63. Maxwell dan Maria (C)

151 46 5
                                    

Sudah dua hari berlalu Maria tak sadarkan diri. Masih terbaring di rumah sakit dengan beberapa luka jahitan yang kini semakin banyak memenuhi tubuhnya.

Kulit putihnya juga memucat pun terdapat lebam - lebam merah kebiruan bahkan juga ada yang menghitam. Luka lama yang masih belum sembuh. Secara keseluruhan, kondisi Maria sangat mengenaskan. Beruntung gadis itu masih hidup sekarang.

'Dasar keras kepala.'

Maxwell begumam. Lelaki itu berdiri di sebelah ranjang kamar perawatan Maria. Dia menatap adik tirinya yang masih terbaring tak sadarkan diri dengan infus memenuhi tangannya. Bunyi detektor yang menandakan bahwa jantung gadis itu masih berdetak membuatnya cukup merasakan lega.

Maria benar - benar keras kepala. Sejak dulu gadis ini benar - benar kepala batu. Selalu saja bersikap sembrono.

Belum ada empat bulan berlalu tubuhnya terluka karena serangan Daemon tingkat tinggi, gadis itu juga dengan keras kepalanya mengikuti ujian dan harus bergerak menyusuri sungai, memanjat tebing hingga membuat jahitannya yang masih belum mengering terbuka. Lalu sekarang, belum sembuh dari lukanya itu Maria juga dengan kekeras kepalaannya ikut ujian The Duel lalu bertarung mati - matian untuk memenangkan pertandingan. Bahkan saat di arena pertandingan tadi, Maria terlihat tak peduli dengan kondisi tubuhnya dan berusaha sekeras mungkin untuk menahan kesakitannya.

Rasanya pasti sangat sakit. Sekujur tubuh gadis ini pasti rasanya seperti disayat - sayat, tulangnya seperti dipatahkan dan dihancurkan.

Benar - benar....

Maxwell meringis. Selama pertandingan tadi, ia bisa melihat bagaimana Maria menahan kesakitannya.

Sebuah keajaiban bahwa setelah luka berkali - kali dan babak belur begini gadis itu masih bisa bertahan. Dan besyukur Maria masih bisa hidup.

"Kau benar - benar sangat keras kepala Maria." Maxwell mendekat. Menyentuh kening Maria yang berbalut perban.

"Kau benar - benar ingin menjadi pasukan inti ya?"

"Jangan terlalu berusaha." Jeda sejenak, Maxwell menunduk menatap Maria dalam, "Jika itu membuatmu dalam bahaya, aku akan menghentikannya."

Suara gemerisik di luar pintu  membuat Maxwell sigap mundur dan menghilang di sudut jendela tepat ketika pintu ruang perawatan Maria terbuka.

Dua orang siswi  datang menjenguk Maria dengan sekantong buah - buahan serta makanan bergizi seperti roti, keju dan susu. Satu di antara siswi tersebut menangis histeris mendekati Maria yang masih terbaring di ranjang tak sadarkan diri.

"Huwaaa.... Maria, sadarlah! Kenapa kau belum bangun?" Untuk kesekian kalinya Sabin menangis tersedu meratapi temannya yang lagi - lagi harus dilarikan ke rumah sakit.

Belum ada seminggu, dua temannya sudah sama - sama babak belur. Pertama Cecil, lalu sekarang Maria. Bahkan sudah dua hari berlalu sahabatnya ini belum kunjung ada tanda - tanda siuman.

Jangan - jangan Maria mati?

Tidak, tidak boleh. Maria harua selamat. Harus.

"Maria, cepatlah sadar! Jangan tinggalkan aku! Huwaaa....."

Benar - benar berisik.

Sherly di sampingnya sampai harus mengorek telinganya karena suara cempreng Sabin dibarengi tangisan menyayat hati. Takutnya air mata Sabin itu bisa membuat banjir ruangan ini.

"Sabin, tenanglah! Maria pasti akan selamat. Jika begini kau malah membuat ketidak sadaran Maria berlangsung lama." Tegur Sherly yang berjalan tertatih menyingkirkan tangan Sabin yang secara tak sadar mengguncang - guncang tubuh Maria yang koma.

Black MilitaryWhere stories live. Discover now