43. Pembunuh (B)

175 43 0
                                    

Lelahnya....

Ketika dia membuka mata, waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sherly masih terbaring di ranjangnya, enggan bangun. Rasanya dia ingin bermalas - malas hari ini. Tubuhnya terasa remuk redam, tulang - tulangnya seolah salimg bergeser dan pikirannya terasa penuh. Penuh oleh banyak hal yang membuat dirinya merasa stres.

Bagaimana tidak. Perkataan Aiden kemarin masih terngiang di otaknya bahkan menjalar ke mimpinya. Dia jadi deg - dega'an, takut bila hari ini adalah hari terakhirnya berada di Black Militer.

Aiden selain jenderal, ternyata juga merupakan kerabat dari kepala sekolah. Itu berarti hubungan mereka pasti dekat, dan kemungkinan pria itu  memberitahu Mr. Jack menjadi begutu besar.

Apa yang harus ia lakukan kalau itu terjadi?

Terlebih kemarin ia sempat mengirim pesan kepada Ribel News atas masalah ini, tetapi tanggapan mereka tidak sesuai ekspetasi. Sangat menjengkelkan dan cenderung tidak profesional. Sama sekali tak memberikan solusi atau bantuan. Mereka hanya mengatakan,

'Apapun yang terjadi, jangan sampai ketahuan.'

Hell. Jawaban macam apa itu?  Setidaknya mereka memberikan solusi atau semacam bantuan apapun.  Kalau jawaban mereka hanya begini, seolah dirinya adalah mata - mata profesional saja.

Haah.

Sherly mendengkus. Memijit kepalanya yang terasa pening. Dia ingin memejamkan matanya kembali tetapi suara ketukan kamar dibarengi suara cempreng gadis di luar sana menyentaknya.

"Cecil, jangan bilang sudah siang begini kau belum bangun."

"Cepatlah bangun! Ujian kedua akan mulai diumumkan."

"Ini hampir jam delapan lho. Kau juga harus sarapan untuk mendaoatkan tenaga lagi."

Masih tidak ada jawaban.

Meski mendengar, tetapi Sherly masih enggan membalas ocehan Sabin di luar sana. Dia masih ingin bergelung dengan selimut menjadi kepomping pemalas untuk hari ini. Dan hey, apa para murid itu tidak capek setelah tes kemarin yang  mensortir tenaga mereka nyaris selama dua puluh empat jam.

Masih petang terbangun, lalu berlari - larian, melewati rintangan, memanjat tebing, kemudian mencari Hide Daemon maupun pastinya ada juga yang melawan Daemon putih. Ohh..  Bagi manusia biasa itu hal yang sangat melelahkan. Ibarat handphone, baterai sudah pasti nol persen dan perlu di changer selama berjam - jam lagi untuk penuh.

"Cecil, kau beneran masih tidur?" Sabin masih tidak menyerah. Perempuan itu dengan gigihnya terus menggedor - gedor pintu tersebut sampai mendapat jawaban dari yang punya kamar.

"Cecil, ja.... jangan - jangan kau pingsan?" Wajah Sabin mendadak panik. Pikiran itu terecetus begitu saja saat menyadari bahwa anak baru itu hanyalah orang biasa yang pastinya kaget mendapati ujian ala kemiliteran seperti kemarin.

"Cecil, kau tidak apa - apa?" Sabin semakin keras mengetuk pintu, bahkan dia nyaris ingin mendobraknya membuat Sherly yang berada di dalam menutupi kedua telinganya dengan bantal. Dia ingin mengabaikannya, tetapi lama - kelamaan teriakan dan gedoran tersebut terasa mengganggu.

Sherly menggertakkan giginya. Ia mendengkus lalu setengah membanting bantal yang ia gunakan sebagai penutup telinga. Sherly dengan kesal bangkit lalu membuka pintu.

"Aku baik - baik saja Sabin." Jawabnya. Seakan tidak peka akan raut kesal Sherly, Sabin seketika menghela nafas lega. Dia tersenyum cemerlang.

"Syukurlah kalau begitu." Sabin kemudian mengernyit saat melihat Sherly masih mengenakan piyama tidur warna pink, dia lalu buru - buru mengimbuhkan, "Kalau begitu cepat mandi, pengumuman tes selanjutnya akan datang. Ini sudah hampir jam delapan. Jangan sampai telat! Dan nanti susul aku di ruang perawatan ya! Aku mau menjenguk Maria."

"Cepat! Cepat!" Titah Sabin yang mendorong Sherly untuk segera masuk kamar mandi dan bersiap diri.

Sherly hanya mendengkus. Apa yang anak ini lakukan padanya sebenarnya memang baik, tetapi dirinya saat ini benar - benar tidak membutuhkan kebaikan. Rasanya benar - benar.... Aissstttthhh

Sherly ingin kesal, tapi tidak bisa. Alhasil dengan patuh ia mengambil handuk, menutup pintu kamar mandi dan mandi sesuai permintaan bocah cerewet itu.

"Sabin kalau keluar jangan lupa tutup pintunya!" Ucapnya. Dan Sabin menyeringai puas kemudian melangkah keluar kamar, tak lupa dirinya juga menutup pintu kamar itu seperti yang diperintahkan sang pemilik.

Dengan ceria, gadis muda itu melangkah menuji ke ruang lerawatan, temlat dimana Maria sejak kemarin bermalam di sana. Bagaimana pun kondisi temannya yang satunya itu belumlah membaik dan masish harus membutuhkan perawatan. Apalagi sejak kemarin hatinya begitu senang.

Senang bahwa Leon sudah tak membenci maupun mengejeknya. Malahan kemarin Leon begitu bergantung padanya.

'Ahhh... Jangan - jangan Leon mulai menyukaiku?' Pikir Sabin dalam hati.

***

Ujian selanjutnya akan diumumkan tepat pukul setengah sembilan. Tetapi Sherly masih berdiri diam di kamarnya, menggigit kuku - kukunya resah.

Rasanya ia tak ingin keluar kamar hari ini. Lebih tepatnya dia tidak ingin bertemu Aiden.

Takut. Panik.

Ohhh ya ampun. Seberapa pun dirinya menguatkan diri, tetapi kecemasan itu masih terus membayangi.

Benar - benar...

Ya Tuhan tolong aku! Semoga Aiden hanya menganggapnya mirip saja. Semoga dia tidak mengenali identitasnya.

Setelah memanjatkan doa itu selama tiga puluh kali, ia akhirnya keluar dari kamar menyambut ujian selanjutnya. Namun sebelum itu dirinya juga harus mengunjungi Maria dan juga Zavier yang sedari kemarin berada di ruang perawatan.

Meski dia membenci sosok yang menghancurkan rumahnya, tetapi dia tidak bisa membenci sosok Zavier si polos. Terlebih hanya pria itulah yang mudah didekati sehingga dia bisa sedikit - sedikit mencari informasi perihal latar belakangnya, kisah hidupnya dan tentang apapun itu yang mungkin bisa menghubungkannya dengan Demi Human.

Baiklah semoga saja tidak akan lama dirinya bisa mengetahui sosok Demi Human itu siapa.

Dan ketika Sherly berjalan melewati lorong - lorong panjang menuju ruang perawatan, ada seseorang yang entah sejak kapan, sedari tadi mengikutinya.

Sherly menyadari.

Dia menghentikan langkah sejenak lalu menoleh, melihat siapa sosok yang mengikutinya. Akan tetapi ketika dia melihat ke belakang, yang ada hanyalah ruangan kosong tanpa seorang pun.

Koridor ini benar - benar sepi dan hening sekali. Tetapi ia tadi jelas - jelas  merasakan seseorang yang diam - diam mengikutinya.

Lalu.....

BRAKKKK!!!

Hanya sedetik, jika dirinya tak menunduk, batu sebesar bola tenis sudah nyaris menghantam kepalanya.

Sherly terhenyak. Batu itu seperti memang sengaja di lemparkan ke arahnya. Yang lebih membuatnya terkejut ialah ada kertas yang membungkus batu itu.

Sherly seketika menatap ke arah dimana batu itu dilempar. Tetapi dia tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Perempuan itu kemudian perlahan mendekati batu yang kini terjatih di lantai. Ia memungutnya laku membuka kertas yang membungkus batu itu.

Mati Sherly melebar saat melihat tulisan yang ada di kertas itu.

'PERGILAH ATAU MATI!'

Heh... Sherly menipiskan bibirnya. Meremat kertas itu sebelum kemudian membuangnya ke tong sampah.

Benar dugaannya, ada yang berusaha membunuhnya. Setelah kejadian panah kemarin, kali ini orang yang ingin membunuhnya mengirimkan ancaman secara terangan - terangan.

Apakah ini ulah dari Leon dan anak buahnya?

Entah kenapa Sherly berpikir bukan. Karena sepertinya ini sesuatu yang lebih rumit dan sangat serius.

Jadi...

Sherly terasa seperti disentak saat menebak sesuatu.

'Apakah dia tahu kalau aku mata - mata?'

Sherly menelan ludah. Dia lalu segera mengirim pesan ke Ribel News.

***

Black MilitaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang