32. Petak Umpet

20.6K 3.7K 131
                                    

Istana Ruby berubah gelap, Pangeran Hilberth melirik Putri Janesita yang menatap sekeliling yang tampak gelap. Bola lampu yang melayang membantu mereka untuk berjalan.

"Kalian ke sana, kami akan ke atas." Pangeran Hilberth berjalan bersama Putri Janesita, sedangkan Pangeran kelima yang malah terlihat menikmati suasana mencekam Istana Ruby mengangguk dengan senyuman.

Putri Janesita merapatkan dirinya dapur yang biasa ia masuki tidak semencekam ini, biasanya. Tapi kali ini rasanya seperti ada yang memerhatikan mereka.

Tes!

Langkah Putri Janesita berhenti, membuat Pangeran Hilberth ikut berhenti. "Kenapa?"

Putri Janesita menyentuh pipinya, ada sesuatu disana, Putri dengan rambut indigo itu menatap tangannya. "Darah."

Pangeran Hilberth yang melihat itu tampak kaget, keduanya saling tatap lalu secara perlahan menoleh ke langit-langit dapur.

Sebuah kepala, hanya kepala tanpa tubuh tergantung dengan senyuman lebar melihat kedua bangsawan itu.

Putri Janesita hampir berteriak, tapi Pangeran Mahkota dengan cepat menutup mulut gadis itu dan menarik Putri Janesita ke balik meja pantri, keduanya duduk di lantai dapur.

Pangeran Hilberth meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, Janesita yang mengerti mengangguk pelan. Hilberth melepaskan tangannya.

Menghela nafas panjang Janesita memegang dadanya, jantungnya seperti mau keluar dari sana. Sekarang bukan karena kepala yang ada di langit-langit dapur, tapi ini pertama kalinya dia dan Pangeran Hilberth berkontak fisik sebegitu dekatnya. Karena sejak kapan Pangeran itu mau dekat-dekat dengannya?

"Ini sudah lima menit, Anstia dan Sylvester pasti sudah masuk."

Janesita mengangguk, gadis itu menatap sekitar, matanya jatuh pada bola yang berada di dalam laci yang agak terbuka, warna terang dari bola itu membuat mata Janesita langsung dapat melihat benda itu.

"Hei," Pangeran Hilberth yang mau tidak mau mengikuti Putri Janesita melirik ke pintu, berjaga-jaga. "Ada apa?"

Putri Janesita membuka laci tersebut, gadis itu menutup mulutnya sendiri saat ada sebuah kepala dengan mata tertutup ada di dalam sana, namun dia menahan segala teriakan di dalam mulutnya, berusaha meraih bola itu meski tangannya menyentuh cairan yang entah apa.

"Bagus."

Pangeran Hilberth mengangguk saat Putri Janesita mendapatkan bola tersebut keduanya kembali ke balik meja pantri.

"Halo, apa ada orang?"

Tubuh Pangeran Hilberth maupun Putri Janesita mendadak beku, mendengar suara Anstia saat ini rasaya seperti bertemu dengan malaikat maut padahal biasanya Hilberth mencari-cari Anstia, tapi kali ini dia tidak mau di temukan oleh Anstia.

"Heh? Sudah satu bolanya berkurang? Oke, sepertinya  itu Kak Brandon, dia 'kan aneh tapi kadang aku benci saat dia jadi pintar," Anstia seperti sedang berkomunikasi dengan seseorang, gadis itu membawa tas kecil yang tampaknya berisi warna yang di bicarakan gadis itu sebelumnya. "Di dapur sepertinya tidak ada orang, kalaupun ada harusnya sudah berteriak karena melihat kepala di langit-langit dapur. Atau kalau tidak, mereka sudah teriak karena serangga-serangga yang merayap di dinding."

Mendengar ucapan terakhir Anstia, mata Pangeran Hilberth menatap ke dinding ada lebih dari ratusan atau bahkan ribuan mungkin, karena semua dinding bagai di tutupi oleh kelabang yang bergerak tidak karuan. Untungnya dia sempat mematikan penerangan mereka saat Anstia masuk, jika tidak mereka pasti ketahuan. Melirik ke sampingnya, Pangeran Hilberth meremas tangan Putri Janesita yang tampak bergetar, sepertinya ketakutan melihat kelabang-kelabang itu di dinding.

TAWS (1) - AnstiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang