12. Melawan (B)

859 140 29
                                    

“Dia pasti sangat stres.” Leon tersenyum menatap layar ponselnya. Di dalamnya ada video yang menampilakan sebuah pintu kamar mandi berwarna putih. Video yang dikirimkan oleh Trinity. Memang tidak ada apapun di sana, tetapi dia mendengar suara teriakan seorang wanita serta suara pintu yang digedor dengan putus asa.


Benar - benar menghibur. Leon senang. Mendengar kefrustasian targetnya sungguh membuatnya bersemangat. Dia bisa membayangkan bagaimana wajah pucat anak baru itu saat ini. Terkurung di kamar mandi sendirian bagi seorang wanita pastilah hal yang horor. Cecil pasti sedang menangis memanggil ibunya sekarang meminta bantuan.

Rasakan. Haha.

“Apa yang kau lihat? Sepertinya seru.” Sebastian yang baru datang sontak duduk di sebelah Leon. Melongokkan kepalanya mengintip ponsel yang temannya pegang. Sedetik kemudian manik cokelatnya meluruh, ekspresinya tampak sulit kala melihat Leon menatap antusias dengan senyum mengembang menonton video itu.

Apa- apa’an? Dia kira Leon sedang menonton film atau hal - hal seru lainnya hingga pria yang bahkan tidak menyukai apapun selain makanan manis itu bisa begitu sumringah hanya karena video yang menampilkan kamar mandi di sekolahan ini.

Demi apapun Leon bisa sesenang ini hanya karena melihat kamar mandi yang tidak ada apa - apanya. Dia bisa memaklumi jika yang ada di luar pintu kamar mandi itu terdapat wanita cantik atau hal apapun yang menarik. Tetapi ini benar - benar kosong, apa menariknya menonton kamar mandi yang polos seperti ini.

Sebastian merasa sia - sia ikut menonton.

“Dengar ini!” Leon mereplay kembali video itu ke awal. Bahkan volumenya sengaja ia perbesar. Teriakan dibarengi gedoran pintu sontak terdengar membuat Leon kembali terbahak karenanya.

“Anak baru bebal itu pasti menangis sekarang.” Leon girang, “Ku rasa aku akan menjadikan teriakan ini sebagai nada dering ponselku. Wkwkwkwk.”

Sungguh temannya yang satu ini memang agak - agak gila. Sebastian mengamati ekspresi Leon dan menjadi ngeri sendiri. Bibir laki - laki itu tak berhenti tersenyum. Ia takut bahwa mulut temannya itu akan robek sampai ke telinga.

Tak berselang lama, pintu bascamp mereka terbuka. Maxwell datang dengan lelah lalu segera berbaring di sofa hitam. Leon yang melihat kedatangan Maxwell seketika mematikan ponselnya kemudian buru - buru mengintrogasi.

“Bagaimana keadaan anak baru itu? Apa dia sangat tertekan sekarang?”

Alis Maxwell terangkat.

Leon berdehem. Menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua kakinya diangkat menumpu meja. Dia memasang ekspresi sombong, “Gadis baru itu, bukankah tadi tidak mengikut pelajaran Miss Xenna?”

“Ya, dia terkunci di kamar mandi.”

Senyum Leon mengembang, “Kasihan. Dia pasti kebingungan dan menangis terkunci di kamar mandi sendirian selama berjam - jam.” Leon terkikik. Setiap kali membayangkan ekspresi anak - anak yang ditindasnya ketakutan membuatnya seolah merasa kenyang. Rasanya sangat puas. Akan menjadi lebih puas apabila anak - anak itu segera pergi dari sekolah ini.

“Kau yang membuka pintu kamar mandinya bukan?” tebak Leon. Ya, bagaimanapun Maxwell adalah ketua kelas Grand B, jadi lelaki itu yang diberi tanggung jawab mencari siswa - siswi yang sengaja absen. Dan setiap kali dimana ada anak - anak dari kelas B mendapat penindasan seperti dengan sengaja dikunci dalam gudang maupun kamar mandi, Si Maxwellah yang datang lalu mengeluarkan mereka.

“Cecil August, dia pasti menangis dan merenungi semuanya sekarang. Hahahaha.” Leon benar - benar sangat puas akan pemikirannya. Tetapi tidak dengan Maxwell. Lelaki itu hanya menatapi Leon lalu benaknya teringat pada kejadian tiga puluh menit lalu dimana dirinya membuka pintu kamar mandi tempat dimana Cecil August di kurung.

Black MilitaryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora