33. Maxwel dan Maria (Ruang Perawatan)

236 52 0
                                    

Ruang perawatan Akademi Black Militer.

Suara cetekan benda yang tampak seperti staples berukuran besar itu terdengar berkali - kali seiring pekikan kesakitan perempuan yang terbaring di ranjang bersprei putih itu. Maria tampak mengernyit dan berkali - kali meremat sprei menahan perih ketika seorang perawat berusaha menjahit luka di perutnya yang kembali menganga.

Maxwell berdiri tidak jauh dari sana bersandar pada dinding menatap dalam diam adik tirinya yang tengah menjalani perawatan.

Luka - luka yang belum mengering di tubuh Maria kembali menganga. Yang terparah adalah luka di perut gadis itu yang tampak semakin meluas seperti sayatan benda tajam, pun dengan darah yang mengalir terus menerus di sana. Itu pasti sangat menyakitkan. Sungguh tak disangka bahwa gadis itu bisa menahan luka parah seperti ini.

"Pendarahannya sudah berhenti dan lukanya sudah tertutup." Ujar Miss Canva yang tak lain adalah perawat di tempat ini. Perempuan berkacamata tebal itu kemudian meletakkan alat seperti staples yang ia gunakan untuk menutup luka di perut Maria. Sebuah alat jahit medis praktis tenaga modern yang pastinya lebih efisien serta mempersingkat waktu dibanding jahit manual.

Miss Canva lalu mengambil alat lainnya yang tampak seperti sinar laser kemudian ia dekatkan ke arah luka jahitan Maria. Dan seiring sinar tersebut di dekatkan ke perut gadis itu, bercak - bercak darah yang tadi masih melumeri sepanjang perut gadis itu menghilang, pun dengan perekat yang menjahit lukanya tampak tak kentara.

"Dengan lukamu seperti ini, sungguh mengejutkan kau mampu melewati tes tadi. Dan beruntung kau membawanya tepat waktu Maxwell, jika tidak lukanya bisa infeksi." Jelasnya melirik siswa laki - laki yang sedari tadi berdiri diam tanpa sepatah kata apapun mengamati jalannya proses perawatan.

Sementara itu perlahan Maria bangkit dari posisinya dan mendudukkan dirinya di ranjang saat Miss Canva kini membalut lukanya dengan perban.

"Terimakasih Miss." Ucapnya. Keningnya masih berkerut merasakan nyeri di sekitaran perutnya yang masih tersisa.

"Untuk seminggu ke depan jangan banyak bergerak dulu. Meski aku sudah menjahit semua lukamu, tetapi luka itu tetap akan bisa terbuka kembali bila kau tak hati - hati." Jeda sejenak Miss Canva menatap Maria seksama, "Lukamu dbukan dari sayatan senjata kan? Itu tampak seperti goresan kuku."

Maria meringis tak membantah. Ya, lukanya ini memang dari cakaran seekor Daemon tingkat tinggi. Beruntung kuku Daemon itu tak sampai merobek perut serta melukai organ tubuhnya.

"Ya Miss, terimakasih." Ucapnya sekali lagi, perempuan itu kemudian melirik jam dinding yang ada di sudut tembok, lalu kembali menatap ibu perawat, "Apakah anda mempunyai obat pereda nyeri? Saya... "

"Jangan bilang kau mau ikut ujian selanjutnya Maria?" Maxwell seketika memotong ucapan gadis itu. Pria itu bergerak dari posisinya dan mendekati adiknya, menatapnya tajam, "Kau terluka."

"Aku tetap harus mengikuti ujian. Ini penting bagiku." Jawab Maria.

"Kau bisa mengambil cuti."

"Tidak. Aku tetap harus melakukannya, apapun keadaannya." Ucap Maria keras kepala. Perempuan itu tak menggubris saat kakaknya memberinya tatapan mengintimidasi, bahkan gadis itu dengan perlahan bangkit dari posisinya meski dengan susah payah bahkan nyaris terjatuh kalau saja Maxwell tak sigap mencekal lengannya.

"Berdiri saja kau tak mampu. Masih ikut latihan?" Desis Maxwell tak suka bila saudaranya ini begitu keras kepala mengikuti tes dengan kondisi wanita itu yang masih tak berdaya.

Maria melepas cekalan tangan Maxwell di pundaknya, "Ini hanya efek jahitan. Aku sudah tidak apa - apa sekarang."

Melihat perdebatan kakak beradik ini sungguh membuat wanita paruh baya itu meletakkan tangannya di keningnya. Dia memutar matanya dan berkata, "Weiii, weiiii... jangan bertengkar di sini." Miss Canva mendengkus. Ia kemudian menoleh menatap remaja di depannya.

"Yang Maxwell katakan benar Maria, kondisimu masih belum stabil. Jika kau memaksakan mengikuti tes, jika tidka hati - hati maka akan berbahaya buatmu."

"Saya akan berhati - hati Miss." Sahut Maria bersungguh - sungguh, "Ku dengar ada semacam obat yang bisa menstabilkan energi dan membuat rasa nyeri hilang. Aku membutuhkan obat itu Miss."

"Karena ujian ini begitu penting bagi saya, Miss." Imbuh Maria. Nada suaranya terdengar begitu lantang. Seolah - olah memang ada alasan yang sangat penting yang membuatnya harus melakukan semua ini.

Ya, alasan itu karena ayahnya. Emua ini untuk ayahnya. Jika dirinya bisa cepat menjadi pasukan inti Black Militer, itu berarti dia mendapat tunjangan untuk membayar pengobatan ayah kandungnya, serta dia bisa dengan bebas pergi menemani ayahnya yang sendirian menjalani perawatan. Dia tidak perlu selalu absen lagi hingga berakhir mendapat hukuman seperti yang lalu - lalu. Dan dia tidak perlu mengandalkan bantuan dari suami ibunya yang sekarang. Yakni ayah dari Maxwell Fringer.

Dia tidak mau. Dia membenci ibunya yang tega menghianati ayahnya dan menikahi orang lain demi mendapatkan kekayaan dan kejayaan darah bangsawannya di masa lalu.

Dia benci ibunya yang tak setia. Sangat - sangat benci.

Sementara itu Maxwell tidak berkata lagi dan hanya terdiam mengamati ekspresi perempuan yang lebih muda satu tahun darinya itu. Dia seolah bisa melihat ke dalam pikiran gadis itu tentang alasannya yang mati - matian tetap mengikuti ujian ini. Dan pada akhirnya MAxwell hanya bisa menghela nafas kemudian mundur tak mencegah kemauan Maria.

"Baiklah, akan ku berikan." Miss Canva akhirnya mengeluarkan dua botol obat yang Maria maksud kemudian memberikan pil berwarna putih dan hitam itu kepada Maria, "Minumlah! Tapi ini sebenarnya tidak sepenuhnya menghilangkan nyeri. Hanya meredakan saja."

"Efek obat ini hanya berlangsung selama lima jam." Jelasnya, "Kau harus tetap berhati - hati! Hindari benturan di perutmu, jangan sampai lukamu kembali terbuka lagi."

"Jika kedua kalinya lukamu terbuka, maka bisa - bisa kau infeksi dan membutuhkan operasi."

"Cakaran Daemon tingkat tinggi tak main - main Maria." Imbuh Miss Canva.

Maria mengangguk, "Baik, saya janji akan berhati - hati. Dan terimakasih." Timpal Maria. Perempuan itu kemudian memasukkan kedua obat itu ke dalam mulutnya sebelum kemudian memakai seragamnya kembali. Dan gadis itu tertegun saat baru menyadari bahwa seragam hitam pria di sampingnya ini tampak robek di bagian lengannya.

Kain robekan Maxwell itu kini tengah teronggok di tempat sampah dengan banyaknya jejak - jejak darah. Lelaki itu rupanya merobek pakaiannya sendiri untuk menutupi luka di perutnya.

Maria menatap Maxwell dan kemudian menghela nafas, "Terimakasih Maxwell." Ucapnya dan pria itu hanya memasang wajah tampa ekspresi sebelum kemudian berkata.

"Jika kau ingin mengikuti ujian, cepatlah bergegas. Tes kedua sebentar lagi akan berlangsung."

Maria mengangguk. Dia kembali menatap Miss Canva dan menundukkan kepala sebagai tanda terimakasih dan pamit undur diri. Perempuan itu kemudian berjalan terlebih dahulu diikuti Maxwell yang sengaja berjalan pelan mengikuti langkah Maria di belakangnya.

***

Black MilitaryWhere stories live. Discover now