16. Raja dan Amarah

34.4K 5.1K 98
                                    

9 tahun kemudian..

Kerajaan Ambertia semakin maju, dengan wilayah yang semakin luas, kekuasaan Raja Astevia semakin besar. Namanya semakin dikenal dan kekuatannya tidak tertandingi.

Anstia menatap beberapa pelayan yang sibuk kesana kemari, hari ini ulang tahun Raja Astevia. Tentu saja akan dirayakan dengan acara yang meriah. Undangan sudah tersebar sejak dua bulan yang lalu, acara yang sekaligus menjadi ajang 'pamer' itu kalau kata Anstia. Apalagi sang Pangeran Mahkota seharusnya sudah menikah, namun karena kesibukan malah lupa untuk mencari jodoh.

Berita yang tentu terdengar hingga ke pelosok negeri, semua perempuan bersolek. Saling memamerkan apa yang mereka miliki.

Putri Anstia berjalan memasuki aula Kerajaan yang telah disulap menjadi aula pesta dengan dekorasi yang sederhana namun elegan.

"Sibuk sekali, Kak." Brandon menoleh, dia tersenyum.

"Ada apa kau kemari? Kau sudah selesai membaca buku?" Brandon memeluk Anstia. "Kau sudah tambah besar saja."

Anstia cemberut. "Tentu saja, aku tidak mungkin kecil terus, Kak."

Pangeran Brandon tertawa. "Ah, kau sudah menentukan akan berdansa dengan siapa?"

Anstia menaikan sebelah alisnya. "Untuk apa?"

Brandon mendengkus kuat. "Tentu saja untuk berdansa."

"Aku tidak akan hadir diacara nanti malam."Anstia menggeleng. "Aku tidak berminat."

"Ayah akan kecewa." Brandon menghela nafas pelan. "Kenapa kau tidak mau datang?"

"Ayah tidak akan kecewa, Kakak tenang saja. Aku hanya tidak ingin bertemu dengan orang banyak. Aku lelah harus memakai topeng." Anstia menatap para pelayan yang sibuk mendekor aula. "Ayah juga tidak akan peduli."

Brandon mengacak gemas rambut adiknya, membuat gadis itu berteriak kesal.

"Kakak!" Anstia bergerak mundur, menjauh dari sang Kakak namun dia malah menabrak sesuatu yang keras. "Siapa.. Yang Mulia." Anstia tidak melanjutkan ucapannya, dia menunduk. Memberikan salam pada sang Raja, begitu pula sang Pangeran dan semua yang ada di ruangan tersebut.

Mata Raja Astevia melirik Putri Anstia yang merapikan rambut dengan tatapan kesal kearah Pangeran kelima.

"Kau sudah menentukan akan memakai gaun apa di pesta nanti?" Raja Astevia bertanya membuat Anstia yang tadinya sibuk merapikan rambut menoleh. "Anastia."

"Aku tidak akan datang di acara malam ini, Yang Mulia." Anstia menunduk.

"Kenapa?" Dengan tenang sang Raja bertanya. "Apa ada masalah?"

"Tidak, aku hanya tidak ingin bertemu banyak orang." Anstia menatap mata yang mirip dengan miliknya itu. "Lagipula tidak akan ada yang berubah jika aku tidak hadir disana."

Anstia memberikan salamnya lalu berbalik dan pergi.

Raja Astevia menghela nafas pelan. Sejak dia menyuruh Anstia untuk berlatih, sikap gadis itu perlahan berubah menjadi keras, apalagi saat penyihir kecil yang selalu menemani gadis itu pergi, sifatnya tidak lagi seceria itu. Hanya pada Pangeran kelima, keempat dan ketiga, gadis itu akan seperti dulu. Tapi pada yang lainnya tidak lagi sama.

Terutama pada sang Raja sendiri, sepertinya sifat dinginnya menurun pada Anstia.

"Ayah, jangan terlalu keras. Anstia itu perempuan, berbeda dengan kami. Ayah bisa keras pada kami, tapi tidak pada Anstia. Dia itu keras kepala, semakin Ayah menekan semakin dia memberontak." Pangeran Brandon menatap sang Ayah. "Dia sudah besar sekarang Ayah, dia bagian keluarga kita."

Tanpa kata, Raja Astevia berbalik. Meninggalkan Pangeran Brandon yang hanya tersenyum tipis.

***

Anstia berada dikamarnya, setelah dia bertambah besar dia memperbaiki letak kamarnya. Seperti ranjang yang berubah tempat, adanya rak buku dan meja belajar, serta lemari pakaian yang berubah jadi lebih mirip ruangan ketimbang lemari. Dan Anstia membuat tempat khusus untuk benda berkilaunya. Jika dulu benda berkilau yang ia gilai adalah perhiasan, sekarang berganti dengan pedang dan panah.

Walau dengan pelatih yang baru, Anstia menguasai pedang dan panah. Dia juga semakin mahir menunggang kuda. Pangeran ketiga sering membantunya berlatih. Kemampuannya tidak bisa di pandang sebelah mata.

"Anastia." Pintu kamar Anstia terbuka, sang Raja berjalan masuk ke dalam kamar sedangkan Anstia yang sejak tadi duduk di sofa sambil membaca buku memberikan hormatnya.

"Ada keperluan apa hingga anda repot-repot datang kemari, Yang Mulia." Anasia bangkit, memberi pembatas buku dan meletakan buku yang baru ia baca ke rak.

"Kau akan resmi jadi anggota Kerajaan nanti malam." Raja Astevia memperhatikan Anstia yang menggeleng pelan.

"Aku tidak pantas, Ayah." Raja Astevia menatap Anstia. "Aku pembunuh, aku tidak pantas untuk nama itu."

Raja Astevia menghela nafas. "Kau sudah sangat besar sekarang."

Anstia diam.

"Maaf, dulu Ayah memintamu untuk berlatih pedang. Ayah hanya khawatir jika Ayah tidak ada di sampingmu, siapa yang akan menolongmu." Astevia berjalan perlahan. "Kau, putriku. Aku tidak mungkin membunuhmu. Kau sama berharganya dengan yang lain. Aku tidak mungkin melakukan itu."

Anstia menatap mata itu. "Jika suatu hari Ayah benar-benar melakukannya, apa yang akan Ayah lakukan."

"Aku akan turun dari takthaku." Anstia terdiam. "Berhenti bersikap dingin pada Ayah."

"Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang?" Anstia mengepalkan kedua tangannya. "Kenapa baru sekarang?" Ada amarah dimata itu.

Raja Astevia diam.

"Hampir satu dekade, Ayah anggap aku bagai tidak ada. Kenapa sekarang tiba-tiba minta maaf? Baru bicara padaku sekarang?" Anstia menatap mata itu.

Raja Astevia mendekat, menarik Anstia, memeluk Putri bungsunya. Anstia mengepalkan kedua tangannya.

"Maaf."

Pertahanan Anstia hancur, gadis itu menangis. Setelah sekian lama selalu diabaikan dan dianggap tidak ada, ada rasa sakit yang menyerang dadanya. Namun, rasanya sekarang luka itu perlahan pulih.

"Ayah, hanya tidak sanggup. Wajahmu semakin mirip dengan Ibumu." Sang Raja memgeratkan pelukannya.

"Ibuku?" Anstia menatap sang Ayah. "Memang siapa ibuku?" Anstia mungkin sudah tau, namun dia harus memastikan. Walau dialah yang menulis cerita ini, namun sebagian besarnya telah ia lupakan.

Astevia mengusap rambut Anstia yang memiliki dua warna itu. "Rambutnya sama dengan milikmu, matanya berwarna emerlad, dia cantik." Raja tampak menerawang. "Kau sangat mirip dengan ibumu." Raja Astevia kembali menarik Anstia kedalam pelukannya.

Anstia tidak membalas apa-apa, dia hanya memeluk sang Ayah erat. "Ayah.. "

Raja Astevia membalas dengan gumam pelan.

"Apa aku dan Pangeran kedua memiliki Ibu yang sama?"

Astevia mengangguk, Anstia sudah terlalu besar untuk dibohongi lagi. Gadis itu sudah harus tau tentang keluarganya.

"Dan," Nafas Anstia tercekat. "Ratu, meninggal karena aku, karena melahirkan aku. Itu yang membuat Pangeran kedua sangat membenciku, kan? Ayah juga benci aku karena itu, kan?"

Astevia mengangguk, dia tidak ingin berbohong lagi pada Putrinya. Lebih baik dia menjawab semua dengan jujur walau itu akan menyakitinya dan Anstia.

"Kenapa aku tidak dibunuh saja dari dulu?" Anstia meremas baju sang Raja kuat. "Kenapa aku dibiarkan hidup?"

Astevia mengusap rambut Anstia lembut. "Karena Ibumu ingin kau hidup, dia ingin kau hidup."

. . .

Updateeeeee..

TAWS (1) - AnstiaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora