertolongan."

Wkwkwkwkwk.

***

BRAKKKK!

Seorang siswa terpental dan menghantam dinding hingga retak. Dia meringis nyeri lalu beberapa detik kemudian pingsan.

Pria yang menjadi pelaku penendangan itu menyeringai melihat korbannya jatuh tak berdaya dan tidak sadarkan diri begitu saja.

Benar - benar lemah. Dan dia menyukainya. Puas sekali bisa memukul dan menendang orang - orang seperti ini.

Siswa siswi lain yang ada di arena latihan sontak menyingkir. Beberapa membantu salah satu rekannya yang pingsan akibat hantaman tinju dari Robin.

Tidak mau menjadi samsak tinju selanjutnya serta tak mau berurusan dengan bocah ini.

Mereka memilih mengalah dan memberi Robin Guzalt akses tempat lebih luas untuk latihannya. Tetapi rupanya Robin sengaja datang ke area ini bukan karena untuk latihan. Melainkan untuk menemui rivalnya langsung.

Sherly August alias Cecil.

Kening Sherly berkerut saat pria dengan beberapa tindik di wajah dan tubuhnya itu menghampiri. Robin tampak tersenyum menatap Sherly yang baginya tampak seperti semut kecil.

Diinjak akan mati.

"Halo Cecil August." Robin menyapa ramah. Tetapi matanya tampak bengis, "Perkenalkan, aku Robin Guzalt. Orang yang akan menghabisimu di arena pertandingan."

***







Black MilitaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang