18. Jalan

32.9K 4.5K 70
                                    

Pangeran Haindre, adalah Putra Mahkota di Kerajaan Kabut. Umurnya sama dengan Pangeran kelima. Memiliki bakat dalam banyak bidang, memanah, berpedang, berkuda bahkan pandai berbahasa asing.

Anstia menatap buku yang ia baca, dia bukan penasaran cuma ingin tau saja siapa Pangeran Haindre. Karena saat dia bertanya pada pelayannya, mereka semua serempak menyatakan jika Pangeran Haindre adalah Pangeran yang cerdas.

Oke, Anstia akui itu. Menggigit bibir bawahnya, Anstia tidak bisa menahan senyumannya saat ingat Pangeran tampan itu mencium tangannya.

"Aku tidak ingin mencuci tanganku rasanya." Anstia menatap gambar Pangeran Haindre di buku yang ia ambil dari perpustakaan Kerajaan.

Apa yang Anstia bayangkan saat itu sangat mirip dengan Pangeran yang ia lihat tadi. Jika benar semua ini sesuai dengan apa yang ia ingat, maka dia akan menikah dengan Pangeran Haindre nantinya.

Wajah Anstia memanas, kenapa bisa dia membuat cerita seperti itu?! Ya ampun. Bahkan dia ingat jika dia membuat adegan dimana keduanya akan berciuman.

Uhh..

Bodohnya dia sampai membuat cerita roman seperti itu. Tapi, rasanya manis juga. Tapi, ayolah dia baru lima belas tahun, bahkan belum genap.

Anstia menatap jendela kamarnya, Pangeran Haindre sangat mirip dengan apa yang dia bayangkan di cerita. Pangeran itu menjadi fantasi Anstia saat membayangkan seseorang yang akan mencintainya di masa depan. Walau itu mustahil.

Tapi, Pangeran itu nyata di dunia aneh ini. Entah karena memang merupakan jalan cerita, atau karena Anstia saja yang gampang baper, rasanya si Pangeran itu menarik semua intuisi Anstia. Membayangkan sang Pangeran mencium tangannya seperti kemarin membuat wajah Anstia lagi-lagi terasa panas.

Anstia menutup buku sejarah Kerajaan Kabut, dia ingat memiliki janji dengan Pangeran Ketiga untuk berkuda.

Mengganti pakaiannya dengan pakaian khusus untuk berkuda, Anstia berjalan keluar dari kamarnya menuju kandang kuda istana. Anstia bersyukur dia tidak menulis cerita dengan latar tahun delapan puluhan, karena pasti pada saat itu pakaian seperti yang ia kenakan tidak akan ada. Dia hanya membuat cerita Kerajaan yang sudah modern, meski tidak dengan kehadiran mobil atau pesawat telepon.

Anstia mengusap kuda kesayangannya, namanya Chik. Kuda berwarna cokelat dengan keempat kakinya bagai memakai sepatu karena bulu di sekitar kakinya berwarna putih.

"Aku kira kau akan terlambat." Anstia menunduk, memberikan hormat pada Pangeran ketiga. "Hentikan itu, kau tidak perlu harus selalu membungkuk saat bertemu denganku!" Pangeran Sylvester menatap Anstia kesal.

Anstia terkekeh. "Kau berlebihan, Kak." Anstia naik ke atas pelana kudanya, di ikuti Sylvester yang mengejar sang adik yang memacu kuda dengan cepat.

Anstia menghentikan kudanya di danau yang sering ia datangi saat kecil, ia jadi ingat pada penyihir yang sering bersamanya datang kemari.

"Hei," Anstia menoleh pada Pangeran ketiga. "Mau bertaruh siapa yang sampai duluan di istana?"

"Siapa takut!"

***

Mata biru yang khas itu menatap Putri Anstia yang baru keluar dari kamarnya, kembali rapi dengan gaun panjang dan rambut yang tergerai.

Anstia menunduk, memberikan hormat pada sang Raja. "Ayah mau kemana?"

"Mengajakmu berjalan-jalan." Sang Raja mengangkat tangannya, membuat para pelayan dan pengawal yang menemani mereka pergi.

Anstia berjalan di samping sang Raja, sudah lama dia tidak seperti ini dengan sang Ayah. Halaman samping istana menjadi tujuan sang Raja membawa Anstia. Halaman yang memiliki taman bunga, Anstia sering kemari saat sedang bosan. Hanya menatap bunga dengan warna yang beragam membuatnya tenang.

"Kau tau cerita tentang Kerajaan ini, bukan?"

Anstia tersenyum, mengangguk pelan. Dia menatap warna warni bunga yang ada di taman itu. "Aku tau semua cerita tentang Kerajaan ini."

Astevia melirik Putrinya yang sudah tumbuh besar, dan wajah itu semakin mirip dengan sang permaisuri.

"Kau sangat mirip dengan ibumu."

Anstia tersenyum, dia menatap sang Raja. "Aku bahkan tidak tau ibuku seperti apa. Apa dia cantik? Apa dia baik? Apa dia akan menyayangiku? Aku selalu penasaran tentangnya, aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang selain dari pelayan yang menjagaku sejak kecil. Aku bahkan selalu membayangkan wajah ibu seperti apa," Anstia menatap rerumputan. "Aku selalu ingin bertanya, tapi aku takut itu akan membuat orang lain sedih. Terutama Ayah, yang sangat kehilangan. Aku tau, seharusnya Ayah membunuhku sejak dulu, aku membuat Ayah dan negara ini kehilangan Ratu mereka. Aku membuat Pangeran kedua kehilangan ibunya, aku tau kenapa Pangeran kedua tidak pernah menyukaiku."

Anstia menatap sang Raja yang sejak tadi hanya bungkam. Entah membiarkan Anstia untuk bercerita atau membenarkan ucapan Anstia.

"Karena aku yang membunuh sang Ratu, harusnya aku tidak pernah lahir." Ini hanya cerita yang ia tulis di buku hariannya, hanya hasil imajinasinya, tapi kenapa rasanya dia sedih sekali?

"Kau memang membuatku kehilangan seseorang yang sangat berharga." Anstia menatap sang Raja, matahari hampir mencapai peraduannya. Membuat langit berubah menjadi oranye. "Tapi, dia ingin kau hidup. Karena itu aku membiarkanmu hidup."

"Kalau tidak Ayah pasti sudah membunuhku, 'kan?"

Raja Astevia menggeleng. "Aku tidak ingin kehilangan lagi, cukup aku kehilangan orang yang aku sayangi sekali. Aku tidak mau lagi."

Anstia menghela nafas, dia mengangguk pelan. "Aku mengerti, Ayah."

Raja Astevia memeluk Anstia, dia mungkin tidak pintar berkata-kata tapi dia benar-benar menyayangi anak-anaknya, baik para Pangeran ataupun Anstia.

"Kau sudah sah menjadi Putri Raja." Anstia menatap sang Raja, mata yang mirip dengan miliknya itu menatap teduh. "Kau akan ikut kemah para Putri minggu depan."

"Apa?" Anstia melepaskan pelukannya. Raja ini benar-benar penuh dengan kejutan. "Maksud Ayah?"

"Kau selalu sendiri, aku rasa dengan cara ini kau bisa mendapatkan teman. Kau perlu bergaul dengan anak seumuranmu."

Anstia ingin protes, dia tidak butuh  memiliki teman apalagi para Putri yang munafik. Dia sudah tau semua, para Putri biasanya hanya baik di depan, namun busuk di belakang.

"Pergilah, kemah itu laksanakan di Kerajaan Umber. Disana banyak benda berkilau."

Kesukaan Anstia pada benda berkilau belum hilang, oke? Bahkan dia pernah mencuri berlian kucing milik Pangeran Brandon, tapi langsung mengembalikan pada kucing abu-abu yang semakin tua itu.

"Buku dan benda berkilau cukup jadi imbalannya, kan?"

"Deal."

"Deal?" Sang Raja menatap Anstia bingung. Bisa-bisanya dia keceplosan bahasa yang tidak di mengerti oleh Raja. Walau sudah lima belas tahun berapa di tempat ini, kebiasaan berbicaranya belum hilang, masih tetap sama namun ia tutupi.

"Maksudku, iya. Aku setuju untuk pergi." Anstia menyengir dia meraih lengan Raja dan bersandar di lengan sang Raja. "Aku menyayangimu, Ayah. "

Raja Astevia mengusap rambut Anstia.

. . .

Komennnnnn...

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now